2

202 16 1
                                    

Dalam perjalanan pulang kembali menuju pabrik, renungan yang tiada kira kembali menyergap. Pertemuannya dengan sosok istri dari seorang adipati, membuat Gumara terhenyak. Rasa yang menyelimutinya terasa sesak, suramnya hati membawa gelapnya semesta yang turut serta datang. Mengkolaborasikan dua kegelapan menjadi satu, menuai asa yang jauh dari kata elok. Gumara akhirnya menghentikan langkahnya lemas, kedua kakinya terhenti di sebuah jalanan yang nampak sepi. Kedua kakinya terduduk lemas ditengah jalanan bersama hembusan nafas kasar yang berulang kali dilakukan oleh Gumara.

Netra pemuda itu terpejam, kakinya terasa lelah berkali-kali lipat berbeda ketika ia berangkat. Seolah dirinya kehilangan energi seketika, membuat Gumara akhirnya mencoba mengistirahatkan tubuhnya. Pemuda itu mengangkat paksa raganya untuk bisa kembali berdiri dan menepi, memasuki pinggiran kebun yang tak tau milik siapa untuk beristirahat. Bersembunyi dibalik pohon, untuk menyenderkan kepalanya. Dirja akhirnya memejamkan netranya, mengarungi asa yang jauh dari dimensi dunia. Menjelajahi ilusi yang kian memikat, melahirkan hembusan nafas teratur yang mulai terdengar dari seorang Gumara.

Tak ada yang tau, mengapa pertemuannya dengan sosok Ndoro Sartinah berhasil membuat Gumara menjadi demikian. Entah karna terkejut dapat bertemu seorang istri adipati yang dihormati, atau karna keterkejutan seorang pembuat perak bersinggungan netra dengan sosok yang tak boleh ia pandang karna derajatnya.

Memorinya akan masa lalu, masih terkunci rapat. Tak mengijinkan seorang pun untuk tau bahwa kita tengah menunggu, menunggu kerapuhan dan gelakan tawa akan memori manusia yang kini tengah tertidur pulas terkuak. Wajah yang begitu berparas tampan, tubuh besar tanpa noda luka sedikitpun. Raga itu hanya bertahan dengan sepotong kain yang menutupi pinggang hingga lututnya. Rambut panjangnya terikat dengan bantuan sebuah perak polos yang memanjang. Hanya itu, yang menemani seorang Gumara dalam sehari-harinya. Tanpa disadari, Gumara terlelap hingga senja tiba. Matahari kembali tergantikan dengan malam, wewangian gaharu berhasil menyadarkan Gumara dari tidurnya. Pemuda itu memegang keningnya yang terasa pening karna tidur terlalu lana. Dengan bantuan pepohonan yang menjadi tumpuan Gumara, Gumara berdiri dan pergi dari balik pepohonan dan kembali menuju jalanan utama. Wewangian gaharu yang sebelumnya berhasil membangunkan Gumara dari tidurnya, masih tertinggal jelas bersatu dengan udara. Wewangian yang begitu menenangkan bagi siapapun yang menghirupnya. Ditemani senja yang ada, kaki itu melangkah dengan sendirinya. Menyusuri setiap jejak yang tertinggal dari wewangian tersebut, membawa raga itu berdiri tepat di sebuah pasar yang begitu besar. Suara gamelan terdengar dari segala sudut, wewangian gaharu semakin kuat berbaur dengan melati. Berbagai penjaja makanan berbaris memenuhi area kosong guna menjajakan jualan mereka.

Gumara tersenyum tanpa sadar, menatap Sekumpulan anak-anak laki-laki yang berlarian sembari membawa mainan kayu mereka. Gelak tawa di setiap obrolan yang terperangkap dalam netranya, membuat kenyamanan yang begitu ia rindukan kembali hadir di sisinya. Malam yang begitu terang karna rembulan, dihiasi oleh obor yang di tata rapi di sepanjang area. Angin yang begitu dingin, dihangatkan oleh kobaran api yang menyala dengan menari-nari. Tanpa sadar, Gumara melangkahkan kakinya lebih dalam kedalam porak poranda kebahagiaan yang berkumpul di sana. Sebuah ukiran kayu besar menyita perhatiannya. Sebuah penanda berisi tulisan aksara jawa yang menerangkan bahwa acara itu dibuat sebagai perayaan lahirnya seorang anak laki-laki sari sebuah keluarga. Melihat acara yang begitu besar dan mewah, dapat membuat siapapun tau, betapa kaya dan beradanya si pemilik acara.

Seperti pengunjung lainnya, Gumara nampak menikmati acara tersebut dengan mendengarkan wayang kulit yang tengah digelar bersama alunan gamelan yang mengiringinya.

Suara keributan yang terdengar pelan membuat Gumara tanpa sadar menoleh, mendapati dua orang perempuan tengah berdebat sembari mengendap-endap hendak meninggalkan acara. Terlihat seorang perempuan yang berdiri paling depan, menggunakan kebaya berwarna putih dengan bordiran bunga yang melekat di setiap ujung kain. Rambutnya nampak digulung besama perhiasan perak yang simple. Sedangkan dibelakangnya, sosok perempuan lain nampak khawatir. Jika dilihat sekilas, nampak seperti seorang putri yang hendak kabur bersama jongosnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JARAHAN MANUSIA GILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang