Saka
"Ram gue mau jalanin hukuman."
Juan, Rama, dan Fidi menoleh kompak. Mereka sedang di pojokan kelas, sebenernya Rama lagi ngepod tapi sembunyi gitu. Meski ketahuan sih soalnya ada asapnya. Kayak peribahasa, ada asap pasti ada vape.
"Nyerah juga lo akhirnya." Rama menyengir, melempar vape nya pada gue.
"Gue atlet, nggak boleh ngepod!" Gue melemparnya balik lantas duduk bergabung.
"Udah deh apa sih hukumannya, kerjain tugas sama piket kan?"
"Lemah banget jir sebulan doang langsung nyerah." Ini Juan yang menanggapi sambil menatap gue remeh.
"Iya sorry, gue juga manusia." Dipikir pikir iya juga, kok gue rasanya kayak murahan banget di depan Hana. Dia nggak ngapa ngapain tapi gue tiba tiba naksir? Tapi gue emang naksir dan gue nggak bisa bohong. Kalau dicari alasan gue naksir sampai ujung dunia pun gue nggak menemukan alasan yang tepat. Atau mungkin sesederhana karena dia Hana aja, makanya gue bisa sebegininya.
"Kenapa deh tiba tiba nyerah?" tanya Juan penasaran.
"Mau berhenti taruhan."
"Lo naksir beneran kan?" tanya Fidi, jujur saja di ekspresinya ada rasa bangga gitu seakan bilang 'udah gue duga!'
"Brisik!" Gue meraup mukanya sebal. Masih penuh luka gitu soksokan.
"Yaudahlah Sak, jadi babu kita aja sebulan. Konsekuensi," jawab Rama sambil menghirup vapenya.
Gue kenal betul kelakuan Rama dari A sampai Z. Harus gue akui dia sebenernya kejam, kejam banget. Cuman karena gue temennya jadi dia melunak aja. Hukuman gue termasuk ringan. Sebenernya ya dari dulu gue yang paling anti disuruh suruh, makanya hukumannya gini. Cowok itu sengaja menyentil ego gue. Tapi gue nggak masalah, nanti bisa nyuruh Fidi.
Gue mengenal Rama sejak kami kelas 1 SMP. Bisa dibilang kami lebih dulu berteman sebelum Fidi dan Juan bergabung saat SMA. Memang hobi Rama dari dulu gangguin orang, ngebuli dan sebagainya. Kadang tanpa alasan, kadang ada alasan. Suka suka dia deh pokoknya. Gue sebagai orang terdekatnya cuman bisa memaklumi kekacauan itu karena hidup Rama memang nggak bisa dibilang mudah. Gue takut kalau dia nggak melampiaskannya dengan ngebuli orang malah dia lari ke yang lain kayak narkoba gitu. Yaudah biarin selama nggak bunuh orang. Kadang kalau kelewatan gue juga sih yang harus turun tangan buat ngelerai.
Tingkat gila Rama tuh bahkan udah pernah sampai nyuruh orang nyebur sumur buat ambil topi dia yang jatoh. Ah pokoknya sarap deh dia. Pernah juga ngerjain orang suruh motong rumput pake gunting kukulah, ngeludahin orang sembaranganlah, ngepilox gerbang sekolahlah, pokoknya dari kejahatan ringan sampai berat pernah semua dia. Gue masih berteman sama dia ya karena dia kayak manusia baik baik aja kok kalau dijadiin temen. Nggak pernah juga jahatin gue. Dia cuman sering sensi aja sama orang random yang ngelihatin dia dengan aneh.
"Latihan nggak lo nanti malam?" tanya Rama, gue menggeleng. Persiapan buat ke nasional masih sebulan lebih jadi gue libur tiga hari. Minggu selanjutnya lebih intensif lagi mungkin empat kali seminggu. Baru kalau mendekati tanggal gue bisa tiap hari di kolam.
"Balap ayok di Haryono."
"Ogah gue, jam 2 malem kan?"
Rama juga langganan banget balap liar di Jalan MT Haryono. Ngeri cuy kadang tim yang kalah nggak terima terus adu bacok. Gue pernah sekali diajak Rama kesana terus males dateng lagi. Jadinya Rama lebih sering pergi sama Juan. Mana kalau adu bacok tuh sepi gitu nggak ada yang lerai sampai salah satu tim kalah. Gue sih mending kabur, takut takut telinga gue ilang kebacok orang.
"Kalau mau balap jangan yang di Haryono ah Ram, mati lo nanti. Mana cuman bawa Juan yang mungil gitu."
"Heh gue 176cm ya!" protes Juan. Padahal dia dibandingin sama gue yang 181cm gini mah mungil.
"Udah mending lo pada ikut gue ronda malam ini, main uno kita," usul Fidi menengahi. Gue jujur heran kenapa anak baik baik kayak dia bisa tersesat ke sirkel ini.
Anehnya kita semua nurutin Fidi.
Komplek perumahan Fidi tuh emang ada jadwal rondanya gitu buat pemuda kampungnya. Nggak kayak komplek gue, Rama, dan Juan yang udah ada satpamnya. Komplek Fidi masih ada poskamlingnya juga. Bersih dan masih bisa dipakai, nggak kayak poskamling di kebanyakan komplek yang cuman jadi pajangan.
"Yang kalah telpon gebetan!" cetus Rama saat kami mulai main uno.
Saat ini kami beneran duduk di poskamling, sebenernya tadi ada beberapa pemuda kampung yang mau ikutan ngeronda, tapi disuruh balik sama Fidi. Soalnya kita berempat aja udah rame.
"Gue nggak punya anjir!" protes Fidi kesal.
"Khusus lo telpon Bu Sri!" ucap Juan menyebut guru sosiologi kami.
"Anjing!"
"Yang kalah telpon Hana," ini Rama yang nyeletuk dengan nyebelin.
"Cewek gue sat!" protes gue.
"Masa sih, diantara kita kan cuman lo yang nggak bisa telpon dia," balas Juan mengejek. Masih ingat aja mereka kalau Whatsapp gue masih diblokir Hana.
Gue yang mengocok kartu lalu membagikan ke mereka.
"Jaman dulu aja Sak, lu mana pernah mau diajak nongkrong gini. Ngamar mulu!" ejek Juan.
"Mana pernah gue ngamar anjir! Pacaran doang."
"Merah ya ini." Fidi menaruh kartu merah.
"Uno!" Rama bersorak senang setelah menaruh kartu merahnya lagi.
"Si anjir!" Juan bersorak saat mendapat plus 2 dari Fidi. "Hahahaha mati lo." Dia malah menambah plus 4 sambil menertawai gue.
Ini kalau bisa ngumpat udah ngumpat deh gue, nambah enam kartu njir. Ya tentu saja gue yang kalah. Mereka menertawai gue sampai puas.
"Lu telpon Bu Sri dah Sak," ucap Fidi masih sambil tertawa.
"Taik!"
Gue membuka Whatsapp berniat menelpon Bu Sri seperti yang dibilang. Nggak apalah, marah juga gue nggak akan dikeluarin dari sekolah. Tapi betapa terkejutnya gue melihat foto profil Whatsapp Hana muncul. Nomornya memang gue pin jadi langsung terlihat. Gue membuka mulut tidak menyangka.
"Apa sih kenapa?" Rama maju penasaran.
"Gue udah nggak diblokir Hana anjir!" seru gue heboh.
Mereka kompak mengerubungi ponsel gue. Terheran melihat fakta itu.
"Ini kalau gue telpon terus diangkat kalian gue traktir dominoz deh satu satu," ucap gue sambil meneguk ludah karena degdegan.
Kita semua menunggu sambil memandangi tombol berdering. Gue beneran menahan napas saat tulisan ringing berubah menjadi 00.01. Jantung gue udah hilang kendali saking senengnya.
"Apasih telpon malam malam lo gila ya!" suara serak diujung sana muncul. Bangun tidur pun dia udah bisa marah marah.
"Han."
"Apa!"
"I love you."
"Sinting!" makinya sebelum mematikan panggilan.
Kami berempat kompak menutup mulut tidak percaya.
"Dia naksir banget nggak sih sama gue?" tanya gue asal yang dijawab anggukan Fidi.
"Bayangin dia mau ngangkat telpon gue meski jam setengah 3 malem kayak gini."
"Tolol tolol!" maki Rama sambil menggeleng gelengkan kepala.
"Kalian udah siap kan teman teman, besok gue kirim baju groomsman ya."
"Yeay dominoz!" seru Juan semangat.
Han Han traktir semua temanku dominoz saja aku rela apalagi memberimu rumah tangga. Sumpah kayaknya Hana udah mulai naksir gue.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Seribu Harapan Hana [END]
Teen FictionHana, gadis berumur 17 tahun selalu menjalani hidupnya dengan damai sampai tiba-tiba Saka datang di hidupnya. Saka Wahyu, laki-laki kelas pojok yang terakhir kali dipanggil BK karena kasus pelanggaran berat tiba-tiba memaksa untuk menjadi pacarnya. ...