**Fans Cinta**
Semuanya berawal dari hari itu, hari dimana aku pindah ke Bandung. Orang tuaku bercerai. Aku dan Wina, kembaranku memilih untuk ikut mama ke rumah nenekku yang sudah lama tidak ditinggali, karena nenekku sudah meninggal saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Sekarang aku sudah kelas 1 SMA.
Pagi itu kami sedang memasukkan barang-barang kami ke dalam, hanya sedikit yang kami bawa karena semua perabotan sudah ada dirumah. Kami hanya membawa pakaian dan barang-barang yang sekiranya penting.
Tiba-tiba dua orang anak laki-laki menghampiri kami, menawarkan bantuan. Mereka adalah Juan dan Riki, aku sering bermain dengan mereka saat berkunjung kemari. Dan perempuan dibelakang mereka adalah kak Karina, dia satu tahun lebih tua dariku. Aku lebih suka memanggilnya kak Arin, karena itu lebih simple.
"Kita bantu ya bi," ucap kak Arin yang diangguki mama.
"Kamu bawa yang ringan aja Rin, soalnya yang lain berat. Biar dibawa Hesa sama Riki aja," kata mama. Kak Arin pun hanya mengangguk sebagai balasan.
Kata pertama yang akan aku ucapkan saat pertama kali aku bertemu dengan kak Arin adalah, aneh. Menurutku kak Arin adalah wanita yang aneh dan jamet. Tapi aku akui dia cukup cantik, dan tentunya dia adalah tipeku. Aku mulai menyukainya sejak aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP.
Kami telah selesai memasukkan barang-barang ke dalam, dan sekarang kami sedang beristirahat sambil menonton.
"Jadi nanti kalian bakal tinggal disini?" Itu Juan yang bertanya.
Aku mengangguk, kemudian menjawab. "Iya, nanti kita bakal tinggal disini selamanyaa"
Tiba-tiba mama masuk ke ruang TV sambil bertanya.
"Kalian mau makan siang disini? Biar sekalian bibi buatkan." Ucap mama
"Boleh bi?" Tanya Juan dan Riki.
Mamaku tertawa kecil, kemudian menjawab, "ya boleh atuh, kenapa gak boleh? Sebentar ya biar tante buatkan dulu." Ucap mama, Juan dan Riki hanya mengangguk senang.
Tiba-tiba kak Arin berdiri, "biar Karin bantu ya tante." Ucapnya yang kemudian mengikuti mama menuju dapur.
Sementara mereka memasak, aku menatap sinis Wina yang terlihat masih rebahan sambil ikut menonton film bersama kami. Dia sama sekali tidak ada niatan membantu?
"Apa?" Sepertinya Wina menyadari tatapan sinis ku, ia bertanya tanpa menatap kearahku.
"Kamu gak ada niatan bantu?" Tanyaku
"Enggak, lagian udah ada kak Karin." Sudah kuduga, Wina memang jarang membantu mama di dapur. Malas katanya.
"Seenggaknya kamu bantu sedikit, kamu kan perempuan, kamu harus bisa masak buat suami kamu nanti." Ujarku.
"Nanti cari pembantu, biar dia yang di dapur, sementara aku di kantor ku. Ngurusin berkas-berkas yang menumpuk dan meeting yang harus aku hadiri." Ucapnya.
Aku memutar mataku, dia mulai lagi. Wina memang memiliki ketertarikan di bidang bisnis seperti perkantoran, bahkan sejak kecil mimpinya adalah menjadi CEO muda seperti tante-tante kami yang sukses menjadi CEO di usia mereka yang masih 24 tahun. Mereka memiliki bisnis sendiri yang mereka kembangkan sendiri di negara lain, jadi mereka cukup jarang pulang kemari. Dan mereka pun sudah memiliki suami yang berasal dari luar negeri, atau hanya blasteran.
"Terserah," karena sudah malas, aku memilih untuk kembali menonton selagi menunggu makanannya dan mengabaikan Wina.
Tak berapa lama, kak Arin kembali dan memberitahu bahwa makanannya sudah siap. Kami pun segera pergi ke dapur dan mengambil piring, bersiap-siap untuk menyerbu semua makanan yang terlihat sangat lezat itu.
"Hesa makan di ruang TV aja ya ma, mau sambil nonton TV." Ucapku, mama pun mengangguk. Aku segera mengambil nasi dan lauk yang aku suka, kemudian aku bawa ke ruang TV bersama yang lainnya.
Tidak ada pembicaraan sama sekali, kami sibuk menonton dan makan. Namun tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami.
"Walah disini toh kalian, dicariin juga!" Dia adalah tetanggaku, mamanya Juan dan Riki. Bi Ria namanya, aku lebih suka memanggilnya bi Ria daripada tante. Menurutku itu lebih mudah.
Setelah bibi mengatakan itu dengan nada yang terdengar kesal, Juan dan Riki hanya cengengesan sambil menatap bi Ria tanpa rasa bersalah, kemudian menjawab. "Laper bun"
"Eh kita juga punya makanan dirumah, ngapain makan disini." Ucap bibi.
Mamaku yang tadi habis dari luar pun masuk kembali sambil menjawab. "Gapapa Ri, biarin aja mereka makan disini"
"Tuh bibi bilang gapapa," sahut Riki.
Terlihat jelas dari raut wajah bi Ria, dia terlihat kesal dengan sahutan Riki yang mungkin menurutnya malah membuat malu.
"Anak ini bener-bener deh, maaf ya Nay malah ngerepotin jadinya." Ucap bibi.
Mama terkekeh, kemudian menjawab, "gapapa Ri, aku juga senang masakin mereka. Toh mereka juga tadi sempat bantu aku masukin barang-barang." Ucap mama.
"Eh iya kamu jadi pisah sama suamimu itu?" Sepertinya bibi lupa bahwa masih ada Juan dan Riki disini.
Wina berdehem keras, kemudian berkata. "Kalo mau ngomongin masalah itu jangan disini, ada anak-anak"
Mama dan bi Ria baru menyadari setelah Wina mengatakan itu, kemudian bi Ria berkata, "ya maaf toh, bibi lupa. Ya sudah, kalian lanjutkan makannya. Kalo sudah selesai langsung pulang ya, ayo Ri kita keluar." Kemudian mereka pergi, entahlah mereka pergi kemana, aku tidak peduli.
Beberapa menit setelah mereka pergi, aku baru menyadari bahwa kak Arin tidak ikut makan. Ia hanya fokus pada ponselnya, entah dengan siapa dia berkirim pesan.
"Kak Arin gak makan?" Tanyaku.
"Hm? Enggak, aku udah makan tadi dirumah." Jawabnya tanpa melihat ataupun sekedar menoleh ke arahku.
Karena penasaran, aku pun bertanya pada Riki dengan suara yang cukup pelan agar kak Arin tidak mendengarnya. "Kak Arin lagi chatingan sama siapa sih? Kayaknya fokus banget, mana sampe senyum-senyum gitu"
Riki pun menjawab, "paling sama pacarnya"
TBC