02. ✨✨✨

333 43 1
                                    

Vote dulu sebelum baca

____________________________

Lima tahun kemudian....

"Nenek, aku mau roti itu"

Seorang anak kecil memakai pakaian lucu menunjuk sebuah roti yang berada di bread showcase. Mata hijaunya berbinar indah kala menatap roti kering itu.

Dia mendongkak melihat seorang wanita tua yang berdiri di sampingnya dengan mata yang seakan-akan berisi berjuta bintang di dalamnya.

Wanita tua itu tersenyum hangat. Dia melihat ke arah bread showcase lalu mengeluarkan dompetnya dari dalam tas belanjaannya. Saat wanita itu membuka dompetnya, dia terkejut. Dia kembali melihat bread showcase untuk memastikan harga yang tertera di sana.

"Ethan, uang Nenek tidak cukup untuk membeli roti itu" ucap wanita itu dengan lembut. "Bagaimana jika membeli yang itu saja" tanyanya sambil menunjuk roti yang harganya lebih murah.

Anak kecil itu melihat roti yang ditunjuk oleh neneknya. Bibirnya melengkung ke bawah. Roti yang wanita tua itu tunjuk lebih kecil daripada yang dia inginkan.

"Tapi Ethan mau yang itu, lebih besar" ucap anak kecil itu lirih. Dia menunduk dengan kaki yang digerak-gerakkan.

Anak kecil itu bernama Ethan. Usianya baru lima tahun. Sedangkan wanita tua yang bersamanya adalah neneknya. Kiran, nama wanita tua tersebut.

Mereka baru saja selesai berbelanja di pasar untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Saat mereka melewati sebuah toko roti, tiba-tiba Ethan menginginkan roti besar yang berada di bread showcase. Namun, uang Kiran tidak cukup untuk membeli roti tersebut. Uangnya hanya cukup untuk membeli roti murah dan ongkos naik angkutan umum menuju ke rumah mereka.

Ethan menundukkan kepalanya. "Baiklah"

Kiran tersenyum. Keduanya memasuki toko roti kecil itu dan membeli roti yang Kiran tunjuk. Meski sedikit kecewa, Ethan tetap menerima roti itu dengan senyum yang mengembang membuat Kiran juga ikut tersenyum.

Setelahnya mereka berjalan ke arah halte bus. Menunggu bus yang menuju ke desa mereka. Saat ini Kiran dan Ethan memang berada di kota untuk membeli perlengkapan rumah juga persediaan makanan untuk satu bulan.

Rumah mereka berada di desa yang jauh dari kota dan jauh dari kata modern. Desa yang sangat miskin dan sedikit penduduknya.

Menunggu sedikit lama akhirnya bus yang akan mengantar mereka pulang datang. Kiran menggandeng tangan mungil Ethan dan membantunya menaiki bus.

Butuh sekitar satu jam untuk sampai di terminal perbatasan kota dan desa tempat tinggal Kiran dan Ethan. Saat bus benar-benar sudah berhenti, Kiran dan Ethan turun.

"Nenek hati-hati" peringat Ethan saat mereka melewati kubangan air.

Kiran tersenyum. "Nenek tidak setua itu" ucapnya menolak ingat jika dirinya sudah ringkih dan semua rambutnya beruban.

"Nenek selalu bilang begitu" Ethan mencebikkan bibirnya. Dia menggandeng tangan Kiran dengan erat. "Biarkan Ethan yang bekerja, Nenek di rumah saja! Ethan kan kuat"

Kiran terkekeh. Dia senang melihat Ethan tumbuh menjadi anak yang kuat dan juga mandiri. Namun, Kiran juga merasa sedih, karena keadaan ekonomi mereka membuat Ethan menjadi berpikir lebih dewasa. Terkadang sesekali dia keras kepala seperti kebanyakan anak kecil seusianya.

Hal itu membuat Ethan tidak memiliki teman sebaya. Ethan sibuk mencari uang tambahan dengan membantu tetangga berkebun. Meski upahnya tak seberapa namun dapat menambah keuangan Kiran.

Butuh waktu setengah jam menuju rumah dengan keadaan Kiran yang sudah ringkih itu. Saat memasuki rumah Kiran dan Ethan terkejut karena keadaan di dalam rumah begitu berantakan. Padahal sebelum mereka pergi ke kota keadaan rumah sangat bersih dan rapi.

"Apa yang terjadi Nenek?" tanya Ethan panik. Si kecil itu langsung berlari menuju kamar Kiran. Kamar yang menyimpan banyak benda penting termasuk uang tabungan mereka.

Saat Ethan sampai, dia melihat seorang wanita berumur sedang mengacak-acak lemari pakaian milik Kiran. Ethan langsung berlari menerjang wanita itu sekuat tenaga sampai wanita itu jatuh tersungkur.

"Apa yang Bibi lakukan?!"

Wanita itu mengaduh lalu segera berdiri. Mendorong tubuh kecil Ethan sampai dia terjatuh dan menabrak dinding.

Ethan meringis sakit. Namun, dia tetap berusaha berdiri tegap untuk mencegah wanita yang dia panggil bibi.

Kiran yang mendengar keributan berusaha berjalan cepat ke arah kamarnya. Dia terkejut saat melihat wanita yang tak lain adalah putri bungsunya. "Apa yang kamu lakukan, Seina?"

Wanita bernama Seina itu memutar bola matanya jengah. Tanpa perduli keberadaan Kiran dan Ethan dia kembali mengacak-acak seisi lemari Kiran.

Ethan menarik-narik baju Seina. Berusaha menghentikan tindakan buruk yang dilakukan bibinya itu. "Jangan! Itu uang Nenek!"

"Diam dasar anak sialan!"

"Seina!" teriak Kiran.

Tapi Seina tidak perduli. "Ibu sembunyikan dimana uangnya?"

Wajah Ethan memerah karena berusaha sekuat tenaga untuk menarik bibinya yang ternyata sangat kuat.

"Kamu sudah memintanya minggu lalu, sekarang untuk apalagi?" Kiran membungkuk memunguti barang-barangnya yang berserakan.

"Nenek kerja itu untuk makan, bukan untuk berjudi!"

Seina mencengkram pipi Ethan. "Anak kecil tau apa, hah?!"

"Lepaskan Ethan, Seina! Dia masih kecil"

Seina melepas cengkeramannya dari pipi Ethan. Dia menatap bocah itu tajam.

"Ibu akan memberimu uang, tapi ibu tidak memiliki banyak" Kiran merogoh saku cardigan rajutnya.

"Nenek, jangan... Itu kan untuk membeli obat pinggang Nenek" larang Ethan dengan wajah yang memelas.

Kiran tersenyum. "Tidak apa, Sayang. Nenek bisa berhutang pada tetangga terlebih dahulu"

Seina memutar bola matanya lagi. Dengan tak sabaran dia mengambil uang dari tangan Kiran dengan kasar. "Jangan pelit sama anak! Lagian sok-sokan tidak mau uang ayah anak ini, dia itu kaya, harusnya kita tidak miskin seperti ini jika mendapatkan uang dari ayahnya"

Ethan menatap Seina dan Kiran bergantian. Dia tidak mengerti dengan ucapan kedua wanita di hadapannya itu.

"Ibu ingatkan jangan membahas orang itu di hadapan Ethan!"

"Whatever"

Seina pergi dengan beberapa lembar uang di tangannya. Meski tidak cukup untuk membayar hutang tapi dengan itu dia tidak dikejar-kejar rentenir untuk sementara.

Sedangkan di dalam rumah, Kiran dan Ethan sedang membersihkan barang-barang yang berserakan dan meletakkannya ke tempat semula.

Dalam lubuk hati Ethan yang paling dalam, dia sungguh sangat membenci bibinya itu. Padahal dia sudah dewasa, tapi tetap saja menyusahkan orang lain. Bibinya itu tidak pernah memikirkan nenek dan dirinya. Kiran dan Ethan bekerja keras untuk mendapatkan uang tapi dengan mudahnya bibinya menghabiskan uang itu.

"Nenek" panggil Ethan dengan lembut.

"Ya, Sayang?"

"Kenapa sih, Nenek selalu memberikan Bibi Seina uang? Dia kan sudah dewasa, harusnya Bibi bisa mengerti keadaan Nenek"

Kiran tersenyum lalu mengusap puncak kepala Ethan. "Apa kamu marah karna Nenek tidak bisa membelikan roti yang kamu inginkan? Nenek justru memberikan uang kepada bibimu?"

Ethan menggeleng. "Ethan tau kalo uang untuk jajan Ethan memang tidak banyak. Uang tadi seharusnya kan untuk membeli obat. Jika Nenek tidak meminum obat itu, Nenek kan tidak bisa tidur dengan nyaman" ucapnya tulus. "Ethan sedih melihat Nenek sakit"

"Kamu memang anak yang baik, Ethan. Sama seperti ibumu. Selalu memikirkan Nenek terlebih dahulu"

"Ethan ingin bertemu Ayah"

"..."















Tbc
See you next chapter 😘

Baby Ethan ||HIATUS||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang