Sejak kapan seorang monster bisa memiliki sang malaikat? Atau...bagaimana sang malaikat bisa menerima seorang monster? Aneh? Tapi setengah malaikat dan monster ini adalah bukti bahwa mereka bisa bersatu.
Sebuah kesalahan, yang berakibat pada munculnya sang bencana. Malang menjadi nasib, apakah ia akan mendapat akhir bahagianya?
Seseorang pernah bertanya, 'Bagaimana jika aku tak terlahir sebagai manusia, apakah kau akan tetap berteman denganku?'
Tidak, dia bukan teman. Aku tak pernah menganggapnya begitu. Ia terus terusan meminta jawaban. Aku tak tau bagaimana harus menjawabnya. Hingga pada akhirnya, takdir membuat kami berdua terpisah oleh jarak, usia, segalanya.
Prancis, 2045
Lalu lintas berdesakan. Seharusnya hal ini tak pernah terjadi. Namun akhir-akhir ini keadaan sangat kacau. Ditambah, seorang pembunuh berkeliaran.
"Louis, jangan pulang terlalu malam!" Ah...ibuku selalu saja mengkhawatirkanku.
Aku mengangguk, lalu pergi mengantar roti pesanan para pelanggan ibuku.
Jujur saja, langit tak cukup bersahabat. Aku juga harus ke kampus hari ini. Jalanan sangat macet, mobil-mobil para orang kaya itu terus mengeluarkan suara berisik.
Aku merindukan Prancis 15 tahun lalu. Di mana jalanan masih rapi tanpa desakan. Dan para pemburu itu tak berkeliaran.
Saat tiba di rumah ke 4 tempatku mengantar pesanan, hari hujan sangat deras. Deraian air mengalir membentuk genangan. Astaga...aku bahkan tak membawa mantel maupun payung.
Hujannya tak kunjung berhenti. Untunglah, semua pesanan telah selesai aku antarkan.
Daripada basah saat tiba di kampus, aku memutuskan untuk berteduh. Gang yang sempit, bahkan tercium bau tak sedap saat melewatinya. Tubuhku merinding, memberi sinyal untuk berhati-hati. Setelah berhenti, tembok gang itu menjadi sandaranku.
Mataku tertuju ke langit, mendung. Gelap sekali. Membuatku terkejut, terlebih saat seseorang melempar tubuhnya ke arahku.
Untunglah, aku berhasil menangkapnya. Dia sangat pucat. Dengan mata tertutup dan leher yang berdarah, membuatku cukup panik.
"Pak! Kau tak apa?!"
Aku menggoyangkan tubuh pria itu. Tak ada respon sedikitpun. Hingga ku periksa nafasnya yang sudah tak terasa. Reflek, aku membuang tubuhnya ke tanah. Berlari dari sana. Hingga tubuhku bertabrakan dengan punggung seseorang.
Mulutnya dipenuhi darah. Mata ungu menyala itu...dan di sinilah aku. Terjebak, di depan pemburu yang siap memangsa kapan saja.
Pemburu itu tak bergeming. Membuat tubuhku yang gemetaran, semakin merasa ketakutan dengan tingkah diamnya itu.
Matanya yang menatap, membuat darahku berdesir hebat. Aku bahkan tak bisa merasakan nafasku. Ia membersihkan darah di tepian bibirnya menggunakan lidahnya, lalu mendekat dan menarik kepalaku, menatapnya.
"Hey, apa ini? Apa kau tersesat, manis?"
Nadanya terdengar dingin, walau suara itu sebenarnya tak se-menyeramkan itu.