3. Ribut

14.5K 129 5
                                    

Setelah makan siang singkat dengan calon investor, Lukas, CEO D-Mart, salah satu perusahaan marketplace yang sedang berkembang, terjun ke sesi brainstorming dengan departemen pemasaran untuk membahas promosi dan kampanye periklanan. Tapi sialnya, selama meeting berlangsung, kepala Lukas tidak berhenti membayangkan payudara Vania yang selama dua hari ini ia nikmati.

Shit!

Dan yang lebih mengherankan, Vania justru terlihat sangat menikmati. Bahkan yang menawari Lukas untuk menyusu, wanita itu sendiri. Seolah apa yang Vania suguhkan adalah hal yang biasa. Padahal seharusnya Vania merasa risih atau khawatir, tapi ini malah sebaliknya. Hm, sebenarnya ada apa? Kenapa?

Selesai meeting dengan divisi pemasaran, Lukas kemudian bertemu dengan tim pengembangan produk untuk mendiskusikan fitur-fitur pada platform D-Mart. Dan gambaran yang sama, kembali menghiasi pandangan Lukas. Double shit! Ini mulai tidak beres. Maka di akhir jam kerja, Lukas memilih untuk segera pulang sambil melakukan panggilan dari beberapa pemasok dan vendor kunci, memastikan inventaris D-Mart terpenuhi dengan baik.

"Bapak pecat saya?" Pak Broto menghampiri Lukas yang baru saja turun dari sedan hitamnya.

Dengan ponsel di telinga, Lukas menoleh singkat lalu mengibaskan tangan, dan kembali meneruskan obrolan lewat sambungan telepon sembari melangkah menuju kediamannya. "Baik, Pak. Saya tunggu kabar baiknya." Panggilan berakhir. Lukas menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Tapi seketika langkahnya terhenti di area ruang tamu begitu melihat Vania sedang menyusui Rexy.

Wanita ini ....

"Pak!" Suara Pak Broto menghentak kesadaran Lukas, segera dia dorong Pak Broto keluar sebekum pria paruh baya yang kata Vania kurang ajar itu melihat payudara Vania. Dan mereka berhenti di teras depan. "Bapak serius dengan keputusan Bapak?" Lukas mengangguk malas. "Asal Bapak tahu, Bapak sedang dimanfaatkan oleh Mbak Vania. Dia itu licik."

"Bukannya Bapak yang kurang ajar?" balik Lukas. "Jangan playing victim, Pak."

"Oke, saya aku saya salah. Tapi—"

"Saya gak butuh penjelasan Bapak. Lebih baik sekarang Bapak pergi," usir Lukas, berbalik dan masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Pak Broto yang dengan suara pelan bergumam.

"Vania, saya akan bongkar semuanya."

***

Danuarta Group adalah perusahaan besar yang bergerak di beberapa bidang, diantaranya Danuart Entertaiment, Danuart Properties, Danuart Hospital, Danuart School, hingga Danuart Retail. Vania cukup tahu siapa laki-laki yang sudah merenggut keperawanannya. Oleh karena itu, membuat citranya hancur di hadapan publik, sepertinya bukan solusi. Biarkan saja orang-orang meninggikan Lukas, tujuan Vania adalah memporak-porandakan bisnis turun temurun yang semakin berkembang pesat. Sebab ketika gurita bisnisnya hancur, Lukas tidak akan bisa menjangkau masa depannya lagi.

Wanita cantik yang selalu tampil seksi di hadapan majikannya itu sengaja tidak memakai bra dengan alasan; kalau tiba-tiba Rexy minta nenen, dia tidak perlu effort mengeluarkan payudara dari branya. Dan Lukas tidak pernah bisa membantah. Kebungkaman pria itu berhasil menciptakan kemenangan di hati Vania.

"Saya liat di CV, kamu pernah bekerja di rumah sakit sebagai cleaning service," celetuk Lukas ketika Vania menghidangkan makan malam diatas meja. Tapi mata Lukas tidak lepas dari dada Vania. Puting susunya tercetak jelas dibalik kaos oversize yang ia kenakan.

Vania mengangguk. "Iya, Pak."

"Kenapa resign?"

"Kan saya sudah bilang, saya meninggalkan semua rutinitas karena hamil," ujar Vania. Soal ini ... dia tidak bohong. Cuma soal pekerjaan sebelumnya saja yang dia palsukan. Sebenarnya Vania berasal dari kalangan keluarga berada—keluarganya pun cukup tersohor, ia bahkan sebelum hamil sedang menempuh pendidikan di sekolah keperawatan. Sayang, kenikmatan sesaat membuatnya lupa dan terjerumus ke dalam lubang gelap. Ia juga diusir dari rumah.

"Keluargamu tahu?" tanya Lukas, menyendokkan nasi ke piring.

"Tahu." Vania mengangguk lagi. "Mereka ngusir saya. Dan baru mau terima saya lagi, kalau saya bawa laki-laki itu ke hadapan mereka."

Ini tidak bohong.

Bapaknya bilang begitu saat tahu Vania—anak perempuan satu-satunya—hamil.

"Apa kamu gak berniat mencari laki-laki itu?" selidik Lukas.

"Untuk?" balik Vania dengan satu alis terangkat.

"Minta pertanggungjawabanlah," tandas Lukas.

"Kalau soal itu ... saya sih mau. Tapi gak yakin."

"Kenapa perempuan selalu memainkan feeling tanpa mencoba?" sindir Lukas.

"Ya karena kami sering kebanting sama ekspektasi kami sendiri, makanya kami nggak mau coba-coba," tandas Vania tidak kalah judes. "Lagian saya juga gak yakin dia masih sendiri," lanjutnya. "Tapi kalaupun masih sendiri, saya sama sekali gak tertarik."

"Gimana kalau nanti Rexy tanya siapa ayahnya?" Lukas mendadak ikut campur.

Vania agak kesal sekaligus salah tingkah. Kenapa tiba-tiba mereka seperti orang tua yang sedang meributkan soal anak? Astaga.. "Tinggal kasih alesan, beres deh." Ia pamerkan senyum pongahnya.

"Belum tentu, Vania. Zaman sudah berubah. Generasi sekarang adalah tipikal anak-anak yang kritis," ujar Lukas. "Jangan samakan Rexy dengan kamu atau saya. Kita aja beda pimpinan—apalagi Rexy. Yang setiap masa selalu pembaharuan."

"Pak, maaf, tapi kan ini anak saya ya?" Vania meringis.

"Hm?" Lukas segera meminimalisir ekspresi dan berdehem. "Cuma saran."

"Baik, saran diterima." Vania mengangguk lalu kembali melanjutkan pekerjaan.

Ibu dari Rexy itu menyelesaikan tugasnya sembari melayangkan lirikan ke arah Lukas yang tampak tenang di meja makan. Andai pria itu tahu siapa yang dimaksud Vania, bisakah dia berkata seenteng tadi? Bisakah dia berlagak seolah dia paling benar lantas menghakimi Vania seperti barusan?

Lo cari mati, Lukas.





[]

150 vote + 100 comment for next chapter :)

Vania; Teman Tidur [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang