- • -
Tujuh pemuda dengan pakaian khas pendaki gunung itu berhenti disebuah pondok kecil.
"Capek banget gue." Celetuk Mahesa, lelaki paling tua itu mengusap keringat nya dengan kasar.
Hari sudah menjelang gelap, namun mereka masih terjebak di gunung misterius yang nekat mereka daki, gunung Lawu namanya.
"Udah mau magrib ini, kayaknya kita tersesat." Ucap Narendra.
"Kan gue bilang juga apa! ni gunung angker." Balas Cakra.
Kini mereka semua menghela napas kasar.
"Terpaksa kita harus bermalam disini."
"HAH!?" Semuanya menoleh ke sumber suara dengan tatapan terkejut.
Januarta, sang sumber suara lantas berdiri dari duduk nya. "Ayo, cari tempat yang layak buat tidur." Ujarnya.
Mau tidak mau, merekapun mengikuti kemana perginya Januarta.
Sudah hampir tiga puluh menit mereka menyusuri gunung, namun nihil, tidak ada tempat layak yang bisa digunakan untuk bermalam.
"Ada senter lagi ga? yang ini udah mau mati." Tanya Mahesa.
Aji langsung mengulurkan senter besar yang baru ia ambil dari dalam tasnya. "Ini bang." Dengan segera Mahesa mengambil senter tersebut. Setelah itu mereka segera melanjutkan perjalanan.
"Eh? itu rumah bukan sih guys?" Ujar Haidar sembari menunjuk ke depan.
Kedua kaki mereka melangkah ke arah rumah yang di tunjuk Haidar.
Dan kini, mereka berada di depan rumah tua dengan gerbang menjulang tinggi.
Narendra, yang paling pemberani diantara yang lain membuka gerbang besi yang tampak usang tersebut.
"Gede amat, rumah siapa ya?" Tanya Aji.
"Ya gatau kok tanya saya." Jawab Cakra ketus.
"Ayo masuk." Ajak Narendra.
Kemudian yang lain hanya menggangukan kepala mengikuti Narendra.
"Pintu nya kebuka, apa ada yang tinggal disini?" Tanya Mahesa.
"Gatau, udah ayo masuk aja! capek pengen rebahan." Balas Haidar.