"Pak Aiman! Bapak kok bisa ada di sini?" tanyaku ragu karena cafe sudah tutup tapi malah lelaki itu datang.
Dia tersenyum, mendekatiku. "Nggak pa-pa. Saya hanya memastikan saja jika cafe sudah beneran tutup. Tadi Keke sudah laporan kok sama saya."
Keke adalah karyawan perempuan di bagian kasir yang juga bertanggung jawab dalam kelangsungan cafe. Biasanya Keke juga yang bertanggung jawab memberikan laporan pada Mbak Mulya.
"Oh," jawabku mengangguk. "Bapak ada rencana mau masuk ke dalam nggak? Jika tidak, saya mau pulang."
"Nggak ada. Besok saja saya ke sini lagi."
"Ya sudah kalau begitu, Pak. Saya permisi." Gegas aku meninggalkannya karena hari juga sudah larut malam. Jika tidak cepat-cepat pulang, maka bisa-bisa aku akan kesulitan mencari angkutan umum. Terkadang aku berpikir untuk membeli motor saja dengan uang tabungan yang masih aku punya agar tidak kesulitan saat pulang pergi bekerja. Yah, meski jika harus naik angkutan umum pun aku tidak sendirian karena di kawasan ini ada banyak sekali para pekerja yang juga pulang di waktu yang sama denganku. Namun, ada keinginan juga untuk pindah tempat kos disekitar sini yang lebih dekat dengan tempat kerja agar aku hanya perlu jalan kaki saja ketika bekerja. Sayangnya, aku masih enggan berpisah dari Siti Aisya, sahabat baikku.
"Phia!" Dengan sedikit teriakan, suara Pak Aiman memanggil. Terpaksa aku memutar badan ke belakang takutnya andai Pak Aiman ada yang dibutuhkan atau ingin ditanyakan padaku.
"Iya, Pak."
"Kamu mau pulang, kan?"
"Iya."
"Bareng saya saja. Saya antar," ucapnya memberikan tawaran. Jangan lupakan, jika acapkali bertemu dia selalu memberikan seulas senyuman padaku.
Kepalaku langsung menggeleng. "Tidak, Pak. Terima kasih. Saya pulang sendiri saja."
"Ini sudah malam, Phia. Ayo saya antar kamu."
"Saya sudah biasa pulang malam sendirian, Pak."
"Phia, nggak pa-pa. Ayo masuk saya antar."
Kulihat Pak Aiman malah membuka pintu mobilnya. Tentu saja aku panik karenanya. Tidak mungkin aku mau ikut dengannya. Bahkan aku sendiri tidak yakin jika Pak Aiman lebih baik dari Arman. Kubalikkan badan dan sedikit berlari meninggalkannya. Mengabaikan teriakannya.
"Phia! Sophia!"
Mencoba menulikan telinga aku masih tetap berlari menjauh darinya. Sayangnya lariku tetap kalah cepat karena bunyi klakson mobil sudah berada di belakang tubuhku. Menoleh sekilas dan merutuki kenekatan lelaki itu. Untuk apa juga harus mengikutiku seperti ini.
Kaca mobil terbuka, jalannya sudah mensejajari langkah kakiku.
"Phia! Kenapa kamu lari? Aku tidak ada maksud jahat padamu, Phia. Aku hanya khawatir padamu. Biarkan aku mengantarmu pulang."
Sungguh, rasanya dada ini bergemuruh hebat. Antara rasa kesal karena harus diganggu olehnya, juga rasa marah sebab Aiman dan Arman bagiku sama saja. Lelaki brengsek yang hanya memanfaatkan kepolosan seorang wanita. Tapi aku tidak akan lagi menjadi wanita bodoh yang mau-mau saja diperalat lelaki hanya untuk kepuasan pribadi. Tidak. Aku tidak akan pernah tergoda dengan lelaki mana pun juga.
"Bapak jangan ganggu saya. Sebaiknya bapak pergi saja dan jangan memaksa saya. Karena saya tidak akan pernah mau mengikuti bapak," ucapku nyalang lalu kembali pergi meninggalkannya.
Untungnya pria itu tidak lagi mengikuti sampai aku berada di jalan depan lalu bersama beberapa orang menaiki sebuah angkutan umum menuju kos-kosan.
•••
"Phia, baru pulang?" tanya Siti yang menyambut kedatanganku.
Kupaksakan untuk tersenyum di depan sahabat baikku ini meski suasana hati dan pikiran sangat lelah sekali. "Iya."
"Akhir-akhir ini aku perhatikan pulangmu makin malam saja. Aku khawatir padamu, Phia."
"Terima kasih ya Siti selalu perhatian padaku. Cafe ramai sekali jadi tutupnya juga malam."
Kami berdua masuk ke dalam kamarku. Kubiarkan Siti duduk di pinggir ranjang, sementara aku menyimpan tas dan melepas jaket.
"Phi, apa tidak sebaiknya kamu pindah kos yang lebih dekat dengan tempat kerjamu?"
Kuhela napasku mendengar saran darinya. "Tapi aku bakalan jauh dari kamu. Enggaklah. Aku di sini saja. Selagi ada kamu, meski jarak yang aku tempuh lumayan jauh tak mengapa, Siti."
"Aku kasihan sama kamu. Wajahmu tampak lesu begitu. Kamu pasti kecapekan sekali harus pulang pergi dengan kendaraan umum. Lagipula sebentar lagi sepertinya aku juga sudah tidak bisa lagi tinggal di rumah kos ini."
Tentu saja aku terkejut mendengarnya. "Loh, kenapa?"
"Kamu lupa, Phi? Aku kan sudah mau menikah. Dan setelah menikah nanti, aku akan ikut dengan suami."
Entah kenapa kesedihan kurasakan. Aku seolah tidak bisa pisah dengan seseorang yang telah banyak berjasa padaku. Tapi aku juga tidak boleh egois. Siti Aisya memiliki kehidupannya sendiri dan masa depan yang cerah karena mendapatkan calon suami yang baik dan tulus menyayanginya.
Siti memelukku. "Jangan sedih. Meski nanti aku sudah menikah, kita masih akan tetap jadi bestie."
Aku sedikit lega mendengarnya. Mengurai pelukan, kutatap lekat matanya. "Janji ya kamu akan tetap jadi sahabat terbaikku. Karena hanya kamu lah orang yang selama ini selalu mengerti aku."
"Janji. Aku pun juga tak akan pernah berhenti untuk berdoa. Semoga kamu diberikan jodoh lelaki yang baik dan mau menerima kamu apa adanya."
Wajah ini jadi sendu mendengarnya. "Jangan lagi berdoa seperti itu untukku, Siti."
"Lah kenapa? Bukankah kita harus berdoa yang baik-baik?"
"Iya tapi aku tidak akan pernah menikah sampai kapan pun juga. Aku tidak bisa lagi percaya dengan yang namanya seorang pria. Mereka semua sama saja. Hanya menghancurkan kebahagiaan wanita. Dan aku tidak ada keinginan untuk hidup dengan makhluk bernama lelaki, Siti."
"Jangan seperti itu, Phia. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi hidup harus terus berjalan. Mungkin kamu trauma dengan apa yang pernah terjadi. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Jika tidak semua lelaki itu sebrengsek Arman. Masih ada lelaki baik yang akan menerima kamu apa adanya."
"Tapi aku tetap tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan seorang lelaki apalagi sampai menikah. Biarkan aku tetap seperti ini karena sudah tak lagi ada rasa percaya pada kaum adam yang katanya mengayomi. Yang ada hanya bisa menghancurkan."
Ya, aku sungguh benci dengan lelaki seperti Arman. Rasa benciku pada pria itu pun sampai terbawa pada Aiman. Apa coba maksud pria tadi yang sampai memaksa untuk mengantar aku pulang. Pasti ujung ujungnya juga akan merayu dan kembali menghancurkan hidupku.
"Phi, kamu ngelamun?"
Aku menggeleng. Belum ada tenaga untuk bercerita pada Siti terkait keberadaan sosok Aiman yang merupakan kakaknya Arman.
"Ya sudah cepat mandi lalu istirahat."
"Iya. Kamu juga harus istirahat. Eum ... ngomong-ngomong, kamu masih lama kan pindahannya?"
"Bulan depan mungkin."
"Apa! Cepat sekali?"
"Ya kan aku nikahnya dua bulan lagi, Phi."
Aku memberenggut sedih. Siti menepuk pundakku. "Sudah, jangan sedih begitu. Jika aku nanti pindah, aku juga akan bantu kamu untuk cari tempat tinggal baru yang lebih dekat dari cafe. Agar aku juga enggak kepikiran sama kamu. Kalau pulang malam, kosan dekat, nggak perlu repot-repot cari angkutan."
"Iya iya. Aku ikut kamu sajalah."
Siti tersenyum lalu pamit meninggalkan kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan Saja Jika Kau Cinta [On Going]
RomanceSophia, setelah kehancuran yang dia dapat dari sosok lelaki kurang ajar bernama Arman, hidupnya berantakan. Merasa tak lagi berguna dia hidup di dunia. Sampai suatu ketika datanglah sosok lelaki bernama Aiman yang melamar pads kedua orangtuanya. Bu...