SU1

8 2 0
                                    

Matahari berada diujung ufuk timur, remaja tanggung tengah melaksanakan ibadah salat. Setelah itu menyiapkan sarapan untuk neneknya kemudian baru akan pergi kesekolahnya.

Suasana lalu lintas mengalami macet parah, untungnya Bumi Urvi menggunakan ojek untuk berangkat sekolah pagi ini. Neneknya tidak bisa mengantarkan kesekolah, usianya tidak muda lagi untuk membawa kendaraan. Selain itu, neneknya harus menyiapkan bahan membuat kue. Sepulang sekolah ia akan menjualkan kue neneknya itu.

Bumi kerap sekali dipanggil Mimi atau Vivi, jarang ada yang memanggilnya Bumi maupun Urvi. Namun, pastinya ada yang memanggilnya begitu.

"Bumi!" panggil Mars.

Bumi membalas sapaan dari temannya itu dengan senyuman. Kemudian mendekat kearahnya, untung berjalan menuju kelas.

"Kamu beneran ya mau ikut akselerasi?" tanya Mars, menatap lekat mata Bumi. Agar ia mengetahui jika Bumi sedang berbohong.

"Kamu tau dari mana berita itu?" bukan menjawab, malah Bumi balik bertanya kepada Mars.

Bumi mengeluarkan buku untuk ia baca, sudah menjadi kebiasaan yang tidak boleh ditinggal. Tidak menjawab pertanyaan Mars terlebih dahulu, biarlah ia menyimpulkan sendiri jawabannya.

"Haduh! fiks nih anak mau ikut akselerasi, gue juga harus sih!" gumamnya.

Semua siswa di kumpulkan pagi ini di lapangan untuk senam. Memang biasa dilaksanakan pada hari kamis tetapi bisa berubah- ubah. Lapangan Budaya Bangsa sangat luas, menampung tiga tingkat sekilagus.

Abi menuju lapangan dengan berbinar, bagaimana tidak. Pastinya ia bisa memandang wajah indah, milik Bumi Urvi. Ia mengikuti barisan adik tingkatnya itu tentu saja tidak ada yang bisa memarahinya atau melarang pemuda yang tengah jatuh cinta itu.

**

Suasana kantin riuh seperti kayu yang beradu dengan singso. Tak semua berada dikantin, ada yang tengah memakan bekal dikelas. Bahkan ada yang menyempatkan membaca buku diperpustakaan.

Bumi Urvi tidak termasuk dari semua itu, ia biasanya akan tetap dikelas. Mars mau saja diperintahkan Bumi. sering kali ia tersenyum bahagia ketika dimintai untuk membelikan makanan untuk sahabatnya.

Abi sering menitipkan makanan untuk Bumi kepada Mars. Namun, sesuai permintaannya "Jangan beritahu Bumi!" pesan itu selalu diingat dalam Mars. Padahal ia ingin menceritakan itu kepada sahabatnya.

Walau sering berada disekitar Bumi, ia tidak pernah sekalipun berinteraksi. Abi tidak kuasa  jika berada dihadapan Bumi.

Abi termenung karena kelas dalam keadaan sunyi. Mereka tengah melaksanakan penilain harian, dengan cepat ia menyelesaikan soal matematika. Ibu Nar membiarkan Abi, ia tahu pasti anak didiknya itu telah selesai seperti biasanya.

Waktu telah berputar cepat, sehingga mereka kini harus segera mengantarkan kertas jawaban mereka kedepan.

" Baiklah, ibu permisi!" ucap ibu Nar, sebelum benar- benar meninggalkan kelas XII Ips 3.

Suasana kelas riuh, ada yang menggangu temannya mendengarkan lagu galau dengan volume keras. Bahkan dipojok belakang dua bucin tengah bersiteru dengan jawaban matematika tadi. Berbeda dengan Abi yang hanya bisa diam, terus memikirkan seseorang penuh arti dalam hatinya.

"Kara! LOE HARUS TAHU!" teriak Bintang

"Apa?"

"Bumi, huft... ikut akselerasi! kalau lolos kemungkinan besar, masuk kelas XII Ipa 1." ujarnya, kemudian menarik nafas panjang.

"Dari mana loe tahu? terus kenapa sampai ngos- ngosan begitu?" loe habis dikejar setan?" tanya Abi, dengan segala pemikirannya.

"Kamu nanya! nih ya gue kasih tau" belum selesai Bintang bicara, muncul Meteorid.

"Tadi kita lihat dipapan pengumuman. Masalah Bintang, biasa dikejar para fansnya." jawab Meteorid

Abi langsung melengos pergi, mereka berdua terperangah melihat tingkah temannya itu.

"Mau kemana dia?" tanya Bintang. Meteorid hanya mengangkat bahunya, tanda tidak peduli.

**

Mars sudah yakin ingin juga mengikuti akselerasi, siapa tau dia akan satu kelas lagi dengan Bumi. Budaya Bangsa, setiap tahun selalu mengadakan bagi yang berminat saja. Karena dengan begitu mereka bisa tahu, mana saja anak yang akan diikut sertakan dalam olimpiade bergengsi didunia. Selain itu, keuntungan banyak berada dipihak siswa.

Calon dholpins team tahun ini memiliki banyak peminat, salah satunya Bumi. Ia ingin segera tamat untuk membanggakan keluarga satu-satunya,yaitu nenek.

Abi sekarang berada diruangan kantor milik ayahnya. Setelah mengajukan satu permintaan kemarin, ia diminta udah mempelajari tentang perusahaan. Padahal jiwa ingin keluar bebas bersama temannya, telah sirna dalam sekejab.

"Semangat Abi, jika bisa satu kelas dengan Bumi. Maka akan sebanding dengan usaha kerasmu kali ini!" ucapnya, menyemangati diri sendiri.

Sunyinya malam hanya ada suara desiran angin. Gemerlap lampu kota menari dialam sunyi ini, suara langkah kaki milik Bumi beradu dengan suara pengguna jalan raya hingga langkah kakinya terdengar samar hampir tidak dapat didengar.

Bumi Urvi masih setia menjajakan kue padahal hari sudah gelap. Ditambah daerah yang ia lintasi lumayan sepi. Sebuah mobil berhenti, ia melihat kearah mobil itu.

"Ayo aku antarkan pulang!" ajak pria tersebut. Tentu saja Bumi menolak, ia tidak mengenal siapa pria dihadapannya ini.

"Gue kakak kelas loe, mohon jangan takut sama gue ya! Mari gue anterin pulang!" bujuknya, berharap Bumi luluh dan menuruti perkataannya.

Dengan langkah gontai Bumi mengikuti saja perkataan pria itu. Ia diberi banyak pertanyaan ketika masuk kedalam mobil pria misterius ini.  Pria itu dengan suka rela memborong kue Bumi, jelas itu Abi  Adhikara.

**
Sejak malam itu akhirnya ia dapat dengan jelas mengetahui kediaman Bumi. Ia tidak perlu bergerak untuk mencari tahu, diam saja sudah bisa mendapat informasi.

Matahari terbit dengan malu- malu percikan sinar perhalan mulai muncul. Bumi sudah berada tepat digerbang sekolah, pertama kali ia langsung memandang pria yang tadi malam membantunya.

"Kenapa pria itu berdiri disana, menunggu apa dia" batin Bumi, tidak berani bertanya. Sapa pun tidak akan terjadi jika Bumi yang harus terlebih dahulu menyapa.

"Hai!" sapanya.

"Eh kakak? terima kasih ya! udah anterin aku tadi malam," ucap Bumi, walau malam hari ia masih ingat bagaimana wajahnya.

"Ternyata lebih tampan, saat siang" batin Bumi.

"Namaku Abi!" ucapnya memperkenalkan diri tanpa diminta, sembari mengulurkan tangan miliknya.

Dengan cepat Bumi menolak, ia menjaga batasan dengan lawan jenisnya. Kemudian meminta maaf kepada pria yang jauh lebih tinggi dari pada dirinya itu. Abi memaklumi, melupakan dengan cepat kejadian barusan.

"Bagaimana dengan nama loe? apa tidak boleh juga," tanya Abi.

"Bumi kak, salam kenal ya!"

Perkenalan singkat itu membuat Abi membayangkannya berjam- jam lamanya. Ia bahkan tidak mendengarkan penjelasan guru yang ada didepannya itu. Ia selalu terbayang wajah mani Bumi Urvi yang tergiang. Satu kelas membiarkan Abi yang senyum- senyum sendiri, seperti orang gil*.

Buk Nar juga tidak dapat melarang. Anak itu pasti sudah lebih mengerti apa yang dijelaskan didepan olehnya.

Sebatas UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang