Terapi

2.2K 144 18
                                    

"Hiks- k-kok bisa bang?" Putri sudah mengeluarkan air mata derasnya.

"Ini semua salah Abang..., dek, kita ke Arsy dulu setelah itu Abang ceritain semuanya ya, hush, jangan nangis, nanti Abang bingung, satunya sakit satunya nangis, jangan sampe Arsy liat kamu nangis ya?"

Putri mengangguk dan mereka pun mulai berjalan menuju ICU. Mereka melihat adik mereka itu sedang membuka mata melihat langit-langit ruang ICU. Putri hanya bisa menutup mulut, melihat adiknya yang sudah dua tahun tidak ia lihat, sekarang ada di ranjang rumah sakit, wajah tampannya itu dihiasi beberapa luka lebam, lehernya diperban, kedua tangannya juga.

Sedangkan, tatapannya, tatapan kosong, tanpa makna.

Ahmad melihat sorot mata itu, sorot mata traumatis, ketakutan, dirangkum dalam pandangan Arsy yang begitu kosong ke atas, seperti manusia tanpa jiwa, hanya fisik atau tubuhnya saja.

"Adek.., ini Abang dek, adek udah aman, sama Abang, lihat kak Putri udah kangen banget nih sama adek." Ahmad berusaha mengajak Arsy berbicara, namun tanpa menoleh sedikitpun, Arsy masih dalam posisi sebelumnya, dengan sorot mata yang sama, sorot mata kosong.

Putri tidak kuat melihat itu, ia keluar dari ruangan itu lalu menangis. Sedangkan Ahmad, jangan ditanya, ia terus mengajak ngobrol adiknya hingga tak terasa dokter datang dan mengatakan bahwa adiknya harus disuntik kembali untuk tidur, karena tidak dapat mencerna dan merespon mereka sehingga untuk kebutuhan nutrisi juga tidak bisa terpenuhi.

Kata dokter, biarkan dulu untuk istirahat kembali selama sehari ke depan, selama kondisi sudah mulai membaik ditandai dengan kesadaran yang sudah kembali, Arsy sudah bisa dipindahkan ke kamar. Ahmad memilih kamar kelas terbaik, namun bukan VVIP atau VIP, setidaknya ruangannya tidak digunakan bersama pasien lain.

Setelah itu Ahmad mencari Putri dan mengajak Putri makan malam di salah satu restoran kecil dekat rumah sakit. Ahmad makan begitu banyak, 2 hari kemarin ia tidak ada nafsu untuk makan, Putri pun juga makan dalam diam.

"Abang..., adek kok belum ngerespon gitu, hiks, separah apa bang mereka ngelukain adek?"

Mereka telah selesai makan, Ahmad menjawab, "Kamu nggak boleh nangis dulu dek, Abang nanti bingung, dengerin Abang sampe selesai ya?"

Putri mengangguk,

"Semenjak kamu berangkat kuliah dan bunda meninggal, Abang cuma tinggal berdua sama Arsy. Arsy nakalnya udah di luar nalar, dek. Abang cuma istighfar tiap hari ngerasainnya, ngerokok, pulang pagi, bahkan masuk kantor polisi dua kali gara-gara judi sama nyoba nyuri handphone, untung gaada bukti."

Putri makin tidak percaya dengan realita ini, "sampe sekarang bang?"

"Nggak. Kita pasti paham dia ngelakuin itu karena ia butuh perhatian dari kita. Dia berhenti ngelakuin itu setelah dia punya pacar. Tapi justru itu, adek makin jauh mainnya, Abang mergokkin dia mau ngeseks sama pacarnya, beh dek ancur ati abang liatnya."

Ahmad diam sejenak lalu melanjutkan cerita, "emosi Abang selama dua tahun akhirnya meluap pas itu, Abang juga merkosa Arsy, tapi setelah itu kami berdua sadar, kalau kami sama-sama salah, apalagi Abang, semenjak itu Abang sama Arsy deket, dalam artian lebih dari saudara. Abang tau ini salah, tapi semenjak tinggal berdua ama Arsy, Abang jatuh cinta sama Arsy, dek, maafin Abang ya."

Putri tidak berani menatap abangnya itu, kenyataan apalagi yang belum ia ketahui, ia menangis, ia tidak bisa menahan tangisnya, biarlah abangnya itu bingung.

Ahmad melanjutkan ceritanya, "bang Ferdi ama bang Risky tau kalau Abang udah sedeket itu sama Arsy, tanpa sepengetahuan Abang, mereka juga pingin main sama Arsy--,"

"Cukup bang. Udah, Putri gak mau denger lagi." Putri berdiri dan meninggalkan abangnya itu. Putri tidak percaya, selama ini kedua saudaranya itu ada main belakangnya. Tangisan Putri makin kencang dan Ahmad tidak tahu kemana Putri pergi. Ahmad membayar makanan mereka lalu pergi membayar kos yang akan mereka bertiga tinggali sebelum pindah ke rumah mereka dua bulan lagi.

Arsy, Adeknya Bang AhmadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang