47. Hanya Bualan

112 18 0
                                    

Perkiraan tim ekspedisi Cadassi sembilan puluh persen salah. Jika sebelumnya mereka memiliki asumsi pulau keenam ini adalah pulau yang memiliki hawa panas karena barang yang harus mereka bawa ialah lahar dingin, sekarang lain cerita. Seratus meter dari bibir pantai saja bisa dilihat pulau itu tak seperti apa yang mereka pikirkan.

Myungho yang berdiri di anjungan kapal mengibarkan bendera hijau sebagai pertanda kalau mereka akan segera sampai. Jeonghan dan Jun serentak menarik tali untuk menaikkan layar. Seungcheol keluar dari ruang kendali, berjalan mensejajari Myungho untuk melihat bentuk pulau yang akan mereka singgahi.

Suara peluit panjang terdengar, kode bahwa kapal mereka akan segera berlabuh pada muara pulau. Beberapa anggota keluar dari bilik, bersiap sekaligus berjaga kalau saja ada bahaya yang mengancam.

Hingga badan kapal semakin dekat dengan pantai pun kelihatannya pulau ini tidak mengandung bahaya, mirip dengan pulau kedua.

"Soonyoung, siapkan tim penjelajah. Kita akan-"

Belum siap bicara, Seungcheol serta yang lain langsung mendapati adanya guncangan pada badan kapal yang membuat mereka semua terhuyung. Jun berpegangan pada tiang sedangkan Myungho mencengkram tirai depan, menjaga diri agar tak terlempar keluar.

Chan yang ada di dalam ruang kemudi panik, ia baru saja terjatuh akibat guncangan. Begitu bangkit langsung ia dapati titik-titik merah pada sonar kapal yang menandakan kalau saat ini mereka tengah dikepung.

Sepersekian detik setelahnya kapal mereka mendadak melaju cepat masuk ke dalam pulau. Semuanya berpegangan erat sampai tiba-tiba badan kapal dinaikkan ke atas. Bersamaan dengan hal itu tanah di sekitar mereka ikut naik membentuk tiang-tiang tinggi dengan masing-masingnya berdiri satu orang.

Tampangnya aneh dengan topeng coklat tua terpasang di wajah. Beberapa langsung naik ke atas kapal sambil membawa tombak, dihunuskan tepat di depan wajah yang membuat orang-orang itu mau tak mau melangkah mundur sembari mengangkat tangan mereka tanda menyerah.

Dari tangan Joshua muncul titik salju, Seungcheol menendang tungkainya untuk memperingatkan Joshua agar tidak gegabah.

"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di tempat ini?!"

Pertanyaan mengintrupsi dari salah satunya membuat tim ekspedisi semakin terpojok. Beberapa hendak langsung melawan namun ditahan oleh Seungcheol. Mereka tidak boleh langsung menyerang.

"Jawab!"

Suara bentakan disertai getaran dari badan kapal membuat mereka merinding.

"K-kami tersesat."

Seungcheol yang bicara, nadanya agak gemetar. Joshua yang berdiri di sampingnya seakan tak puas dengan jawaban Seungcheol, padahal memang benar mereka sedang tersesat.

"Kami tersesat di samudra ini, lalu kami bertemu dengan sekumpulan orang yang bilang kalau kami berhasil singgah dan membawa barang dari masing-masing pulau menuju pulau ke tujuh kami bisa bebas."

"Tcih, masih ada yang percaya bualan itu." Yang berdiri di dekat Jeonghan berdecih, "geledah kapal ini, cepat!"

Perintahnya langsung dikerjakan oleh yang lain, ia berjaga dengan masih menghunuskan tombak yang matanya tepat mengarah pada dahi Jeonghan.

Tak lama mereka yang masih berada di geladak kapal digiring naik, semuanya mengangkat tangan di udara lalu duduk berlutut bergabung dengan yang lain.

"Kami menemukan senjata Tuanku, persediaan makanan dan juga peta."

Salah seorang yang mengenakan topeng menyerahkan barang temuannya pada orang yang tadi memerintah. Myungho dan Jihoon bertukar pandang, jelas itu peta milik Seungcheol.

Membuka isinya, pandangan orang itu yang tadinya menatap nanar langsung berubah. Tidak bisa diartikan, tapi yang jelas tak lagi menganggap tim ekspedisi Cadassi ini sebagai ancaman.

"Lepaskan mereka, mereka bukan ancaman."

Setelah intruksi darinya barulah seluruh pasukan menurunkan tombak mereka. Seluruh anggota tim bingung, belum sempat bertanya orang yang tadi berkata menjentikkan jarinya di udara sehingga membuat mereka semua sekarang terjun bebas dari ketinggian sebelum akhirnya orang itu pulalah yang membuat ceruk di daratan untuk menangkap kapal sekaligus orang-orangnya.

"Aduh, pingganggku sakit," Seungkwan melenguh. Kenapa harus pinggangnya lagi.

Mereka berusaha bangkit, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Sang pemimpin yang masih mengenakan topeng naik ke atas kapal lalu membungkuk.

"Maaf atas sambutan yang tidak menyenangkan dari kami," ia berdiri lalu melepaskan topengnya, "selamat datang di pulau Terra."

Selepas penyambutan yang tidak ramah dari warga lokal, seluruh anggota tim ekspedisi langsung diboyong menuju salah satu rumah warga. Benar-benar di luar perkiraan. Karena dari luar pulau ini tampak bukan seperti tempat yang telah dijamah manusia, tetapi lain cerita ketika mereka masuk lebih dalam.

Ada pemukiman ramai dengan rumah-rumah kecil terbuat dari kayu. Bukan hanya kapal mereka yang dibantu untuk dipindahkan ke tempat lain yang lebih aman, orang-orang ini juga dijamu dengan berbagai macam makanan dan juga tempat tinggal yang layak.

Sungguh selama beberapa saat mereka bingung dengan apa yang terjadi. Seungkwan dan Myungho saling pandang, mereka ragu hendak mencicipi makanan, takut ada racun yang disisipkan. Joshua yang duluan mengangkat piring, mengendus aroma untuk mengenali bau serta menganalisa. Selepas Joshua berani memasukkan makanan ke dalam mulutnya dan tidak mati setelah beberapa saat barulah anggota lain berani untuk mengambil makanan.

Seungcheol diam di tempat. Ia kebingungan. Apalagi orang yang diketahui sebagai kepala desa meninggalkan mereka begitu saja dengan penduduk yang langsung menyuguhkan makanan.

Tak lama terdengar suara ketukan bersama dengan tirai kerang yang menggantung di ambang pintu terbuka sehingga memperlihatkan sosok di baliknya. Seorang gadis belia dengan tombak di tangan kiri berjalan masuk diiringi dengan bungkukan hormat yang ditujukan padanya. Sang kepala desa.

Ia langsung duduk di bagian depan, menjadikan seluruh pandangan menuju ke arahnya.

"Sekali lagi maafkan kami atas penyambutan yang tidak mengenakan."

"Tapi makanannya enak," bisik Chan pelan, ia diberi tatapan sinis dari Seungkwan.

Seungcheol menghela napas, mencoba memahami mengapa mereka sampai melakukan hal itu. Pastinya serta merta untuk melindungi pulau mereka.

"Pernah juga ada yang datang kemari, kami menyambut mereka dengan baik tetapi mereka malah membakar hutan kami. Jadi kami harus berhati-hati dengan pendatang."

Terkaan Seungcheol benar.

"Lalu mengapa kau tiba-tiba bersikap baik setelah membekuk kami?" tanya Joshua, ia masih tidak terima diperlakukan semena-mena.

Untuk menjawab pertanyaan Joshua, gadis itu merogoh tas di pinggangnya dan mengeluarkan dua buah peta dari sana. Salah satunya milik Seungcheol. Begitu peta digelar tampaklah wujudnya yang sama persis.

Gadis itu tersenyum, "karena tampaknya kalian benar punya tujuan yang sama dengan leluhurku."

Pembicaraan ini tentu tidak bisa dipahami dalam satu bertemu, ada banyak hal yang harus dijelaskan.

"Keluar dari samudra penghadang mortal?" Jihoon yang bertanya. Selama ini ia yang paling banyak tahu informasi mengenai cara-cara keluar dari tempat ini.

Si gadis mengangguk, ia lalu mengangkat kedua peta di udara untuk menunjukkan isinya kepada semua yang ada di dalam ruangan.

"Tetapi, ada yang berbeda dari kedua peta ini," lanjutnya, ia memperhatikan lebih jelas untuk membandingkan keduanya, "di peta kalian tidak ada negeri bernama Airia."

Si dokter yang duluan berhasil menangkap maksud gadis itu. Ia menoleh pada Seungcheol, memberi isyarat agar tidak berbicara apa-apa dulu.

"Dan lagi," gadis itu melanjutkan, petanya kembali ia simpan, "kalau kalian punya niat untuk keluar dari pulau ini dan berhasil singgah kemari, itu artinya kalian sudah berhasil mengambil barang-barang yang menjadi syarat."

Pandangan tim menegang, cara bicara gadis itu menakutkan seolah ada maksud tersembunyi di balik ucapannya.

"Berikan bunga hujan bintang padaku."

✔Even If The World Ends Tomorrow [SEVENTEEN] Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang