Sebelum aku menceritakan semuanya, aku akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Elina Mazaya dipanggil Lina. aku sudah menikah dengan pria bernama Wildan Baharudin. Kami menikah atas dasar cinta. Selama menjadi istrinya aku tidak pernah sedikitpun menderita. Dia selalu bisa memperlakukanku dengan baik. Dia juga sosok yang sangat romantis dan sering memberiku kejutan-kejutan manis.
Namun, di tahun kelima pernikahan kami, kami belum juga diberikan momongan. Hal itu menjadikanku bahan gunjingan oleh keluarganya serta tetangga kami. Tapi suamiku selalu memberikan dukungan dan selalu menghibur setiap kali aku bercerita sambil menangis mengenai perlakuan keluarganya. Dia selalu bisa membuatku tenang dan melupakan semua perkataan yang menyakitkan. Tapi entah mengapa perlahan aku mulai merasa ada yang berubah dari suamiku. dia tidak seperti biasanya
“Mas, aku juga mau ikut ya sekalian nengokin Mama.” Pintaku sambil mengedipkan mata penuh permohonan. Aku sungguh tidak ingin ditinggal sendirian di rumah kami. Aku benci kesepian.
“Nggak bisa Lina, Mas ada urusan di sana nanti kamu kalau Mas tinggal sama Mama malah makan hati.” Tegurnya kepadaku, jelas sekali suamiku tidak ingin aku ikut bersama ke rumah ibunya. Ibu mertuaku memang sedikit rewel apalagi kalau menyangkut anak.
“Kok gitu sih, Mas. Masa mau ninggalin aku di sini. Kalau di rumah Mama setidaknya aku tidak akan kesepian, Mas.” Rengekku masih mencoba merayunya. Sejujurnya aku juga tidak yakin apa bedanya saat aku berada di rumah mertuaku. Nyatanya aku tetap saja kesepian. Tapi biasanya suamiku tidak pernah tega meninggalkanku sendirian di rumah.
Dia menatapku dengan raut serius. Dia tidak pernah bersikap seperti itu selama ini. “Kamu ngerti nggak, kalau Mas bilang nggak bisa ya enggak. Masih pagi udah bikin mood berantakan. Udah aku pergi dulu! Kamu jaga rumah baik-baik, jangan pergi kemana-mana.”
Aku menghela napas mendapat ucapan itu untuk pertama kalinya. Aku sedikit syok mendapat ucapan ketusnya. Alhasil aku hanya menurut dan melihat kepergiannya dengan hati berdenyut perih. Sudah beberapa bulan kebelakang sikap suamiku terlihat berubah perlahan-lahan. Jika dulu dia sangat romantis, kini tidak terasa lagi. Aku seperti merasa ada yang sedang dia sembunyikan dariku. Tapi entah mengenai hal apa. Jika aku bertanya kepada ibu mertua atau saudara iparku mereka hanya menjawab penuh cemoohan. Selalu aku yang disuruh introspeksi diri.
Aku menatap nanar ponselku, hatiku tiba-tiba terasa was-was tanpa sebab yang jelas. Aku mengetik satu baris kalimat lalu menekan tombol kirim. “Mas kalau sudah sampai kabarin ya.”
Aku mencoba nenenangkan hati yang sedang gundah. Aku menyapu, mengepel, menyetrika lalu menonton acara televisi memasak. Aku kembali mengambil ponsel dan mengecek, tidak ada balasan apa pun dari suamiku. Pesanku hanya dilihat saja, lagi-lagi aku mengembuskan napas. Ada apa dengan suamiku, dia tidak pernah memperlakukan aku seperti ini selama kami menikah. Jika terus begini perasaanku semakin tidak menentu. Aku khawatir, aku cemas dan aku ketakutan. Banyak skenario buruk yang berseliweran di dalam kepalaku.
“Mas, sebenarnya kamu kenapa sih? Cuek banget sama aku sekarang.” Desahku pada diri sendiri.
Di tempat lain, Wildan menatap seorang wanita dengan datar. Dia mau menemui wanita itu lantaran desakan dari ibunya. Dia sebenarnya merasa bersalah kepada sang istri. Namun, dia juga tidak tega kepada ibunya. Wanita yang kini duduk dihadapannya sangat menarik. Bahkan jauh lebih menarik daripada Lina, istrinya.
“Mas, kapan berencana datang ke rumah?” Tanya wanita itu dengan suara lemah lembut.
Wildan berdehem, lalu menatap ke arah wanita itu dengan saksama. “Saya masih belum membicarakan hal ini dengan istri saya. Saya butuh waktu untuk memulainya.”
Wanita itu mengembuskan napasnya dan ada sorot mata kecewa terpancar. “Ini pertemuan kita yang ketiga kalinya, Mas. Apa tidak bisa dipercepat, saya takut kedua orang tua saya berubah pikiran.”
“Aku akan memikirkannya.”
“Aku tunggu ya, Mas.”
Wildan tidak menjawab, dia hanya menganguk kan kepalanya pelan. Pikirannya kini dipenuhi oleh istrinya. Dengan cara apa nanti dia memberitahu Lina kalau ibunya sudah Memilihkan istri kedua untuk dia. Dia bingung, di sisi lain wanita yang dipilih ibunya bukan wanita sembarangan. Wanita itu berpendidikan, memiliki adab yang baik dan tutur katanya lemah lembut. Dia juga sangat cantik dan menarik. Laki-laki manapun pasti tidak akan berniat menolaknya apalagi dijadikan sebagai istri. Tidak terkecuali Wildan, dia juga ingin memiliki wanita itu di sisinya. Apalagi sudah lima tahun lamanya tapi mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Ibunya hanya ingin seorang cucu, apa salah dia ingin mewujudkan itu semua. Itu salah satu bukti baktinya kepada sang ibu.
Setelah berkutat selama satu jam di tempat itu, keduanya memutuskan menyudahi pertemuan mereka berdua. Wanita yang bernama Fani melempar senyum lembut ke arah Wildan. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan disambut oleh Wildan. Wildan bisa merasakan betapa lembut dan wanginya tangan Fani. Dia sedikit terbuai dan Fani terkekeh geli.
“Mas, apa boleh aku menumpang sampai depan. Aku tadi kesini naik taksi karena mobil ku sedang diperbaiki.”
“Boleh, ayo.” Ajaknya dan mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang perjalanan, Fani selalu mencuri pandang ke arah Wildan. Dia bisa melihat betapa Wildan sosok yang berkharismatik. Postur tubuhnya tegap, rahang nya tegas, wajahnya juga tampan dan dia terlihat mapan. Wanita mana yang bisa menolak pesona pria seperti Wildan. Fani bahkan rela menjadi istri kedua. Awalnya dia menolak permintaan ibunya yang ingin menjodohkan nya dengan pria beristri. Tapi setelah mengenal Wildan dia berharap agar pernikahan mereka segera dilaksanakan.
Wildan kembali ke rumahnya pukul dua malam padahal dia pamit kepada Lina hanya sampai jam sepuluh malam. Keterlambatannya bukan tanpa alasan. Dia mengantarkan Fani ke rumahnya dan kedua orang tuanya meminta Wildan untuk mampir, mereka juga menawarinya makan malam dan menghabiskan waktu berbincang dengan ayahnya Fani hingga larut malam.
Dia membuka pintu perlahan dan mendapati istrinya tidur di ruang tamu di atas sofa panjang. Wildan segera menutup kembali pintu dan menghampiri sang istri. dia semakin dibuat bersalah dengan apa yang sudah dia sembunyikan. Apa istrinya bisa menerima kalau dia menikah lagi. Wildan bingung dan memilih pergi ke kamarnya untuk mandi. Dia berencana memindahkan Lina setelah dia mandi.
Aku membuka mata perlahan dan berharap suamiku akan menggendongku menuju kamar kami seperti yang biasa dia lakukan. Tapi melihat suamiku berlalu begitu saja rasa kecewa merayap sampai ke ulu hatiku dan itu terasa menyakitkan. Tanpa terasa aku meneteskan air mata dan memutuskan kembali tidur saja.
Sekitar jam lima pagi aku membuka mata dan kaget melihat wajah suamiku sudah berada dihadapanku. Terakhir aku tidur di sofa, apa Mas Wildan yang memindahkanku ke dalam kamar. Aku menatap lekat wajah tampan Mas Wildan. Perasaan takut kian merasuk ke dalam hatiku tanpa sebab. Aku sangat takut kehilangan sosok yang selalu ada di sisiku selama lima tahun ini. Mungkin ketakutan yang aku rasakan wajar mengingat ucapan mertua serta saudara iparku sangat menganggu pikiranku.
“Mas, apa kamu akan meninggalkanku?” Tanyaku pelan. Jelas saja kalimat itu keluar dengan susah payah. Rasa sesak dan sakit bisa aku rasakan menjalar liar di hatiku. Apa aku sanggup menghadapi kenyataan buruk seperti yang sering diucapkan oleh mertuaku. Apa ini alasan Mas Wildan mulai berubah. Apa aku benar-benar akan disingkirkan dari kehidupan suamiku. Apa aku sanggup kehilangan pria yang sangat aku cintai ini. Apa hidupku masih bisa baik-baik saja tanpa suamiku? aku tidak bisa menahan air mata untuk tidak keluar. Aku hanya bisa menangis dalam diam tanpa sepengetahuan suamiku.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Kalau kalian suka komen yahhhhh. Tencuwwww 😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Suamiku Telah Berubah
RomanceElina Mazaya dan suaminya saling mencintai. Bisa sibilang mereka dari keluarga yang harmonis. Namun, seiring berjalannya waktuElina mulai merasa ada yang berubah dari sikap suaminya.