Selamat membaca, dan jangan lupa meninggalkan jejak kalian___
.
"Apa sih pa. Pergi sana, ganggu mulu."
Ruang tamunya sangatlah luas, begitu juga sofa dan mejanya. Tapi setiap kali Iefan berpindah dari ujung sana sini, bahkan naik ke meja pun papanya masih saja menempel. Niatnya mungkin ingin ingin bermesraan dengan putranya, tapi tidak begini juga. Yang ada Iefan merasa risih.
"Diam situ!" Iefan menekan tubuh Edrik menggunakan kaki agar tidak bergeser, meminta diam duduk di ujung sofa. Sedangkan dirinya rebahan sambil memainkan geme di ponsel.
Mata Edrik menatap sengit ponsel di tangan putranya. Lihat saja, nanti malam ia pastikan ponsel dengan merek itu bisnis sahamnya anjok bagaimanapun caranya.
Sambil merasa kesal Edrik ambil telapak kaki Iefan dari dadanya. Edrik bisa merasakan betapa kurusnya tubuh Iefan. Genggaman tanganya saja masih longgar di pergelangan kaki. Tidak ada daging, Edrik seolah hanya memegang tulang. Mengingat lima tahun kehidupan Iefan yang menurutnya kurang lebih seperti gelandang di luar, rasanya Edrik ingin marah.
Saat fokus bermain Iefan tiba-tiba merasakan pijatan yang lumayan enak. Iefan tidak bohong. Iefan tidak tahu jika dipijat akan seenak ini! "Bukan situ, naik lagi naik naik. Yah betul. Betul betul situ. Keras dikit pa."
"Dimana-mana anaklah yang harusnya memberi pijatan ke orang tua, itu dinamakan berbakti."
Iefan tetap menjawab meskipun fokusnya berada di geme. "Tapi orang tua juga bisa beri pijatan ke anak, itu namanya kasih sayang."
Edrik berdecak dan memilih tidak membalas. Terserah anaknya ingin membuat pengaturan yang bagaimana. Selama anaknya tidak pergi lagi dari sisinya, Edrik akan menoleransi.
Mereka berdua saling diam. Hanya menyisakan suara geme dari ponsel Iefan yang samar-samar terdengar. Hingga terdengar ada mobil datang dari luar rumah. Muncullah sosok Bryan yang menggunakan seragam sekolah. Mungkin sekolah membebaskan pelajaran karena tinggal menunggu hari kelulusan untuk anak kelas tiga. Makanya Bryan bisa bisa pulang siang hari.
"Paman," sapa Bryan pada Edrik ala kadarnya.
"Hm."
Sejak kejadian tadi malam tiba-tiba sikap semua orang berubah secara halus. Entah itu kakek yang tiba-tiba membagikan uang saku ke orang-orang rumah yang padahal Aron tidak pernah memberikan sepersen pun pada mereka jika bukan karena mereka sudah melakukan pekerjaan. Lalu Edrik yang sedikit lebih banyak bicara. Emosi Emran yang lebih terkontrol. Dan Zefa yang lebih banyak tersenyum. Bryan sendiri juga tidak mau kalah. Walaupun tidak secara langsung, Bryan sudah membuat pengaturan untuk Iefan dimasa depan.
Semua itu hanya karna satu tujuan. Dan itu sama. Mereka hanya ingin menarik perhatiannya Iefan.
"Apa yang kamu tonton," Bryan berikan ranselnya pada pembantu. Lalu duduk jongkok di samping sofa dimana Iefan tiduran. Bryan menatap ponsel Iefan sekilas, lalu berpindah pada wajah Iefan yang mana jauh lebih sedap dipandang.
Bryan mencoba memikirkan kembali perbuatannya yang dulu-dulu. Bryan sendiri tidak tahu alasannya kenapa ia begitu membenci Iefan, seperti sengaja Emran tanamankan di hatinya sejak lahir. Sebenarnya bukan pada Iefan saja, namun pada anggota kelurga yang lain. Hanya saja Bryan berkewajiban membenci Iefan lebih banyak dari yang lainnya dengan alasan mereka berdua memiliki kedudukan yang sama. Cucu keluarga Ash.
Bukan hal tabu di dunia mereka memperlakukan keluarganya sendiri layaknya musuh. Saling bersaing, bersetru, menjatuhkan dan berkeyakinan akan menghabisi jika menghalangi ambisi mereka. Sejauh ini memang belum sampai ditahap melenyapkan. Namun dengan mereka saling bermusuhan, saling menyakiti sudah menjadi bukti.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUTRA MAFIA { bromance }
Short StoryIefan memegang lahir dengan membawa darah mafia di tubuhnya. Namun hatinya ditakdirkan menjadi bersih, baik seperti malaikat. Ia berjanji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan pernah mewarisi jejak ayahnya. Hidup dengan damai, menggunakan uang bersih...