3

1.3K 226 42
                                    

Halooo! Cuz cuz baca aja deh.

⬛⬛⬛

Seperti yang sudah-sudah, setiap pagi Bita akan ikut Damar ke mana saja. Ke sawah, ladang, ataupun pasar. Terkadang ikut ke kandang ayam meskipun baunya membuatnya mual. Ia benar-benar liburan tanpa dipusingkan pekerjaan yang tiada habisnya. Untuk urusan butik, toko kosmetik, dan resto sudah ia serahkan pada orang kepercayaannya, jadi ia bisa tenang.

“Tinggal dikit lagi, Mas. Terus. Terus! Hati-hati Mas!” jeritnya dari bawah.

“Yeay! Dapat.” Bita bersorak kegirangan saat Damar berhasil mengambil jambu merah di atas pohon. Ia melompat-lompat tidak karuan karena hal sekecil itu. Bita menanti dengan tidak sabar menunggu pria itu turun. “Makasih.”

Bita sungguh senang. Senyumnya lebar tak menampakkan patah hatinya. “Ibuk. Ibuk.” Perempuan itu berlari masuk dan berteriak memanggil ibu Damar.

“Ibuk, tolong bikinin bumbu rujak manis. Bita lagi pengin rujak manis.” Ia menghampiri Isna, ibunya Damar yang juga menjadi ibu asuhnya. “Ada buah apa lagi, Buk?” Ia membuka lemari es, menemukan timun lalap, nanas, dan mangga manalagi. Bita pun mengambilnya, mencuci bersih lalu mengirisnya tipis-tipis.

“Pake tahu cokelat mau ndak? Itu yang di wadah ungu,” ujar Isna memberitahu.

"Mau."

Isna begitu cekatan membuat bumbu rujak manis. Semua bahan memang sudah lengkap karena kemarin Bita sudah minta dibuatkan, jadi tadi pagi beli di pasar.

Bita mengiris buah untuk mengisi piring lebar dengan jambu merah setengah matang, nanas, timun lalap, dan tahu gembos. Ia membawanya ke gazebo sambil menunggu bumbunya jadi. Setelah itu Isna menghampiri dirinya untuk memberikan bumbu rujak.

“Mas Damar! Sini temenin. Ibuk juga ayo sini.” Ia sudah tak sabar ingin segera makan rujak buah ini. Pasti segar dan nikmat. “Uti mana, Buk? Kok dari tadi nggak kelihatan.”

“Uti istirahat. Tadi katanya agak pusing,” jawab Isna yang mengambil irisan nanas.

“Lho ... tadi kok nggak ngomong sama Bita, Buk? Pas Bita tanya katanya nggak apa-apa.”

“Uti nggak mau kamu bingung.” Kali ini yang menimpali Damar.

“Ish. Uti mah. Kan ya wajar kalo Bita bingung wong cucunya.”

“Ya tapi ....” Ucapan Damar terpotong saat salah satu pekerjaan Uti mendekati mereka. “Ada apa, Pak Tris?”

“Itu Mas ada yang nyariin Mbak Bita. Katanya temennya.”

Damar melihat Bita dengan satu alis bergerak naik, tapi perempuan itu menggeleng cepat dan mengangkat jarinya berbentuk V. “Mas lihat dulu. Ayo, Pak.” Damar melewati pintu samping yang memang biasa digunakan hilir mudik untuk pekerja perkebunan milik nenek Bita.

Sampai di depan, ia berhadapan dengan sosok yang tidak asing. Damar tahu siapa dia, sebab pernah beberapa kali bertemu saat ia mengantar Bu Neni mengunjungi Bita di kota. “Pak Abi. Apa kabar?” Ia mengulurkan tangan untuk menjabat sosok yang membuat Bita menangis.

“Baik. Bita ....”

“Mari, Pak, ikut saya.” Damar tahu tujuannya pria ini ke sini, sudah pasti karena Bita. Ia membawa pria itu melewati pintu samping yang lebih dekat.

“Siapa, Mar?” tanya Isna membuat Bita ikut menoleh ke belakang.

Abi? Bita mengerjap. Ia pasti salah lihat tapi itu benar di belakang Damar adalah Abi. “Ibuk, bisa tolong buatin minuman? Es aja, Buk. Buat Bita juga ya tapi air putih aja.”

Damar dan Isna meninggalkan keduanya tak lupa membawa sisa buah dan bumbu ke dapur. Bita menutup bibirnya. Ia juga tak bertanya ada urusan apa Abi ke sini.

“Kamu nggak balas pesanku. Teleponku juga kamu tolak. Apa aku melakukan sesuatu yang bikin kamu marah?” Abi menyadari sambutan Bita kali ini sangat berbeda. Tidak ada senyuman manis, tak ada binar bahagia di sorot matanya.

Bita membuang cepat napas yang baru saja ia hirup. “Nggak kok." Bita berusaha meyakinkan Abi bahwa pria itu tidak melakukan kesalahan. "Beneran kamu nggak bikin apa-apa cuma ....”

“Lalu kenapa? Pasti ada alasannya kenapa kamu begini. Sebenarnya ada apa? Nggak biasanya kamu kayak gini.”

“Harusnya memang kayak gini sejak awal, Bi. Harusnya aku nggak seyakin itu berdiri di sisimu hanya sebagai sahabat. Aku ... entahlah sepertinya aku harus nyerah, Bi. Ternyata berada di sekitarmu tak semudah yang aku bayangkan. Terlalu berat untuk ... maaf, Bi, aku mundur jadi sahabatmu.” Bita menatap Abi dengan pandangan sendu. Sejenak saja sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Bolehkan?”

“Apa maksudmu? Kenapa kamu jadi aneh gini?”

Bit menarik napas dalam lalu mengeluarkan secara perlahan. Ia tersenyum miris. “Aku nggak aneh, Bi. Rasanya aku nggak bisa lagi kalo terus baik-baik saja hanya dengan label sahabat sedangkan kamu tahu pasti bagaimana perasaanku. Aku nggak nyalahin kamu sebab dari awal aku yang ngotot jadi ... aku pikir ... cukup sampai di sini saja. Aku pengin menata ulang hidup dan hatiku dengan menjauh darimu.”

“Apa itu alasanmu menjual semua properti dan hal-hal yang menghubungkan kita?” Abi mulai bisa menangkap maksud dari tindakan Bita dan entah mengapa menimbulkan nyeri di ulu hatinya.

“Nggak sepenuhnya seperti itu. Aku hanya ingin mengurangi hal-hal yang aku urus. Ingin sedikit bersantai tanpa dipusingkan pekerjaan. Aku ingin fokus mengurus usaha yang orang tuaku tinggalkan. Dan mungkin menemani Uti di sini. Kasihan beliau sendirian.”

Dada Abi rasanya penuh. Saluran udaranya rasanya tersumbat hingga tak mengalir sempurna. Sangat mencekik dan bisa membuatnya mati.
“Kenapa tiba-tiba?”

Bita menggeleng. “Nggak ada yang tiba-tiba, Bi. Rencana ini sebenarnya sudah lama tapi baru ini bisanya. Namira juga bilang keputusanku ini sudah benar. Sudah cukup dua tahun ini aku bersamamu sebagai sahabat. Dan ya bagaimanapun aku ingin ada seseorang yang mencintaiku.”

Abi tak bisa berkata apa-apa. Dia terlalu sombong bahwa Bita akan terus bersamanya karena cintanya pada Abi. Namun, dia lupa bahwa kesabaran seseorang ada batasnya. “Apa kamu akan meninggalkanku?”

Wanita itu tersenyum kecil. Memandang lekat Abi. “Nggak ... mungkin sedikit jaga jarak saja. Aku kan nggak bisa terus-terusan sama kamu, begitu juga denganmu kan? Ada saatnya kamu berkencan dengan kekasihmu. Fokus padanya ... jadi ya aku pikir kamu nggak akan merasa sendirian. Aku pun ingin berkencan sama pacarku. Jadi ya ... kalau kita nggak sedekat dulu pria lain yang ingin mendekatiku nggak akan ragu.

“Walaupun aku nggak sama kamu nggak ada pengaruhnya buatmu, Bi. Kamu masih bisa dengan kawan-kawanmu. Anggaplah ini pintu kebebasanmu. Dan aku minta maaf kalo selama ini mengikutimu sampai membuatmu jenuh.” Bita memejamkan mata saat gelisah menderanya.

Sejujurnya berat harus berjauhan dengan Abi tapi ini demi kebaikannya sendiri. Ia perlu diingatkan bahwa sampai kapan pun pria itu tak bisa ia miliki.

“Ta, kamu ....”

“Tadi bawa mobil sendiri?” Bita mengalihkan pembicaraan.

“Diantar Fery.”

“Sudah makan?” Abi menggeleng.
“Kebiasaan. Kerja boleh tapi jangan lupa makan. Tunggu di sini.” Bita masuk ke rumah.

Ia bertanya apa ada makanan ringan pada Bu Isna. Kebetulan sekali beliau membuat pisang goreng. Tak lama ia membawa keluar camilan itu dan kopi, sedangkan Fery ditemani Damar. “Makan ini dulu sama nungguin makan malam. Lain kali jangan gini, Bi. Kalo mag kamu kumat gimana?” omel Bita dengan wajah kesal.

"Mendingan kumat kalau itu bikin kamu perhatian."

Bita tak suka hal itu. Memang tidak sakit ketika mag menyerang?

Tbc.

Yang mau baca cepat bisa ke Karyakarsa ya. Udah sampai part 5.  Makasih

Catching My Lover Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang