Duapuluhtujuh

12 2 0
                                    

Hana

Seminggu sudah hari berlalu dan demam gue tak kunjung turun. Gue sampai bosan dengan infus yang menempel di tangan gue, dinding rumah sakit yang kosong, ruangan yang sepi, origami yang menumpuk, dan Saka yang tak pernah lagi mengabari.

Iya sih, dia memang taunya gue dirawat karena terkena tipus. Tapi kejam banget nggak sih dia nggak jenguk gue sama sekali padahal dia yang bawa gue kesini?

Bahkan Fidi bisa bisa aja tuh jenguk gue bareng Lisa kemarin.

"Mah, Hana mau pulang aja boleh nggak?" tanya gue pada Mamah yang sedari tadi menunggu di dalam ruangan.

"Han, kalau kamu berhenti sekolah mau nggak?" Mamah mendekat, memegang tangan gue erat. Tiba tiba saja mengucapkan hal yang tak pernah gue duga.

Hari ini memang Mamah yang berjaga karena Hari Senin. Ary juga sekolah dan Ayah kerja.

"Nggak mau!"

"Han, dengerin Mamah!"

Ini pasti karena hasil tes darah gue kemarin. Mamah menolak ngasih tau hasilnya, tapi gue tahu betul dari gelagatnya. Hasilnya pasti buruk.

"Kenapa sih Mah, kalau Hana emang udah nggak ada harapan setidaknya biarin Hana hidup kayak orang biasa lah Mah!" bujuk gue dengan sedikit nada tinggi.

"Han, masih ada harapan asal kamu nggak nyentuh dunia luar!"

"Mah bagi Hana itu sama aja kayak mati!"

Lalu Mamah mulai menangis dan gue benci ini. Rasanya gue selama ini dipaksa hidup karena Mamah nggak pernah siap ditinggal pergi. Padahal gue yang ngerasain semuanya, bukan Mamah.

"Han, Mamah nggak pengen kamu kenapa-napa."

"Mah, udahlah mau cepat atau lambat juga sama aja." Gue ikut menggenggam tangan Mamah. Mencoba menguatkannya yang masih menangis. "Nggak akan bisa sembuh."

"Kita masih bisa usaha Han."

"Tapi Hana capek."

"Nggak Nak, ayo semangat sembuh, kita pasti bisa lewatinnya bareng-bareng. Kamu cuman lagi capek aja sekarang, nanti semangat lagi Nak, kita obatin bareng-bareng." Mamah menggeleng-geleng sambil terus menangis.

"Mah, Hana beneran capek," ucap gue sekali lagi. "Di infus lama gini tuh sakit banget, tes lab terus juga sakit banget, bolak balik rumah sakit, makan makanan yang nggak ada rasanya, harus tidur tiap jam sembilan malam, nggak bisa bebas main, Hana capek Mah."

Lalu Mamah makin menangis menjadi jadi. Seumur hidup gue bolak balik dirawat, Mamah nggak pernah sekalipun menangis. Mau seberapa lama pun, separah apa pun, Mamah nggak pernah menangis. Pertama kali seumur hidup gue melihat Mamah sampai seperti ini.

Gue semakin yakin hasil tes lab gue sangat buruk.

"Mah, tolong izinin Hana pulang, Hana capek."

Lalu Mamah memeluk gue erat.

****

Hari ini gue memaksa berangkat sekolah. Dokter Nurul kemarin setuju setelah gue memohon. Akhirnya Mamah menandatangani beberapa berkas dan membawa gue pulang ke rumah. Meski ya, gue masih flu dan demam.

Sebagai gantinya, Mamah mau dia yang mengantarkan gue ke sekolah. Ya gue sih bebas bebas aja, si Saka Saka itu masih menghilang soalnya. Awas aja biar gue samperin dia nanti!

"Lah Han, emang udah sembuh?" Lisa yang baru berangkat terkejut melihat gue sudah duduk rapih di kelas.

Dia maju, memeriksa dahi gue. "Masih panas ah, masih pucet banget begitu!" ucapnya panik, ya memang kemarin Lisa menjenguk dan gue masih terbaring lemah di rumah sakit. Makanya dia heran.

Gue cuman menyengir. "Udah boleh pulang kok sama Dokter."

"Beneran?" tanyanya ragu.

"Iya!"

Gue merogoh tas, lalu memakai lipbalm karena Lisa menyinggung wajah gue pucat.

"Anter ke kelas Saka yuk!"

"Yailah, maksa berangkat mau ketemu Saka ternyata!" cibir Lisa tapi menurut saja mengantar gue.

Seperti biasa, kami berjalan canggung saat melewati deretan kelas 12 IPS. Tatapan orang disana menakutkan.

Sampai depan pintu kelas Saka, gue mengintip. Lalu gue jadi mematung begitu saja.

"Apa sih, kenapa?" Lisa yang kepo jadi ikutan mengintip.

Saka disana, duduk berdua dan tertawa bareng si cewek menor yang itu. Oh ya, yang namanya Dina itu.

"Dia bilang kalau pagi sampai malam latihan," ucap gue lirih.

"Mana mungkin sih Han, mati dia kalau seharian di air," jawab Lisa, masuk akal juga.

"Oh jadi ini alasan kenapa dia nggak pernah jengukin gue, udah ada cewek baru ternyata."

"Lo nggak mau samperin? Barangkali mereka cuman ada urusan doang?" ucap Lisa mencoba positif thinking.

Gue menggeleng. Seminggu gue sakit dan pemuda itu nggak khawatir sama sekali aja udah menjelaskan semuanya.

Gue masih memaklumi kalau dia sibuk. Tapi bahkan nggak ada pesan sama sekali?

Gue terkekeh kecil, bodoh banget gue dulu sempet khawatir gimana Saka kalau gue nggak ada.

Jelas jelas dia Saka.

Dia bisa banget kalau cuman harus hidup tanpa gue.

Dulu gue sempet percaya pas Saka menolak Dina dengan tegas, tapi akhirnya pas gue nggak ada dia bisa tuh senyam senyum pake pegang pegang segala sama si Dina Dina itu.

Saka cuman cowok biasa yang nggak bisa hidup tanpa cewek.

"Kalau nanti gue baik ke Saka lagi, tolong pukul kepala gue ya Lis!"

"Hah?" Lisa mengikuti gue yang berjalan menjauh dari kelas Saka. "Han barangkali ini cuman salah paham aja, nggak mau samperin langsung?"

"Duh hidup gue terlalu berharga kalau cuman buat ngurusin Saka, yuk balik kelas aja!"

Gue menarik napas pendek pendek. Makin pusing aja kepala gue kalau dipake buat mikirin Saka. Gue mengerjap, merasa mulai ada kunang-kunang di mata gue.

Gue berhenti melangkah. "Lis!" Tangan gue berusaha meraih genggaman Lisa.

Mata gue buram, dan semuanya gelap.

***

Seribu Harapan Hana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang