HAPPY READING
Sepulang sekolah, Gibran berjalan sendirian menuju gerbang dengan pikiran penuh. Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Tatapan diam-diam dari teman-temannya di kelas, ejekan kecil dari Rahsya, dan bahkan senyum simpul dari Irsyad yang seolah-olah mengatakan “Gue tahu lo mulai berubah” membuat Gibran merasa seolah dia adalah pusat perhatian. Namun, semua itu bukanlah hal yang paling mengganggu pikirannya.
Yang paling menekan adalah harapan di mata Adara. Harapan bahwa dia bisa berubah.
Saat Gibran tiba di gerbang, dilihatnya Irsyad dan Rahsya sudah menunggu. Mereka berdua tampak santai, bersandar di dinding gerbang, sementara siswa-siswa lain berlalu-lalang di sekitar mereka. Irsyad menyeringai ketika melihat Gibran mendekat.
“Lo gak kabur lagi dari kelas, Gib. Prestasi besar,” ledek Irsyad sambil tertawa kecil.
“Udah Syad, jangan kerjain dia. Ini kemajuan buat Gibran,” Rahsya menimpali, tapi tatapan geli di wajahnya tidak bisa disembunyikan.
Gibran mendengus, melipat kedua lengannya dengan sikap defensif. “Seharusnya gue gak usah balik tadi,” jawabnya setengah bercanda, meski ada jejak keseriusan di nadanya.
“Bukan gitu caranya,” Irsyad menggeleng pelan. “Lo sendiri yang bilang mau berubah, kan? Jangan cuma gara-gara lo gak suka aturan, terus lo berhenti usaha.”
“Gue tau,” sahut Gibran, menundukkan pandangannya. “Tapi, lo juga ngerti kan? Ini enggak gampang buat gue.”
“Iya, tapi lo punya kita, Gib. Gue, Rahsya, Adara. Kita di sini buat bantu lo,” ucap Irsyad sambil menepuk bahu Gibran pelan. “Lagipula, kalau lo gak balik ke kelas, nanti yang diserang Adara. Lo gak mau kan liat dia yang kena marah?”
Gibran terdiam, menghela napas panjang. “Iya, lo bener,” gumamnya. “Gue gak mau bikin dia kecewa.”
Rahsya dan Irsyad saling bertukar pandang sejenak sebelum tersenyum. Mungkin Gibran belum sadar, tapi setiap kali ia menyebut nama Adara, ada ketulusan yang tidak bisa disembunyikan. Meski Gibran seringkali keras kepala dan egois, ia tak pernah bisa mengabaikan Adara.
“Ngomong-ngomong, lo ada janji sama Adara nanti sore?” tanya Rahsya tiba-tiba.
“Enggak,” jawab Gibran cepat. “Kenapa emangnya?”
Rahsya menyeringai. “Soalnya tadi gue denger dari anak-anak cewek di kelas kalau Adara mau beli bahan buat masak. Dia lagi suka eksperimen masak akhir-akhir ini.”
“Masak?” dahi Gibran mengernyit. “Dia gak bilang apa-apa ke gue.”
“Tentu aja dia gak bilang. Lo pikir Adara bakal langsung ngajak lo begitu aja?” Rahsya menatapnya dengan tatapan seolah-olah Gibran adalah makhluk yang paling bodoh di muka bumi. “Dia masih ngarep lo yang inisiatif duluan, tau gak?”
“Eh?” Gibran benar-benar bingung. Rahsya dan Irsyad cuma bisa menghela napas panjang melihat betapa clueless-nya teman mereka ini.
“Gini deh,” Irsyad mengambil alih. “Kalau lo pengen bikin dia seneng, kenapa gak nyusul aja? Beliin sesuatu yang bisa dia pakai buat masak. Biar kelihatan kalau lo peduli, gitu.”
Gibran menatap temannya sejenak, lalu senyum tipis muncul di bibirnya. “Itu ide yang bagus. Tapi... gue gak tau apa-apa soal bahan masakan.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara [END]
Novela JuvenilAdara Bianca & Gibran Narendra adalah kisah tentang pertemuan dua jiwa yang terjalin dalam konflik. Adara, sosok gadis yang sulit percaya dengan orang yang sudah mengecewainya dan Gibran, sosok pemuda yang berjuang untuk mendapatkan hati Adara meski...