Agen - 23

67 10 4
                                    

"Kamu ke mana aja? Aku khawatir." Gia menangkup pipi kekasihnya itu seraya berkaca-kaca.

Agan menatap Gia penuh arti. Lalu, ucapan rindu Gia hanya bisa ia balas dengan, "Mbak, kita sampai sini aja, ya."

Bibir Gia bergetar sebagaimana ia telah menahan tangis sejak siang tadi. Kalau ia menyangkal bahwa apa yang Oma suruh tadi bisa ia bantah, maka Gia tidak menyangka untuk yang satu ini.

Agan duluan yang justru akan menyudahi hubungan mereka di saat Gia siap dimusuhi Oma lagi asalkan ia tetap bersama Agan sampai masa-masa berikutnya.

Gia terkekeh kecil dan menautkan dua alisnya, "bentar, itu pertanyaan atau pernyataan?"

Agan menunduk. Tak berani sekedar menatap mata Gia.

"Pernyataan," jawab cowok itu dengan suara pelan. Bahkan terdengar seperti bisikan.

"Ini gara-gara permintaan Oma, kan?" Suara Gia meninggi ketika bertanya itu.

Kepala Agan terangkat untuk menatap Gia lamat-lamat. Lidahnya kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan Gia.

"Iya, kan?" tanya Gia lagi. Terdengar mengintimidasi. "Kalo emang iya, mumpung Oma lagi ada di dalem, kamu ngomong sama Oma—nggak, tapi kita. Kita berdua yang harus yakinin Oma."

Tangan Gia menggenggam pergelangan tangan Agan dan menariknya pelan supaya Agan bisa mengikutinya. Tapi Agan, dia malah menetap di tempatnya dan menarik tangannya dari genggaman Gia.

"Enggak, Mbak. Bukan karena siapa-siapa, bukan karena Oma juga. Ini murni dari keputusan Agan sendiri." timpal Agan dengan suara yang bergetar. Dia mundur satu langkah untuk menjauh dari jangkauan Gia.

Gia hanya menatap Agan tidak percaya dari tempatnya.

"Sekalipun tanpa permintaan orang lain, kayaknya saya juga harus menjauh, Mbak. Kita berdua nggak bisa melangkah ke masa-masa yang akan datang. Seharusnya dari lama saya sadar, siapa yang lagi saya deketin selama ini dengan kondisi di mana, kehidupan saya jauh dari kata rapih. Keluarga saya berantakan, Mbak," jelas Agan seraya menatap Gia dengan tatapan kelam. "Saya juga malu sama salah satu anggota keluarga saya yang berani-beraninya tikam Mbak Gia. Atas nama kakak saya, saya minta maaf, ya, Mbak..."

"Udah ngomongnya?"

"Mbak..."

"Kita ngobrol dulu,"

Agan menggeleng kecil. "Enggak, Mbak, udah..."

"Agan!" Gia membentak Agan sampai pemuda itu tak lagi bersuara. Wanita itu memejamkan matanya dan menggertakkan giginya. "Penjelasan kamu—itu nggak masuk di otak aku tau, nggak?! Alasan macam apa itu? Pernah aku bangkitin berantakannya kamu? Nggak, kan? Pernah juga kah aku olok-olok kamu soal masalah-masalah kamu? Terus kenapa sekarang kamu bahas itu, hah? Bohong kalo ini bukan karena orang lain. Aku tau Oma yang suruh kamu buat jauhin aku."

"Tapi ini keungkap, Mbak, siapa orang yang nikam Mbak Gia. Kakak saya, Mbak, kakak saya!" balas Agan.

"Ya itu 'kan kakak kamu! Bukan kamu!"

"Saya yang malu, Mbak! Saya sendiri nggak sanggup berhadapan sama Oma. Malu." pungkas Agan tanpa menatap sekalipun ke Gia. "Ini aja saya mikir-mikir lagi buat ketemu sama Mbak Gia." lanjutnya dengan suara pelan.

"Aku nggak peduli, Gan." Gia menggelengkan kepala, "itu musibah dan yang jelas itu di luar kendali kamu, kendali aku, KITA! Jangan karena dia keluarga kamu, kita jadi imbasnya."

"Justru itu, Mbak. Saya sendiri nggak bisa libatin Mbak Gia ke dalam keluarga saya setelah apa yang kakak saya lakuin. Kita perlu realistis. Kita berdua emang jatuh cinta, tapi saya sendiri nggak mau, karena jatuh cinta itu saya buat orang lain terjebak ke kehidupan saya yang gini-gini aja. Jangan naif, Mbak."

Agen AganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang