Filosofi Sepeda

4.7K 245 26
                                    

1 Agustus,

Hari pertama menjelang ajaran baru, ayahku yang baru menyelesaikan dinas di luar kota akhirnya datang dengan wajah cerahnya ke rumah kami. Berlari aku keluar dari dalam rumah, melompat ke dalam pelukan Ayah. Sungguh aku merindukan rasa kejut saat mereka datang. Namun satu hal paling mengejutkan saat aku selesai melepas rindu dalam dekap hangatnya, ia tersenyum penuh arti. Termangu aku melihat ibuku datang dengan sebuah benda beroda dua ia naiki.

Kutatap ayahku dengan penuh tanya, ia hanya tersenyum. Ini, apakah ini kejutan?

"Buat Kinal!"

Tak bisa kubendung rasa bahagia yang membuncah saat mendengar ucapan ibu yang menggema di telingaku. Tanpa aba-aba pun langsung aku berhambur dipelukan mereka. Sungguh aku menyayangi mereka yang selama ini selalu kurindukan.

Walau memang bukan hal yang terlalu spesial untuk seorang siswa baru SMA mengendarai sepeda, tapi kedua orang tuaku selalu mengajarkan kalau kita harus menghargai apapun yang telah diberikan pada kita. Jadi bagaimana pun bentuknya, tetap yakinlah bahwa apapun yang diberikan pada kita itu adalah hadiah dari Tuhan yang diberikan lewat orang-orang disekitar kita. Tentu kalau Tuhan memberi hadiah, kita harus menghargai dan menerimanya bukan?

Sungguh, sebenarnya dibalik hadiah yang Tuhan berikan, sebiasa apa pun bentuknya, dibalik itu semua Tuhan sudah menyiapkan kejutan hikmah dan hadiah tersendiri. Misalnya...

Cinta?

##############

Kinal POV

Diawal bulan desember, pagi hari ketika embun masih setia bersahaja dengan sang dedaunan, serangkai salam kuucap sebelum memulai hari menuju sekolah. Nenek melambaikan tangannya, kubalas senyuman untuk meyakinkan kalau pagi ini aku masih semangat.

Ya, aku harus kembali semangat tanpa kedua orang tuaku lagi. Terpaksa mereka harus keluar kota untuk beberapa bulan kedepan karena pekerjaan. Dan aku selalu memahaminya, mereka seperti itu demi masa depanku. Seulas senyum selalu kuukir kala mengingat kasih sayang yang selalu mereka limpahkan padaku. Teringat walau seberapa jauh jarak, mereka selalu menghubungiku setiap hari, setiap waktu makan, belajar, bahkan di pagi hari pun selalu mereka membangunkanku melalui telepon.

Belum lagi sepeda yang selalu kunaiki untuk berangkat menuju sekolahku ini. Tak bisa aku berhenti tersenyum. Kukayuh semakin cepat dengan penuh tenaga kala jalanan tampak lengang.

Sampai disebuah jalan yang menurun, kupejamkan mataku untuk menikmati angin yang berhembus mesra terasa nyaman. Mengibarkan helaian rambut pendekku. Tak pernah bisa kulepas senyuman ini saat menikmati udara bergerak yang Tuhan ciptakan. Seperti di surga rasanya...

Perlahan kubuka mata ini,

Mungkin memang ini surga, tepat ketika kedua mataku terbuka sebuah bayangan yang bisa kucerminkan sebagai makhluk surgawi itu berdiri dipinggir jalan.

Kayuhanku mulai pelan, kutolehkan kepalaku ke sekeliling, curiga kalau ini benar-benar surga. Dan aku salah karena ini masih jalanan yang biasa kulewati menuju sekolah.

Jantungku berdebar tak beraturan kala kulihat angin nakal menghembus rambut panjang lurusnya. Dia terpejam gelisah karena sang angin yang sepertinya sengaja membuat suasana pagi ini memihak kepadaku, semakin aku terpesona karenanya.

Jarak ini semakin kukikis, kukayuh sepeda ini kearahnya. Ah, ternyata dia manusia biasa. Tak ada sayap ataupun bulatan emas diatas kepalanya. Tapi aku ragus, mungkin saja kalau dia ini bidadari yang diusir dari surga. Aku menggeleng pelan, tolol sekali pikiranku ini.

"Butuh tumpangan?"

Satu pertanyaan yang paling berharga mungkin bagiku, karena berawal dari pertanyaan itu ia menyunggingkan senyum pertamanya untukku. Kami mungkin tak saling kenal, tapi entah kenapa rasanya seperti ada ikatan yang membuatnya begitu yakin untuk mengangguk dan menerima tawaranku. Atau mungkin memang dia membutuhkan tumpangan?

Filosofi SepedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang