satusatu

0 0 0
                                    

“Zen, kata gue lo stop mikirin batu yang lo lempar ke setu itu. Dia tenggelam Zen. Enggak akan ngapung!” seru Melva, teman satu kursus Zena. Sejak tadi Zena uring-uringan menanyakan batu itu sudah sampai dasar setu atau belom.

“Orang waras juga mikir gitu, dan gue waras, goblok! Gue tau dia enggak bakalan ngapung, tapi gue mikir ini beneran enggak? Harapan gue terkabul?”

Ada cerita dari mulut ke mulut tentang setu di hutan kota ini, katanya permintaan akan terkabul jika melemparkan batu kerikil dan pergi setelah batu itu tiba di dasar setu.

“Katanya gitu, tapi gatau ah. Lo perbanyak ibadah biar terkabul! Bukan percaya ginian.”

Senyum Zena mekar. “Lo bener, Mel. Thank you my beloved friend, how grateful i am having a friend like yuh.”

Melva berdecak.

“Abisin makanan lo, abis itu kita cabut.”

“Cabut rumput?”

“Hah! Lawak ege lo,”

Zena merapihkan kotak nasi bentonya. Sedangkan Melva memasukkan styrofoam bekas ayam gepreknya kedalam kresek.

“Gue males les deh, capek gue apalin past tense. Muak.” keluh Melva.

“Sama.” sahut Zena yang sedang menggulung tikar.

Mereka abis makan siang nyerempet sore di hutan kota yang lumayan ramai. Sepulang sekolah, setiap Senin dan Rabu, Zena dan Melva langsung pergi les bahasa Inggris. Namun ada jeda beberapa menit sebelum jam les mereka dimulai, dan biasanya Zena dan Melva manfaatkan untuk makan siang di pinggir setu hutan kota ini.

“Abis ini beli es krim yuk, Mel.”

“Batuk ah.”

“Apasih, es krim enggak bikin batuk! Kecuali lo jajan es cekek ya batuk lah, gulanya."

“Sama aja, gue udah enggak kuat Zen, sumpah! Tiap malem gue batuk-batuk mulu.” Melva mengeluh.

“Yaudah, gue aja yang beli.”

Zena dan Melva berjalan menyusuri hutan kota sampai keluar dari sana, ada toko es krim langganan Zena disebrang gerbang pintu masuk hutan kota. Tempat strategis dan harganya terjangkau untuk anak sekolah. Bahkan gelato harga 20 ribuannya enggak abal-abal rasanya. Mantap lah.

Zena memesan es krim cone rasa caramel dengan taburan kacang.

Setelah mendapatkan pesanannya, Zena dan Melva kembali berjalan ke tempat les. Jaraknya 1 kilo meter sih dari hutan kota, tapi boncos juga kalo harus mesen ojol. Alhasil, mereka selalu jalan kaki bersama. Itung-itung olahraga dan mengurangi polusi udara, kalo kata Zena.

“Enggak ada PR kan?” tanya Zena.

“Enggak ada, duh enggak sabar deh Zen merasakan momen kpanikan kita terhadap PR enggak ada lagi. Enggak ada lagi ngerjain tugas pas nyampe rumah. Enggak sabar nunggu momen pulang ke rumah yaa buat istirahat.” ucap Melva dengan pandangan menerawang masa depan.

“Duh jangan Mel, percayalah lo bakal kangen masa-masa ini. Tinggal ngitung bulan loh sampe kita lulus. Lo pasti nyesel ngomong gitu.”

“Kata siapa? Lo aja sama kayak gue, sama-sama masih sekolah!”

“Ih Mel, realita after graduate tuh real thing. Sepupu gue aja katanya pengen jadi anak sekolah lagi—tapi gue tawarin ganti posisi enggak mau, katanya kerjanya udah enak.” ucap Zena sambil terkekeh.

Melva geleng-geleng. “Sepupu lo berarti yang begitu, gue enggak. Gue udah capek tau Zen. Sekolah mulu. Belajar mulu dimana-mana.” gerutu Melva.

Zena mengernyit. “Bukannya sampe mati, kita belajar ya Mel?”

“Iyasih, tapi enggak mau juga sampe mati belajar matematika wajib!”

“Si goblok!” Zena tertawa.

*****

Skip momen didalam kelas kursus bahasa Inggris yang isinya Zena mencoba menahan kantuk karena tutor yang biasanya mengajar, diganti dengan tutor yang sedikit sepuh. Penjelasan beliau yang mengulang past perfect terasa seperti didongengin sebelum tidur. Suara wanita paruh baya itu lembut, pelan dan mendayu-dayu.

“Balik dianter siapa Mel?” tanya Zena setelah mereka keluar kelas. Ia masih menyandang ranselnya didepan karena sedang memasukkan kamus besarnya.

“Pacar gue, sepuluh menit lagi. Lo?”

“Sopir pribadi, belum terlacak.” ucap Zena datar.

Melva mendenguskan tawa.

Mereka berjalan bersamaan menuju teras ruko tempat mereka kursus dan duduk di bangku panjang yang ada disana. Menunggu jemputan masing-masing.

Beberapa anak kursus yang mereka kenal menyapa mereka berdua.

“Ngantuk banget Zen, mau tidur di bahu lo ya. Sampe pacar dateng.”

Zena menyisir rambutnya dengan tangan sambil melirik sinis ke Melva. “Fak men, punya cowok aja masih nyender ke bahu orang.”

“Ya gimana yaa,”

“Pacar gunanya buat diajak ke cafe lucu doang soalnya ya, Mel”

“Kampret amat lo Zen,” Melva tertawa.

Meva benar-benar menyandarkan kepala ke bahu Zena. Zena terima-terima aja aksi nyusahin temennya itu.

“Duh, Mel, gimana ya cerita gue.” gumam Zena. Lagi-lagi mengungkit masalah itu.

Biarkan Melva, teman kampretnya mendeskripsikan siapa sih Zena? Kok bisa uring-uringan karena writers block? Penulis termasyhur kah dia?

Jawabannya. Enggak sama sekali, jujur, Melva aja enggak pernah dikasih tau Zena apa yang cewek itu tulis. Bahkan akun Akubaca milik cewek itu aja Melva enggak tau. Kata Zena dia malu, entar teman kampretnya ngeledek betapa payahnya dia dalam menulis. Tapi, waktu itu Zena pernah spill seberapa banyak readersnya. Wow, 200ribu pembaca! Angka fantastis untuk ukuran anak yang selalu dengan template gembel macam Zena ini.

Kayak, enggak expect aja gitu, imajinasinya lancar. Mana aplikasi Akubaca itu berbayar setiap mau baca perchapter. Untung juga Zena, jadi pengen minjem duit batin Melva mulai kampret.

“Lo sebuntu itu ya, Zen? Sampe berharap kepada keajaiban setu hutan kota.” Melva meringis kasihan.

“Sumpah Mel, gue stress, readers Ayobaca gue semakin brutal di request dm. Minta next. Gue harus memberantas writers block ini secepatnya. Mereka juga kan udah bayar.” ujar Zena menggebu-gebu.

“Ya gimana ya Zen, lo enggak pernah pacaran, ngobrol sama cowok aja bawaannya sensi mulu. Gimana bisa lo yang minim pengalaman di hal romantic ini nulis cerita-cerita melankolis.” Melva blak-blak an.

“Gue bisa kok! Cuma emang sekarang ceritanya harus complicated. Puncak konfliknya harus bikin sakit hati total mampus, itu adalah goals gue.”

“Emang tipe-tipe author dilaknat readers ya lo Zen. Tapi hati-hati loh Zen, lo punya niat sejelek itu, ngebalik ke elo. Entar Maha pemilik kehidupan ini ngejadiin jalan cerita romansa lo sepedih cerita yang lo bikin.”

Zena dengan enteng menoyor kepala Melva yang masih nyender di pundaknya. “Mulut lo! Amit-amit ih.”

Zena bergidik ngeri. Ia mulai memikirkan ucapan Melva, bener juga tuh. Tapi, Zena masih muda, sedangkan tokoh yang dia buat itu mau masuk kepala 3. So, can't relate. Dan Zena ya bakal memastikan ia mencari pasangan baik untuk dia nikahi di masa depan.

Wait, pasangan?

Apa gue harus punya pasangan dulu agar ... gue tau rasanya punya suatu hubungan? Agar gue ngerti medan konflik dalam hubungan? Dan hal itu bisa gue jadiin inspirasi dan acuan menulis kelanjutan cerita gue?

“Mel, gue tercerahkan.” ujar Zena penuh keyakinan.

“Hm?”

“Gue akan cari pacar.”

Ain't now way, Zen. But you need a big step! Untuk selamatkan karir menulismu ituh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hurt Me, Please?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang