"Vania, tolong buatkan kopi susu," perintah Lukas.
Vania langsung mengindahkan, menyeduh kopi hitam yang tersedia di pantry, lalu ia bawa kopi itu ke meja. Dan tepat di hadapan Lukas, Vania beranjak duduk, kemudian menaikkan kaos yang ia kenakan hingga kedua payudaranya yang bulat, besar, dan berisi—lengkap dengan puting cokelat yang sedikit tebal—tertangkap penglihatan Lukas.
Mata Lukas membulat sempurna. "Vania, apa yang kamu lakukan?"
"Katanya Tuan ingin kopi susu," balik Vania enteng. Ia urut pentil susunya hingga ASI yang ia produksi sejak enam bulan lalu pasca melahirkan mengalir. Mata Lukas kian melebar—shock. Vania melirik pria yang satu setengah tahun lalu ia temui di acara party salah seorang sahabatnya.
Lukas tampak meneguk ludah.
"Mau langsung dari sumbernya, Pak?" tawar Vania.
"Bo-boleh?" Rupanya kelemahan Lukas adalah hasratnya sendiri.
"Tentu, Pak." Vania bangkit, menghampiri Lukas, ia dudukkan tubuhnya diatas meja. Ia tarik kepala Lukas agar mendekat dan ia arahkan pentil susunya ke mulut pria itu. Lukas segera melahap pentil susu Vania, sementara kedua tangan Lukas memeluk pinggang Vania.
Lidah Lukas memainkan pentil susu Vania.
Vania menyeringai licik, dagunya tertumpu di pundak Lukas selagi tangannya yang menggenggam ponsel menginteruksi security di luar untuk memfoto diam-diam. Sebenarnya Vania malu payudaranya diliat oleh Pak Broto, tapi demi pembalasan atas rasa sakit hatinya, maka dengan terpaksa ia tahan urat malunya. Dan bonusnya, Pak Broto sekarang cengar-cengir dengan wajah mesum.
"Pak Broto boleh liat payudara saya, asal setelah memfoto saya dan Pak Lukas, langsung Bapak kirim ke nomor Ibu Christy."
"Baik, Mbak. Tapi saya boleh pegang juga gak?"
"Bapak mau saya gampar sampai koma?!"
Kurang lebih seperti itulah percakapan antara Vania dan Pak Broto.
"Ganti yang sebelah ya, Pak?" Vania mengarahkan pentil susu sebelah kiri ke mulut Lukas begitu pentil susu sebelah kanan dilepas. "Pelan-pelan, Pak. Gak akan ada yang minta kok. Dan saya pastikan tidak ada yang tahu soal ini."
"Kamu pernah hamil?" tanya Lukas disela hisapan.
Vania mengangguk. "Ya. Tapi laki-laki yang menghamili saya gak bertanggungjawab."
"Anakmu?" tanya Lukas lagi.
"Eumm ..." Vania menggeliat geli, hisapan Lukas berbeda dengan Rexy—jagoannya yang baru berumur enam bulan. "Ada di rumah, Pak. Sebenernya saya juga gak tega ninggalinnya. Karena itu, kalau Bapak ngijinin saya bawa anak, saya mau ajak anak saya."
"Selama tidak mengganggu pekerjaanmu tidak masalah."
"Wah, makasih, Pak." Bibir Vania tersenyum puas, tapi ketika matanya menangkap sosok Pak Broto, kepuasan di hatinya langsung berubah murka. Pria tua itu masih memperhatikan payudaranya. Sialan! Vania mendelik galak, mengusir Pak Broto lewat tatapan. Tapi bukannya pergi, Pak Broto malah mengelus-elus miliknya, bahkan dengan kurang ajar dia turunkan risletingnya, menunjukkan adiknya pada Vania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vania; Teman Tidur [21+]
Romance[21+] Diseret ke kamar oleh seorang laki-laki yang tidak Vania kenali hingga beberapa bulan setelahnya ia hamil. Vania diusir dan dicampakkan oleh keluarganya sendiri. Tapi tenang, hidup itu adil. Vania menemukan laki-laki itu ketika usia Rexy mengi...