02 Nikah, yuk!

2 1 0
                                    

Ana mencoba untuk menetralkan detak jantungnya, ini rasanya sangat berbeda. Lebih dag, dig, dug! Siapapun tolong Ana! Seperti ada kupu-kupu yang masuk dalam tubuhnya. Karena tidak mau dicap wanita sombong, Ana pun membalas chat nya.

[Hm ... iya deh.]

[Semangat Om.]

Send.

Pesan itu langsung ceklis dua biru, Ana mematikan ponselnya lalu menyembunyikan wajahnya. Merasa malu, senang, geli, semua itu menjadi satu. Dadanya semakin berdebar, rasa ini yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang sangat berbeda ketika ia menjalin asmara dulu. Apa mungkin Ana mulai jatuh hati pada Al?

Sedangkan di tempat lain, Al menahan senyumnya. Bisa ia bayangkan bagaimana reaksi Ana, apakah akan terlihat kesal atau ... ah, entahlah Al tak tahu. Hatinya berdebar tak karuan, ah ... Ana, ingin rasanya Al menikahimu sekarang juga.

Tok!
Tok!
Tok!

"Permisi, Pak. Sebentar lagi meeting akan segera dimulai, Kliennya pun sudah datang," ucap sang sekretaris yang bernama Wulan. Penampilannya membuat Al ilfeel seketika, bajunya seketat peraturan lalu lintas, bibirnya semerah cabai rawit, dan sepatu hak tinggi setinggi harapan orang tua.

"Hm," balas Al, lalu memberikan kode untuk segera keluar.

Dalam hati Wulan, ia berdecak sebal. Padahal, ia sudah berdandan dari subuh untuk memikat sang CEO. Namun, sepertinya Al tidak tertarik, bukan tidak tertarik lagi tapi langsung ilfeel melihatnya.

Al menggelengkan kepalanya, dalam hatinya ia terus mengucapkan kalimat 'astagfirullah'. Kemudian dengan cepat ia membalas chat tersebut, lalu mempersiapkan diri.

***

Keesokan harinya ....

"Selamat pagi, cantik!"

Ana memutar bola matanya malas, dirinya sudah tahu betul suara itu. Ana membalikkan badannya dan menatap jengah pria jangkung dihadapannya ini. Siapa lagi jika bukan Al?

"Om Al ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Ana kesal, Al hanya tersenyum tipis.

"Papah yang suruh Al kesini." Ana dan Al menoleh bersamaan, telihat Amos dan Ayra menghampiri keduanya yang diikuti Tristan dibelakang mereka.

"Ngapain Papah nyuruh Om Al kesini?" tanya Ana sebal.

"Buat jemput kamu," sahut Amos santai, Ana berdecak sebal mendengarnya.

"Sok-sok an gak mau, padahal aslinya mau 'kan dijemput sama Kak Al?" celetuk Tristan.

Ana mendelik tajam Tristan. "Sok tahu!"

"Udah, jangan berantem. Malu sama Nak Al," lerai Ayra, Ana hanya membuang muka sesekali bibirnya dimonyong-monyongkan. Tristan hanya tersenyum mengejek.

"Kenapa harus Om Al? Kenapa gak Papah aja atau Kak Tristan gituh," keluh Ana.

"Gua?" Tristan menunjuk dirinya sendiri. "Dih, ogah! Lagian, gua sekarang ada kelas pagi. Kalo gua anter lo dulu, bisa-bisa gua telat dan auto dihukum sama si guru killer itu. Hih"

Tristan beridig ngeri membayangkan bagaimana kemarahan dosen killernya itu. Padahal dirinya Dimata dosen itu--emh! Maksudnya Pak Salim (karena namanya itu) Tristan adalah sosok murid tauladan, tidak pernah terlambat mengerjakan tugas, dan tidak pernah terkena hukuman sang dosen killer. Jika hal itu terjadi, maka reputasi sebagai murid tauladan bisa hancur, dan bisa menjadi penghambat untuk Tristan lulus kuliah nanti. Tristan beridig ngeri membayangkan hal itu. Ana berdecak pelan, dirinya sudah menduga bahwa Tristan tidak akan mengantarnya, kecuali jika sedang baik saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Al&AnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang