Secangkir Kopi

0 0 0
                                    

Sejak hari itu, Syifa terus saja merasa tertekan dan sangat tidak menyukai pak Didin, Syifa selalu berusaha menghindar setiap kali jam pelajaran ilmu komputer di kelas. Dia mulai merasa terusik setiap kali berhadapan dengan pak Didin. Tapi tetap saja, dia selalu kalah dengan bujuk rayuan Beka and the genk yang pada akhirnya dia tetap setia berada di dalam kelas saat pelajaran ilmu komputer.

Syifa and the genk sedang duduk di kantin, mereka menikmati menu hidangan yang saat ini menggugah selera mereka berlima. Syifa terus saja menyeruput es jeruk favorit nya tanpa henti. Beka dan yang lain nya tau betul, Syifa baru saja ibarat keluar dari kandang singa. Pelajaran ilmu komputer tadi membuat Beka dan yang lain nya belum berani mengajak nya bicara. 

“Pak Didin, sebelah sini pak!”

Syifa tersedak. Dia terbatuk-batuk begitu mendengar suara yang menyebut nama pak Didin di depan nya. Yang baru saja disadari, beberapa guru muda lain nya sedang duduk berkumpul di depan meja yang sedang Syifa and the genk nikmati sejak tadi. 

“Syif, kamu gak apa-apa?” tanya Beka sembari menepuk punggung Syifa dengan pelan. 

“Iya, Syif. Kamu gak apa-apa? Pelan dong, minum nya.” ucap teman yang lain nya. 

“Kita pindah aja yuk,” ajak Syifa kemudian. Padahal, pak Didin yang tidak ia duga sudah duduk di depan nya. Bahkan sekilas pak Didin melihat nya sebelum duduk berkumpul dengan para guru muda lainnya. 

Sejak pak Didin masuk ke sekolah itu, beberapa guru yang masih single dan muda turut masuk mengajar. Beberapa dari mereka juga masih teman seangkatan pak Didin, kabarnya. Namun, tetap saja. Pak Didin yang lebih tampan diantara mereka. 

“Karena pak Didin?” pertanyaan Beka membuat beberapa teman lainnya menoleh ke arah Beka lalu kemudian menatap wajah Syifa yang kini merasa dipojokkan. 

“Jangan menatapku seperti itu, kalian tau aku sangat tidak menyukai pak Didin.” Syifa berbicara dengan nada lirih dan menundukkan wajahnya. 

“Aku juga heran, aku merasa seolah pak Didin ini punya dendam pribadi padamu Syifa. Kamu yakin gak pernah ketemu pak Didin sebelum dia mengajar disini?” 

“Ayolah, Bek. Jangan konyol, kamu terus  bertanya padaku sudah tidak terhitung. Kamu tau, Bek. Aku tidak pernah punya kesempatan bermain lama di luar, ibu selalu melarangku.”

“Benar, Bek. Kamu ingat gak, waktu kita kemah Syifa selalu disamperin orang tua nya hampir tiap malam. Hahaha…” salah satu teman Syifa mengingatkan hal itu pada Beka membuat semua tergelak tawa. 

“Kalian jahat… “ ucap Syifa dengan ekspresi wajah sedih. 

“Maafkan kami, Syif. Habisnya kamu lucu, kami maklumi karena kamu anak tunggal. Tapi kamu sudah stop Asi kan, Sayang?” lanjut Beka menggoda Syifa. Disusul kembali dengan gelak tawa yang kemudian… 

“NABILA!”

Sontak Beka dan teman lain nya berhenti ketawa setelah habis-habisan menggoda Syifa sejak tadi. Mereka menoleh ke arah datangnya suara yang memanggil nama tersebut. 

“Apa lagi sih ini?” gumam Syifa, begitu sadar pak Didin lah yang memanggil nama itu.

“Eh, pak Didin. Sejak kapan bapak duduk disitu?” sapa Beka lebih dulu. 

“Saya panggil Nabila, bukan panggil kamu, Beka.” jawaban pak Didin membuat Beka memanyunkan bibirnya. 

“Ih, Bapak! Saya kan juga mau di sapa sama bapak, salah?”

“Kamu gak salah, tapi teman kamu yang salah tuh!” tunjuk nya pada Syifa. 

Beka menoleh sejenak ke arah Syifa yang sejak tadi berusaha memalingkan wajah nya dari tatapan pak Didin. “Syifa, maksud bapak?” tanya Beka kemudian. 

“NABILA. Bapak tidak kenal Syifa,” jawab pak Didin dengan cetus. “Nabila, tolong ambilkan kopi bapak sana!” serunya kemudian pada Syifa. 

“Saya saja yang ambilkan kopi bapak,” usul salah satu teman Syifa. 

“Nabila, kenapa kamu diam saja? Kamu sakit? Cepat ambilkan kopi bapak!” ujarnya pada Syifa. 

“Pak Didin, why? Elu sengaja? Kasihan anak itu gelisah sejak tadi.” sambung salah seorang guru muda yang tak lain teman seangkatan pak Didin. Bu Rossa, paling cantik diantara semua yang duduk bersama pak Didin saat ini.

PAK Didin hanya menyimpulkan senyuman masam menanggapi pertanyaan bu Rossa barusan. “Nabila,” panggilnya kembali pada Syifa. 

Mau tidak mau, Syifa akhirnya bangkit dari duduk nya. Tanpa bicara, Syifa menuju meja dimana bapak dan ibu penjaga kantin duduk bersama. Mereka sedang berdiskusi, tapi terlihat aneh. Setelah Syifa menghampiri, Bu Kantin sudah menyiapkan secangkir kopi susu yang seolah sejak tadi sudah menunggu untuk di hidangkan. 

Syifa menatap wajah sepasang suami istri itu bergantian. “Kenapa bukan bapak kantin yang antar kopi ini, Pak?”

“Pak Didin maunya neng Syifa yang antar, kan?” bisik bu Kantin pada Syifa seraya tersenyum menggoda. Hal itu membuat Syifa semakin geram bertanya-tanya dalam hatinya. 

Syifa berbalik badan, dia menghampiri pak Didin lalu menyodorkan secangkir kopi pesanan nya tepat di hadapan pak Didin. “Kopi nya, Pak.” kata Syifa dengan cetus. 

“Makasih, Nabila.” ujar pak Didin dengan cuek tanpa merasa bersalah sudah memperlakukan Syifa demikian. 

Syifa mendesakkan kaki nya lalu beranjak pergi keluar dari kantin sekolah bahkan ia tidak lagi kembali duduk bersama Beka and the genk nya. Tentu saja, mereka pun mengejar langkah kaki Syifa yang saat ini menuju ruang kelas. Ya, ruang kelas saat jam istirahat pasti sepi dan itu membuat Syifa bisa leluasa meluapkan amarahnya pada pak Didin. 

“Dasar nyebelin, dia punya kaki kan? Dia punya mulut untuk bisa berbicara, untuk bisa berjalan, dia juga punya tangan, untuk mengambil kopinya sendiri di bu Kantin. Kenapa harus aku yang disuruh? Kenapa harus aku???” Syifa menggerutu sambil berjalan dengan terburu-buru menuju ruang kelas. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang