V

150 15 10
                                    

"Babi ngana!!!"

Hanna yang baru pulang sekolah segera berlari melewati pagar ketika mendengar maminya berteriak sangat keras. Belum sempat dirinya masuk ke dalam rumah, Papinya berlari keluar dengan membawa kertas di tangannya.

"Lho papi so babale?" Mata Hanna berbinar saat melihat kehadiran papinya yang tiba-tiba muncul di dihadapannya.

Sebelum papinya bisa menjawab, ibu Hanna muncul di depan pintu. Hanna bisa melihat sinar mata ibunya memancarkan kemarahan. Sinar mata yang kerap Hanna terima kalau nilai ujiannya jelek, atau ketika Hanna melakukan apapun yang tidak dihendaki ibu. Hanna takut sekali melihat ibunya yang bernafas tersengal-sengal.

"Hanna naik dulu, nanti papi ke atas." Papinya mendorong Hanna masuk ke rumah. Tanpa basa basi Hanna segera naik. Dia sendiri tidak ingin berlama-lama di bawah karena maminya sedang tidak stabil. Mami memang punya anger issue yang sangat parah.

Hanna menutup pintu kamarnya dan duduk di atas tempat tidurnya. Meskipun pintu kamarnya sudah dia tutup rapat, Hanna bisa mendengar percakapan kedua orang tuanya dengan sangat jelas. Bahkan dia yakin semua tetangga yang tinggal di dekat rumah mereka bisa ikut mendengar teriakan mami dan kemarahan papinya itu. Hanna memejamkan mata yang mulai mengeluarkan air mata dengan deras, berharap ini semua tidak nyata. Hanna mendengar suara mesin mobil dinyalakan di depan rumahnya. Dia bangkit dan mengintip dari balik tirai jendela. Papi berjalan menaiki sebuah mobil, anehnya ada seorang perempuan yang sedang duduk di bangku penumpang di samping papi. Hanna benar-benar tidak tahu perempuan itu siapa. Setelah papinya pergi, mami tetap berteriak histeris di lantai bawah.

Hanna yang tidak kuat mendengar jeritan dan tangisan mami dari lantai bawah segera berbaring dan menutup kepalanya dengan bantal. Mami sangat ribut jika amarahnya sedang berapi-api. Hanna menangis di bawah bantal, terisak-isak masih dengan seragam SMAnya. Dirinya kemudian tertidur pulas setelah terlalu lelah menangis.

Saat Hanna terbangun, dia melihat mami sudah duduk di ujung tempat tidurnya. Hanna sejujurnya sedikit takut jika ibunya itu sudah masuk ke kamarnya, apalagi saat sedang marah-marah seperti tadi. Mami punya anger issue yang kronis. Sayangnya keluarga dari pihak mami menganggap hal itu karena mami belum sepenuhnya berkomitmen pada Gereja. Faktanya, setelah mami jadi salah satu pelayan tetap Gereja, dan mengikuti setiap kegiatan Gereja maupun lingkungan, penyakit mental mami tidak berubah, malah semakin parah. Namun Hanna tidak punya kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya bahwa mami butuh bantuan profesional. Jadi dia memilih diam dan menjadi anak penurut yang sebisa mungkin tidak membuat mami marah.

"Mami." Hanna mengusap matanya dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Dia tidak ingin berada terlalu dekat dengan ibunya. Sampai saat ini ada dua luka permanen di paha dan punggungnya. Ditambah juga jari tengah tangan kanan Hanna sudah tidak utuh (Ruas teratas jarinya sudah tidak ada) akibat terpotong disaat ibunya dibiarkan memegang pecahan kaca saat sedang marah.

"Kalo ngana so bangun, mami mo bicara sabantar." Ucap mami pelan.

"So bangun ini mi." Balas Hanna sambil memberi senyuman hangat kepada mami.

"Mami so te tau lagi. Papimu kelakuan seperti bajingan. Dia datang bawa surat minta cerai sama mami sambil bawa pacar barunya." Mami mulai menangis menjelaskan akar keributan mereka tadi siang.

Hanna sendiri menyadari kalau hubungan kedua orang tuanya sudah lama tidak baik-baik saja. Papi bekerja di perusahaan minyak yang mengharuskan beliau tinggal di tengah lautan selama berbulan-bulan. Papi jarang pulang kerumah. Hanna lebih sering menerima notifikasi uang masuk ke tabungan pelajarnya dibandingkan kabar papi. Sedangkan mami..... mengingat semua kelakuan mami saja sudah membuat seluruh bagian kepala Hanna pusing.

Prone to MiseryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang