00. Prolog and Cast

21 1 0
                                    

"Kamu tahu gak, Jun?" Wina tiba-tiba mengajukan satu pertanyaan, di saat dirinya masih belum bisa terlelap.

Juni berdeham panjang. Tangannya masih terus mengelus rambut Wina, memberikan kenyamanan yang dapat membantu Wina untuk terlelap. "Tahu apa?" balas Juni lagi sebab Wina tidak kunjung membalas dehamannya tadi.

Wina sedikit beranjak, meninggalkan lengan Juni yang sebelumnya ia jadikan bantal. Lalu Wina menopang tubuhnya dengan kedua lengan berada di atas kedua pundak Juni. Hal itu pun membuat posisi kepalanya lebih atas dibanding Juni. Lalu Wina mengamati Juni di bawahnya.

Mata Juni terpejam, mencoba untuk tertidur dengan tenang bak seekor anak kucing. Sesaat kemudian Juni sadar sedang diamati, maka matanya tiba-tiba saja terbuka.

Juni tersenyum begitu melihat wajah Wina begitu dekat dengannya. Lalu Juni menarik selimut untuk menutupi punggung Wina. Ia berpikir mungkin Wina akan kedinginan karena tubuh bagian atasnya diciumi udara malam.

Siapa sangka gerakan Juni itu ternyata malah membuat rambut panjang Wina berjatuhan, bahkan tak sedikit yang mengenai wajah Juni. Maka, Juni beralih untuk membelai rambut Wina. Ia merapatkan bibirnya dan dengan telaten menyelipkan rambut Wina ke belakang telinga gadis itu agar tidak ada lagi yang menghalangi pandangannya.

"Kenapa, Wina?" Juni bertanya lagi. Belaian tangannya berakhir dengan menangkup pipi Wina.

Namun Wina tidak cepat-cepat menjawab. Ia lebih tertarik untuk terus memperhatikan wajah Juni, lelakinya yang menawan. Setelah puas dengan wajah Juni, tatapan Wina turun. Ia memandangi area leher Juni, kemudian bahunya yang lebar dan dadanya yang bidang. Wina sangat leluasa memperhatikannya sebab Juni memang bertelanjang dada.

Ajaibnya, ke mana pun mata Wina memandang, ia selalu menemukan ada tahi lalat kecil di atas kulit Juni. "Juni, kamu tahu gak? Tahi lalat itu tempat di mana pacarmu sering cium kamu di kehidupan sebelumnya," ucapnya pelan, sebab Wina yakin dalam jarak sedekat ini, bisik-bisik darinya pun dapat ditangkap oleh indra pendengaran Juni. "Aku iri. Di kehidupan sebelumnya, pacarmu pinter banget milih tempat buat cium kamu."

Juni hanya terkekeh kecil. Dadanya, yang menjadi alas lengan Wina bertopang, menjadi naik turun.

"Lihat!" pekik Wina. Lantas jemarinya menyusuri sekitar bahu Juni. Setiap menemukan sebuah tahi lalat, Wina mengetukkan jarinya sekali. Satu di bahu sebelah kiri, satu di antara tulang selangka dan satu lagi tak ia ketuk sebab letaknya ada di tengkuk sebelah sana. Jemari Wina bukannya sulit mencapainya, hanya saja ia berniat melakukan sesuatu yang 'lebih' di sana.

Sebut saja Juni itu kucing birahi sebab sentuhan tangan Wina membuat tubuhnya panas. Tiba-tiba saja Juni mendambakan lagi Wina, meskipun setengah jam yang lalu Juni sudah mendapatkannya.

Tatapan mata Wina mengarah pada tahi lalat terakhir yang tidak ia ketuk. Letaknya ada di tengkuk Juni, di bawah telinga sebelah kanan Juni. Wina bergeming, berkutat dengan pikiran yang menyuruhnya untuk tetap waras di saat gejolak nafsunya sedang meronta.

Pada akhirnya, akal sehat Wina kalah. Ia menelusupkan kedua tangannya ke bawah lengan Juni, memeluk laki-laki itu. Lantas ia mendekat dan menenggelamkan wajahnya di cerukan leher Juni. Ia memberikan kecupan cukup dalam dan intens di atas tahi lalat itu.

Hingga Juni melenguh karena tindakan Wina tersebut. Ia harus menghentikan hal ini sebelum ia juga kehilangan akal sehatnya. "Wina," panggil Juni, menginterupsi tindakan Wina. Jujur saja, jika Wina terus dibiarkan mencumbunya, Juni takut malah ia yang tak bisa mengendalikan dirinya lagi.

Wina malah terkekeh lalu mengangkat wajahnya. "Maaf," ucapnya, merasa bersalah sebab ia mendapati wajah dan telinga Juni memerah karenanya.

"Ayo tidur!" ajak Juni untuk mendistraksi hasratnya.

I Cat YouWhere stories live. Discover now