8

3K 169 8
                                    

Ellen tak pernah mengira hidupnya akan serumit ini, selama ini ia hanya berpikir bahwa hidupnya akan berjalan sesuai keinginannya.

Namun, Ellen hanyalah manusia yang hidupnya penuh pengharapan yang belum tentu bisa dikabulkan Tuhan. Setiap hari, ia hanya berpikir, hari akan berganti hari yang lebih baik, meninggalkan semua luka dan duka yang mengiringi jalannya.

Kali ini, Ellen benar-benar dijatuhkan oleh realita, mematahkan semua harapan yang dirangkai indah, hingga lebur bersama kepingan luka yang ia ciptakan sendiri.

Elang—suaminya yang ia jadikan tempat pelarian, memasang topeng keangkuhan, bersembunyi  dari kenangan bersama kekasih yang telah mendahuluinya.

Hati yang membeku retak melihat Elang diantara mati dan hidup, beside monitor menunjukkan detak  yang ia paksa bertahan, memberontak dipacu kejut jantung.

Ellen menangis histeris melihat tubuh polos Elang tersentak kuat dengan darah yang terus keluar dari mulut membiru itu. Hatinya semakin menjerit melihat Dokter menekan dada berulang kali, rasanya ia ingin menghentikan mereka yang semakin membuat suaminya dalam kesakitan. 

Tak berbeda jauh dengan Dion, ia menangis dalam diam mengusap dinding kaca tembus pandang. Dadanya sesak melihat kondisi ayahnya semakin menurun.

Yumita dan Herlambang melihat anak dan cucunya begitu terpuruk hanya bisa memberikan pelukan, dan memberikan kata-kata penenang.

Launa hanya bisa memandang kosong pembatas ruang ICU, bahkan air matanya tak pernah surut sejak dipaksa keluar dari ruang terkutuk itu. Mahendra yang berada di sampingnya mengusap wajahnya kasar, sangat marah terhadap perbuatan istrinya itu.

“Lihat sekarang, Fano kita semakin kesakitan.”

Launa tergugu. “Apa aku salah?” tanyanya lirih.

Mahendra menggeleng lelah. “Salah atau tidaknya, tak sepentasnya kamu menghakimi Ellen di depan Fano yang sedang sekarat,” tuturnya.

Jika Mahendra menghadapi sikap keras istrinya ini, hal biasa baginya. Tapi untuk kondisi sekarang, ia tidak akan membenarkan sikap egoisnya.

“Berdoalah, semoga Fano kita tetap mau bertahan,” lirihnya memandang sendu pemandangan menyayat mereka.

Launa tak bisa menjawab ucapan Mahendra, yang ia lakukan berdoa kepada Tuhan.

Di dalam ruang ICU begitu menegangkan. Tanda vital pasien semakin menurun, bahkan beside monitor menunjukkan garis lurus.
Dokter bergerak melakukan CPR, menekan dada bertelanjang, sementara suster menyedot darah yang keluar dari mulut Elang yang terbuka lebar.
Semuanya berusaha semaksimal mungkin, hingga teriakan Dokter memberikan alarm bahaya semakin memojokkan mereka.

Defibilator!”

Suster mengambil cepat alat yang Dokter minta, mempersiapkan dua alat yang mirip setrika itu dan mengeloskan jel khusus, lalu memberikannya kepada Dokter.

Dokter berhenti melakukan CPR, mengambil alat yang ia minta, menempelkannya ke dada yang tidak bergerak itu.

“200 joule!”

Tubuh Elang tersentak kuat, dan jatuh begitu saja ketika dua alat itu di lepaskan dari dadanya. Namun belum menunjukkan kemajuan.

“250 joule!”

Teriak Dokter, dan suster mengatur tegangan listrik, dan ketika tubuh itu kembali dikejutkan. Tubuh Elang kembali tersentak kuat dengan darah semakin banyak keluar. Namun belum menunjukkan peningkatan.

“300 joule!”

Teriak Dokter frustasi, tapi suster menggeleng. “Dok, ini sangat menyakiti pasien,” ibanya melihat wajah kuyu Elang menyemburkan darah setiap diberi kejut jantung.

Stay With Me (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang