Ginji; Demam.

2.1K 170 20
                                    

Setiap pagi Caine selalu berada di dapur untuk membuat sarapan seperti rutinitasnya sehari-hari di rumah besar keluarga cemara berkedok kelompok mafia itu. Biasanya Caine selalu dibantu oleh anggotanya yang lain, hari ini Jaki dan Riji yang membantunya, hitung-hitung mereka juga belajar memasak. Meskipun Caine harus banyak menelan sabar  karena ternyata mengajari dua pria manis itu lebih menguras energi daripada mengajari Enon, Elya, dan Selia.

"Riji, mending kamu taruh ini di meja." Tidak ingin berakhir marah-marah di pagi hari yang cerah ini lantaran sejak tadi Jaki dan Riji tidak berhenti ribut perkara yang mana gula dan yang mana garam, Caine menyuruh Riji untuk menata sarapan yang telah mereka buat ke meja makan.

"Jaki, tolong panggil yang lain buat sarapan."

Jaki menaruh kembali dua benda yang menjadi objek perkelahiannya dengan Riji ke tempatnya semula. Pria manis berambut merah muda itu mengangguk. "Siap, Mami."

Tidak membutuhkan waktu lama memanggil anggota-anggota yang lain untuk sarapan, dalam waktu sebentar meja makan itu sudah ribut oleh mereka yang mulai berebut makanan. Tapi satu kursi yang kosong membuat Caine yang sedang mengambil sarapan untuk Rion menjadi salah fokus.

"Semuanya udah di sini, kah? Itu kursi siapa yang kosong?"

Semuanya lantas kompak menoleh ke arah kursi yang Caine maksud, tepat berada di sebelah Souta. Masing-masing dari mereka mulai menghitung, siapa kira-kira di antara mereka yang tidak hadir di meja makan.

"Gin gak ada." Mako menjadi yang pertama menyadari Gin tidak ada bersama mereka.

"Oh iya Gin." Key juga berujar karena tidak melihat persepsi pria berambut cokelat itu.

Krow selaku teman sekamar Gin segera angkat bicara saat Caine menatapnya hendak bertanya. "Tadi sih masih tidur anaknya."

"Udah biarin aja, Gin pulang pagi banget tadi sama aku. Sempet ngeluh pusing kepala katanya, biarin dia istirahat dulu." Rion mencegah Caine yang bangkit dari kursinya, sepertinya ingin membangunkan Gin. Tadi malam memang dirinya mengajak Gin selaku tangan kanannya untuk bertransaksi, mereka berdua pulang ketika sudah jam tiga dini hari.

Caine menurut saja jika suaminya itu yang berbicara, dia kembali duduk di kursinya dengan tenang. Caine menatap semua anak-anak anomalinya yang sarapan dengan lahap. "Makanannya jangan dihabisin, ya. Sisain buat Gin."

Sejak Rion mengatakan bahwa Gin sempat mengeluh tentang kepalanya yang pusing, rasa khawatir langsung hinggap dalam perasaan Riji. Maka ketika mereka semua sudah selesai sarapan, dirinya tergesa-gesa menuju kamar Gin dan Krow yang berada di lantai dua. Sesuai yang dikatakan oleh Krow, Riji melihat Gin masih tertidur di kasurnya.

"Gin?" Riji menghampiri dan memanggil nama kekasihnya itu dengan pelan. Tidak ada respon dari Gin yang masih tergulung oleh selimut. Riji lalu mendudukkan dirinya di pinggir kasur dan menyentuh pipi Gin dengan tangannya.

Pria manis berambut hitam itu terkejut merasakan hawa panas di tangannya yang berasal dari Gin. Riji kemudian meletakkan punggung tangannya di dahi Gin yang juga terasa panas.

Panik dan khawatir semakin menjadi dalam benak Riji, dia berusaha membangunkan Gin dengan mengguncang bahunya. "Gin, bangun!"

Dua menit tidak ada respon apapun dari Gin. Ketika Riji kalang kabut mengira Gin pingsan, pria itu mulai membuka matanya disertai erangan ketika merasakan kepalanya yang berputar hebat dan tubuhnya yang terasa tidak nyaman.

Gin menyadari kehadiran kekasih manisnya, dia mengulurkan tangannya yang langsung di genggam oleh Riji. "Sayang..."

"Gin, kamu panas banget, kayanya demam. Aku ambilin sarapan dulu, habis itu kamu minum obat." Belum sempat Gin mencegah, Riji sudah pergi dengan cepat, terlihat sekali bagaimana panik bercampur khawatirnya Riji melihat kondisi Gin. Wajar saja mengingat ini pertama kalinya Gin sakit semenjak mereka semua tinggal bersama.

Tidak lama Riji kembali membawa sarapan untuk Gin. Dia tidak sendiri, ada Caine dan Sui yang kebetulan baru saja off-duty dari rumah sakit. Gin kembali membuka matanya ketika merasakan dahinya di sentuh oleh Caine.

"Panas banget ini," Caine tidak kalah khawatir seperti Riji, dia menoleh kepada Sui. "Tolong di cek ya, Sui."

Caine dan Riji menunggu selama Gin diperiksa oleh Sui selaku dokter keluarga mereka. Gin ternyata mengalami demam tinggi akibat terlalu kelelahan. Apalagi kemarin dia dan Rion pulang ke rumah pada malam hari dalam kondisi basah kuyup karena kehujanan. Sui menyuruh Gin untuk banyak istirahat dan minum obat penurun panas.

Sui menyarankan untuk Gin juga di kompres agar membantu panasnya turun dengan cepat. Caine membantu Riji merawat Gin, memastikan Gin memakan sarapannya dan meminum obat juga mengompres Gin menggunakan handuk kecil. Setelah selesai semuanya, Caine meninggalkan sepasang kekasih itu berdua, agar Gin juga bisa beristirahat.

"Kenapa?" Gin bertanya dengan suaranya yang rendah ketika melihat Riji terus menatapnya dengan bibir melengkung ke bawah dan hidung yang memerah.

"Jangan sakit..." Suara Riji gemetar, Gin tertawa kecil mendengarnya. Sungguh, Riji tidak tega melihat kondisi Gin seperti ini. Dia lebih suka tingkah Gin yang biasanya, yang selalu menggodanya, dan selalu berjokes receh yang terkadang membuat Riji atau anggota yang lain kesal sendiri saat mendengarnya.

"Jangan nangis dong kamunya. Nanti cantiknya ilang." Gin menggenggam tangan kekasihnya yang lebih kecil. Satu tetes air mata keluar dari mata Riji yang langsung di usap oleh si empunya. Riji biasanya akan marah setiap Gin menyebutnya cantik, meskipun marahnya untuk menutupi salah tingkahnya.

"Mau peluk, Gin."

"Nggak, nanti kamu ketularan."

"Ih, biarin. Peluukk..." Kesempatan tidak datang dua kali, jarang-jarang Riji meminta untuk dipeluk duluan. Hanya saja Gin menyayangkan kondisinya, dia tidak mau kekasihnya itu ikutan sakit. Tapi melihat Riji merentangkan tangannya dengan ekspresi menggemaskan membuat pertahan Gin runtuh begitu saja.

Gin menghela napasnya dan tersenyum gemas, menarik tangan Riji pelan. "Yaudah sini."

Tangan Gin melingkar di pinggang Riji yang berada di atas tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher kekasihnya. Sementara Riji menahan handuk basah di dahi Gin agar tidak terjatuh, satu tangannya mengelus dan memijat lembut kepala Gin.

Gin memejamkan matanya, menikmati sentuhan tangan halus Riji di kepalanya yang pusing. Beberapa menit mereka bertahan di posisi seperti itu sampai Gin tiba-tiba tertawa kecil mendengar gumaman Riji di dekat telinganya.

"Cepet pergi ya demam jahat, kasian pacar aku."

Gin mengeratkan pelukannya dan mengecup leher Riji beberapa kali lantaran gemas membuat pria manis itu kegelian. Riji memegang kepala Gin, mengisyaratkan untuk berhenti. Bibir bawahnya dia gigit untuk menahan agar tidak meloloskan desahan, leher adalah salah satu area sensitifnya dan Gin sudah sangat tahu itu.

"Gin udah, geli."

"Gemes, pacar aku gemes banget. Mau cium tapi akunya lagi sakit." Gin menjauhkan kepalanya, kali ini menatap Riji dalam-dalam.

"Nih, cium aja." Riji sengaja memajukan bibirnya di depan mata Gin. Lalu ketika Gin hendak menciumnya, Riji langsung menjauhkan kepalanya sambil tertawa puas telah menjahili kekasihnya itu.

Gin ikut mendengus geli melihatnya. "Dasar nakal."

"Gin, ngantuk?" Riji bertanya melihat Gin memejamkan matanya kembali. Yang ditanya mengangguk, mungkin pengaruh dari obat membuatnya mengantuk. Riji mengelus kepala berambut cokelat itu lagi dengan lembut. "Yaudah tidur aja, kamu emang harus banyak istirahat."

Gin menggulingkan posisi Riji menjadi di sebelahnya tanpa melepaskan pelukannya, tidak butuh waktu lama untuk Gin terlelap. Dengan gerakan pelan Riji memajukan wajahnya, mengecup bibir Gin yang lebih pucat daripada biasanya dan berbisik lembut, tanpa berniat menganggu tidur kekasihnya.

"Cepet sembuh, sayangku."

°°°°°

A/N; Hai, love! Oneshoot pertama dimulai dari Ginji, aku lagi di mabok sama kapal manis satu ini. Next-nya, oneshoot dari kapal-kapal manis lainnya, please wait!!

- HELLENITY

EPEOLATRY; TNF's OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang