Bab 2 Suamiku Akan Menikah

24 7 3
                                    

Rutinitasku setiap bangun pagi, membereskan rumah, memasak untuk suamiku, dan melakukan pekerjaan layaknya ibu rumah tangga biasa. Suamiku bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan yang lumayan terkemuka di kota tempatku tinggal. Sedangkan aku hanya mengabdikan diri kepada Mas Wildan dengan berada di rumah saja tanpa bekerja. Selama ini sedalam apa pun luka batin yang aku terima dari keluarga Mas Wildan aku tidak pernah ambil pusing. Karena ada suami yang selalu mendukungku dan memberiku kekuatan. Namun, dengan perubahan sikapnya yang belakangan terasa berubah aku menjadi ketar-ketir. Apa aku kurang baik untuk Mas Wildan? Atau aku kurang berbakti kepadanya? Aku terus mempertanyakan integritas sebagai istrinya selama ini.

“Mas sudah bangun, hari ini aku cuma masak nasi goreng mentega sama telur dadar, Mas. Aku lupa belum belanja.”

Mas Wildan datang dari arah belakangku dan duduk di meja makan. Tatapannya terlihat tidak begitu selera melihat menu yang ada di sana. Aku berinisiatif mengambil nasi tapi tanganku dia hentikan.

“Kenapa, Mas?” tanyaku bingung, biasanya juga Mas Wildan tidak pernah protes dengan apa yang aku masak.

“Aku nggak nafsu, aku makan di kantor aja.”

Jelas saja aku terkesiap mendengar ucapannya. Selama ini apa pun yang aku sajikan Mas Wildan selalu makan dan tidak pernah berkata demikian. Aku menatap Mas Wildan dengan kecewa, apa lagi kali ini Tuhan, hanya karena masakan sederhana dia tega menyakiti hatiku seperti ini. Bahkan sorot mata kecewa ku juga di abaikan oleh Mas Wildan.

“Mas, maafkan aku karena lupa belanja. Mas makan sedikit saja ya nanti masuk angin gimana.” Bujukku, karena aku tahu Mas Wildan tidak boleh sampai telat makan pagi mengingat penyakit lambungnya.

“Siapa yang selera makan seperti ini.”

“Tapi selama ini Mas nggak pernah protes dan selalu makan apa pun yang aku masak. Terus apa masalahnya sekarang?” Tanya ku dengan suara sedikit naik. Ya aku kesal kalau Mas Wildan tidak menghargai seperti ini.

“Itulah kamu, hanya karena aku tidak pernah protes kamu menganggap aku menyukainya.”

“Jadi selama ini Mas terpaksa?”

“Sudahlah, pagi-pagi udah ngajak ribut, lama-lama di rumah aku bisa stres!” bentaknya dan berlalu pergi dari sana.

Aku hanya bisa mematung mencerna kembali ucapannya barusan. Apa Mas Wildan sudah bosan denganku karena aku tidak bisa memberikannya seorang keturunan? apa ini sebab dia mulai berubah kepadaku? Apa ini juga hasil hasutan dari keluarganya untuk menjauhiku? Apa semua ini Tuhan, kenapa dengan suamiku. Aku seperti tidak mengenal suamiku lagi. Selama kami hidup bersama tidak pernah sekali pun dia Membentak ku apa lagi meninggikan suara. Bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Kami pernah bertengkar dan berujung suamiku yang meminta maaf.

-----

Di kantor, Wildan mengusap kasar tengkuknya. Ada apa dengannya, kenapa begitu tega berkata demikian kepada sang istri. Apa semua ini karena rasa bersalah nya karena sudah menyakiti Lina. Wildan sangat bingung sekarang ini. Belum lagi masalah di kantor, desakan ibunya yang menuntut agar cepat menikahi Fani. Apalagi ibunya sampai berkata kalau bisa saja ini permintaan terakhirnya. Wildan semakin dilema.

“Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan, bantulah aku.”

Tidak lama berselang seseorang mengetuk ruangannya. Dia memperbaiki rambutnya yang sempat acak-bacakan dan merapikan kemejanya. “Masuk!”

Seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Wildan mendongakkan kepalanya dan terkejut melihat Fani sudah berada di hadapannya. Wajahnya yang ayu dengan sorot lemah lembut kembali membuat Wildan terkesima untuk sesaat. Fani tersenyum melihat Wildan sambil memperkenalkan diri sebagai rekan kerja barunya.

“Sedang apa di sini?”

“Saya rekan kerjanya Mas yang baru.” Tuturnya dengan sopan.

Wildan sedikit terkejut mendengar penuturan Fani. Dia sampai berpikir apa ini jawaban dari Tuhan untuknya. Apa ini jawaban atas kebimbangannya selama ini. Kenapa dari sekian banyaknya orang di dunia ini Fani lah yang menjadi rekan kerjanya. Ini menjadikan mereka semakin dekat. Apa memang ini yang terbaik untuknya.

“Silakan duduk,” ucapnya.

Mereka berdua berbincang sebentar sebelum akhirnya Fani pamit karena harus melanjutkan pekerjaannya. Wildan mengantar kepergian Fani sampai di depan pintu. Setelah Fani menghilang dari pandangannya dia kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya. Ada sebongkah perasaan bahagia terselip di sana. Entah karena dia mengetahui Fani rekan kerjanya atau karena alasan lain.

------

Aku masih menghabiskan waktu di meja makan dan menatap nanar nasi goreng yang sudah dingin. Aku juga tidak selera makan. Rasanya perutku sudah kenyang mendengar ucapan suamiku. Aku berjalan gontai menuju kamar dan kudengar bel berbunyi. Aku tidak tahu siapa yang datang berkunjung di saat suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja. Aku berjalan malas menuju ke arah pintu lalu membukanya. Aku sedikit terkejut melihat kedatangannya.

“Masuk, Ma.”

“Mama bawa lauk dari rumah, kata Wildan kamu tidak belanja.”

Mendengar itu hatiku mendadak nyeri. Apa sekarang Mas Wildan mulai mengadukan apa pun yang terjadi di rumah ini. Aku lagi-lagi hanya bisa memendam rasa kecewaku kepada Mas Wildan. Kenapa dia tega mengatakan hal itu kepada mertuaku. Jelas-jelas Mas Wildan tahu kalau ibunya tidak pernah menyukai ku sebagai menantunya.

“Belum sempat, Ma ini aku mau pergi belanja.” Kataku pelan.

“Tidak perlu! Taruh ini ke kulkas.” Mertuaku menyerahkan satu kantung kresek besar dan langsung kuterima.

“Gimana suami nggak bosan kalau istrinya hanya malas-malasan di rumah.”

Aku membeku mendengar ucapan mertuaku. Apa maksudnya suamiku bosan denganku? Aku menghadap ke arah mertuaku dan mempertanyakan maksud dari perkataannya. “Apa maksud Mama?”

“Loh Memangnya Wildan nggak cerita sama kamu?”

“Cerita soal apa, Ma. Tolong Mama jelaskan.”

“Wildan akan menikah lagi karena kamu tidak bisa memberikan Mama cucu.”

Bagai disambar petir di siang bolong, aku menjatuhkan kantung kresek yang masih kupegang. Tanganku gemetar dan wajahku langsung pucat pasi. Apa ini alasan Mas Wildan berubah karena dia sudah memiliki wanita lain. Apa ini alasan Mas Wildan tega menyakitiku. Tanpa sadar air mata sampai jatuh membasahi pipiku. Kakiku terasa lemas dan aku jatuh terduduk dengan tatapan hampa. Apa ini ketakutan ku selama ini.

“Nggak usah drama, kamu nggak boleh egois sama Wildan. Dia juga berhak bahagia dengan wanita lain. Kamu harus bisa terima itu semua kalau tidak mau diceraikan.”

Itulah sepenggal kalimat kejam yang dilontarkan oleh mertuaku. Tidakkah dia memikirkan perasaanku. Padahal ibu mertuaku juga memiliki seorang anak perempuan yang belum menikah. Bagaimana perasaannya jika apa yang menimpaku ikut menimpa putrinya. Karma itu ada. Tubuhku tidak bisa lagi bergerak, tungkaiku lunglai, tubuhku seperti kehilangan tulang.

“Apa Mas Wildan setuju menikah lagi, Ma?” tanyaku dengan suara yang gemetar.

“Wildan sudah beberapa kali bertemu dengan calon istrinya. Dia anak sahabat Mama. Dia juga berpendidikan, nggak kayak kamu.”

Lagi-lagi kalimat kasar yang kuterima dari ibu mertuaku. Setelah berhasil merobohkan semua impianku. Menghancurkan hidupku kini beliau bisa melenggang pergi tanpa rasa bersalah kepadaku. Aku menangis sejadi-jadinya sampai memukul pelan dadaku yang begitu sesak. Kenapa dari sekian banyaknya kabar buruk harus ini yang aku dengar. Dari sekian orang kenapa harus suamiku yang melukaiku seperti ini. Kenapa harus Mas Wildan yang menghancurkan duniaku. Kalau orang lain yang melakukannya aku masih bisa bertahan tapi ini suamiku beserta keluarganya.

“Mas, kenapa kamu tega.” Bisikku dengan bibir bergetar. Napas ku ikut tercekat dan aku jatuh pingsan.

🍀🍀🍀🍀🍀

Jangan lupa di komen ya gais kalau suka
Thanks 😘😘😘😘😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Suamiku Telah BerubahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang