1

8 2 0
                                    

Kota Kembang,

Aku termangu di depan kaca jendela kamar yang mengembun akibat bulir air hujan, pikiranku terlempar pada kejadian beberapa jam yang lalu di pelataran kios toko kelontong. Seperti film yang diputar kembali, sosok pemuda bersahaja tidak bisa lepas dari ingatan, saat aku berlindung di balik tubuhnya yang tegap untuk bersembunyi dari petir yang membuatku hampir mati ketakutan. Meskipun sikapnya bak kulkas lima pintu, tapi perhatiannya memberiku tumpangan pulang membuat jantungku berdetak kencang, alih-alih takut melihat wajahku yang sudah pucat pasi seperti mayat atau memang dirinya diciptakan untuk menjadi malaikat penolong—aku tidak peduli. Bodohnya aku tidak sempat berkenalan padanya, apakah rasaku yang sudah lama mati ini kembali hidup dan aku jatuh cinta pada dia sosok pemuda yang aku temui di pelataran toko kelontong Koh Li.

Bandung bulan ini sedang manis-manisnya, diguyur hujan berhari-hari. Andai saja awal bulan dengan hujan pertama tidak bertemu dengan pemuda itu, mungkin tidak akan aku katakan Bandung sedang manis-manisnya. Harus bertanya pada siapa agar aku bisa bertemu kembali dengannya, tidak mungkin bertanya kepada Koh Li, yang ada aku disuruh jadi jembatan makcomblang antara anak perempuannya dengan Mas Seno. Aku menggeleng pelan mengingat tekad kokoh-kokoh itu ingin mengenalkan anaknya kepada Mas Seno, heran saja sejak kapan keluarga chinese mau menjodohkan anaknya dengan mas-mas Jawa.

"Nduk, bantuin ibu mixer adonan yuk", seru Ibu membuyarkan lamunanku yang sudah bercabang sampai kemana-mana dan akhirnya aku beranjak dari tempat.

Aku keturunan Jawa, sama seperti Mas Seno hanya saja sudah menjadi bagian penduduk di tanah Sunda ini. Nduk merupakan panggilan untuk anak perempuan versi Jawa, Ibu selalu memanggilku dengan panggilan itu dari kecil dan aku mencintai panggilan itu. Kami mempunyai toko kue di samping rumah, meskipun kecil tapi peninggalan dari Bapak yang sangat berharga. Toko kue yang cukup dikenal masyarakat sekitar diberi nama Cahaya, seperti namaku Galina yang mempunyai makna cahaya. Aku berharap namaku menjadi do'a, aku mampu menjadi pelita untuk segala kegelapan.

"Tadi siapa yang nganter, nduk. Kenapa ngga disuruh masuk?", tanya Ibu di sela-sela pekerjaan.

"Do'ain segera tahu namanya ya, bu. Dia orang baik yang nolong Nana dari ketakutan petir, sepertinya dia buru-buru jadi belum bisa mampir", jawabku dengan malu-malu kucing dan bergumam dalam hati, ternyata Ibu melihatnya.

"Sepertinya anak gadis Ibu ini sedang jatuh cinta. Cinta itu dirawatnya dengan do'a, nduk. Biarkan riuhnya di haribaan Tuhan sebab cinta sejatinya suci".

Aku hanya tersenyum menanggapi nasihat Ibu berwujud kalimat paling indah yang pernah aku dengar. Ibu Rahayu kesayangan Almarhum Bapak Djazuli memang perempuan paling manis yang paling aku cinta di dunia ini, surgaku ada di telapak kakinya—restu. Aku memperhatikan pergerakan Ibu berperang dalam pertempuran tepung terigu, telur, gula, dan lainnya dengan semangat juang. Seperti biasa tangannya dengan lihai meramu bahan-bahan untuk dijadikannya berbagai kue, aku disini tidak hanya berdiam tetapi juga ikut membantu. Agar tidak senyap, aku menyalakan lagu dari speaker, membiarkan album Westlife berpadu dengan harmoni mixer dan suara-suara dapur lainnya.

Tepat jarum jam di angka lima yang tercetak pada jam dinding kayu antik diatas pintu penghubung dapur yang menunjukkan pukul lima sore, pekerjaanku dan Ibu selesai. Kue-kue yang tadi dibuat merupakan pesanan dari Bu Kenanga— Ibu Mas Seno.

Setelah menunaikan sholat maghrib berjama'ah dengan Ibu, aku bergegas merapikan diri untuk mengantar pesanan kue ke rumah Bu Kenanga atau akrab kami sapa Bu Keke. Rumahnya ada di seberang jalan, tepatnya di kompleks elit di daerah sini. Sepeda polygon khas eropa kepunyaanku ini merupakan transportasi kesayangan yang selalu menemaniku mengantar pesanan kue.

Aku menyusuri gulita dengan mengayun pelan polygon kesayangan, kali ini cahaya yang ada dalam namaku membelah kegelapan. Bandung di malam hari juga tidak kalah manis, syukurnya malam ini hujan tidak menyertai keindahan malam, kalau saja ia hadir aku kerepotan mengayuh sepeda dengan jas hujan. Kompleks perumahan elit sangatlah ketat penjagaan, setelah sampai di gerbang masuk seorang satpam bertanya tujuanku datang kemari, aku menjelaskan semua dan dipersilakan masuk setelah satpam tersebut menelfon Bu Kenanga.

Mungkin dikira aku pemulung kali, malam-malam naik sepeda. Tapi kan, dilihat dari sepedanya ini sepeda mahal, lihat juga wajahku yang cantik ini tidak patut dicurigai sebagai pemulung.

"Mampir dulu, cah ayu. Mas Seno mu ada di ruang santai asyik main ps", pinta Bu Kenanga.

Bu Kenanga mengira aku dan Mas Seno ada hubungan spesial, padahal sudah dijelaskan berjuta kali bahwa hubungan kami hanya teman biasa, namun Bu Kenanga menanggapinya dengan senyum, seperti tidak percaya dengan perkataan kami.

"Terima kasih tawarannya. Tapi maaf bu, sudah malam jadi Nana pulang saja. Sampaikan salam untuk Mas Seno, yaa"

"Yaudah kalau gitu, kamu hati-hati di jalan ya. Pokoknya kapan-kapan harus main kesini, ya"

"InsyaAllah, bu. Assalamualaikum....."

Aku pulang dengan penuh senyum, karena Ibu menyuruhku untuk membeli apapun yang aku inginkan sepulang dari mengantar pesanan kue. Tempat tujuanku adalah kedai es krim dekat alun-alun yang tidak jauh dari kompleks elit ini. Kedai ini adalah tempat favourite ketika ingin mendinginkan pikiran atau sekedar bersantai sambil membaca buku. Seringnya datang kemari membuatku kenal akrab dengan para karyawan disini, apalagi bos nya yang sering memesan kue di tempat Ibuku.

Teh Fika, pemilik kedai es krim ini sangat ramah dan humoris sehingga tiga karyawannya betah kerja disini sejak kedai ini dibuka sampai saat ini, katanya jika resign takut tidak mendapatkan bos sebaik Teh Fika, itu kata salah satu karyawannya mewakilkan ungkapan hati dirinya bersama dua temannya kepadaku. Malam yang manis ini aku memesan stracciatella flavour, perpaduan antara vanila dan coklat.

"Darimana Na, kok sumringah begitu?", tanya salah satu karyawan setelah meletakkan pesanan es krim di mejaku.

"Lagi bahagia aja ditraktir Ibu beli es krim, Yol", jawabku

"Wahhh enjoy your time, baby. Aku kembali ke dalam dulu ya"

"Enjoy your time too, baby Yola"

Buku "Laut Bercerita" karya Kak Leila S. Chudori menemaniku menikmati malam dan es krim sungguh menenangkan. Buku ini merupakan hadiah ulang tahun dari Mas Seno untukku tahun lalu, Ia tahu aku suka membaca dan mengetahui buku yang ingin aku beli kala itu. Sudah satu tahun yang lalu baru bisa aku baca sejak satu minggu yang lalu, aku memang lambat dalam menyelesaikan bacaan karena aku hanya bisa membaca di waktu-waktu luang seperti saat ini, selebihnya waktuku untuk membantu ibu meramu kue, jaga toko kue, mengajar di rumah cahaya, mengerjakan tugas kuliah, dan mungkin saat ini list nya bertambah yaitu memikirkan seorang pemuda yang sejak siang hari menghantui kepala.

Selain suka membaca, aku juga suka menulis namun tidak ada yang tahu. Aku biasa merangkai aksara di noted ponsel, tidak aku terbitkan di platform online kepenulisan atau mencetaknya menjadi buku.
Tiga puluh menit lamanya aku menguasai tempat duduk ini padahal es krim sudah habis tidak lebih dari sepuluh menit setelah pesanan datang. Aku pamit untuk pulang setelah membayar, baru saja melangkahkan kaki satu jangka dari pintu mataku terpana pada sosok di seberang jalan raya. Pemuda yang berkeliaran di dalam pikiran mungkin sudah bersemi di dalam hati nyata aku lihat sedang duduk di dalam toko buku bekas depan kedai es krim ini. Aku menatapnya dari balik kaca, karena tempat itu sebagian berdinding kaca yang tembus pandang. Di lain waktu aku akan mengunjungi tempat itu.

________________________________

Hai, ini adalah tulisan pertama aku. Semoga kalian suka yaa, jangan lupa support like and comment untuk semangat lanjut nulis part selanjutnya. ❤️❤️❤️

Enjoy ur time!

Beloved,
Khmdhhaneem

Semesta untuk GalinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang