1

559 36 20
                                    


Hujan melanda sekolahku. Begitu derasnya hingga lapangan sekolah mulai tak terlihat. Genangan air itu mulai membuatku takut tinggal sendiri di bangunan sekolah ini menunggu mama menjemputku.

"Kenapa mama lama sekali?" Aku bertanya dalam hati.

Aku tak melihat ada siapapun di sini. Hanya suara merdu sang hujan dan keheningan. Tapi tunggu dulu! Ada seseorang yang kehujanan sedang berjalan ke arahku.

"Apa itu mama?" batinku.

Aku kaget melihat sosok orang itu. Dia bukan mama atau siapapun yang kupikir datang untuk menjemputku. Dia anak sekolah sepertiku. Dia temanku, tapi untuk apa dia kembali ke sini? Apa ada barang penting yang tertinggal sehingga ia rela berhujan-hujan kembali ke sekolah.

"Loh? Bukannya tadi kamu udah pulang?" tanyaku saat menyadari ia sudah berada di dekatku.

"Iya. Aku tadi gak sengaja lihat kamu di sini."

"Lalu? Memangnya kenapa kalau aku masih di sini?"

"Kupikir kamu butuh teman ketimbang menunggu jemputan sendirian. Kamu gak takut?"

"Tidak. Apa kamu baik-baik saja?" Kuperhatikan dia yang mulai duduk menyandar. Sepertinya ada yang dia pikirkan.

Dia bangkit lalu bermain di genangan air yang sedari tadi sudah membanjiri lapangan sekolahku. Aku hanya terdiam tanpa kata apa pun terlontar dari mulutku. Aku masih terlalu kanak-kanak saat itu, belumlah genap tujuh tahun usiaku untuk berteriak melarangnya bermain hujan meski aku peduli akan kesehatannya.

Dia kembali! Kembali dengan tatapan yang tidak bisa aku mengerti, setiap gerak-geriknya menggambarkan kegelisahan yang ingin diperbuatnya. Meski seperti anak kecil pada umumnya yang begitu aktif bergerak, aku tahu gerak-gerik itu tak seperti seharusnya.

"Kok kamu belum dijemput? Kemana mama kamu?"

Aku bingung. Dia bahkan bukan teman sekelasku hingga dia tahu kalau mama yang biasanya menjemputku jika hujan begini. Bahkan teman sekelasku sendiri pun belum tentu tahu karena aku biasa dijemput lebih lambat dibanding teman-temanku.

"Iya nih mama gak biasanya terlambat selama ini jemput aku."

"Sri!"

"Hmm?"

Dia berbalik dan kembali berenang di genangan air itu. Tapi kali ini berbeda. Dia berteriak sekeras-kerasnya melawan derasnya suara hujan kala itu.

"AKU MAU NEMANI KAMU. AKU BAKAL NUNGGU KAMU!"

"Hmm, ya, terima kasih!" Aku menganggukkan kepalaku.

Keesokan harinya ketika mentari siap bersinar, diam-diam aku mencarinya. Ku cari dia di kelas sebelah, di kantin, di lapangan, di taman, tapi dia tetap tidak ada. Sepulang sekolah pun sembari menunggu kedatangan mama menjemput, aku masih berharap dia datang menemaniku. Kembali kecewa, dia tetap tidak ada.

Berhari-hari tanpa melihat sosoknya, aku mulai terbiasa tanpa kehadirannya. Lalu ada kabar mengejutkan yang tiba-tiba menyebar.

"Sri, udah dengar kabar?"

"Kabar apa?'

"Teman kita, anak kelas sebelah, aku tak tahu namanya. Dia kecelakaan ketika pulang sekolah. Sebuah mobil yang melaju kencang menabraknya, lalu pergi begitu saja. Ketika dibawa ke rumah sakit, dia tak dapat tertolong lagi. Tuhan telah memanggilnya. Benar-benar tragis!"

"Innallillahi wa innailaihi rajiun," ucapku.

"Dan sepertinya, dia orang yang kamu cari-cari itu. Saat kecelakaan, teman-teman yang menolongnya melihat ada sekotak coklat yang dibawanya. Dan di kotak coklat itu tertulis nama kamu! Nama kamu, Sri! Dia mau memberikan coklat itu sebagai tanda persahabatan denganmu."

"Apa?!" Aku kaget. Napasku mulai tak beraturan. Apa benar kalau itu dia? Ya Tuhan, kenapa orang baik selalu Engkau panggil lebih dulu, Tuhan. Aku mulai menangis, air mataku sudah tak dapat ku bendung lagi. Pelupuk mataku sudah penuh dengan air mata.

"Jangan sedih seperti itu! Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi jangan tangisi dia. Lebih baik kau doakan agar dia mendapatkan pelayanan yang terbaik di Surganya Allah."

"Iya, Wi. Aku mengerti." Aku mulai menghentikan tangisanku sedikit demi sedikit. Melakukan seperti apa yang Dewi sarankan..

***

Sembilan tahun sudah berlalu, kenangan itu masih melekat erat di memoriku. Seakan-akan itu hal indah yang harus kukenang sepanjang hidup. Hal aneh yang kutemui adalah aku tidak mengingat bagaimana bentuk wajahnya bahkan namanya. Saat hujan turun, saat itulah aku mengingatnya. Kenangan tentang hari itu. Kala hujan turun dengan deras, deretan kisah itu seakan terulang bagai film yang tak kunjung bosan kupertontonkan. Lalu apa makna semua ini? Bukankah aku tak mengingat sosok wajahnya dan dia kini pasti sudah berada di surga-Nya?

Aku mengingat kenangan bersamanya. Tak peduli siapa dia. Dia pernah hadir di hidupku. Menghias warna di lembaran kertas hidupku. Wahai kamu yang selalu aku rindu, dimanapun kamu, ingatlah bahwa aku selalu menyayangimu dan mendoakanmu di setiap tetesan hujan.

***

SELESAI



Kenangan di Setiap Tetesan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang