Seorang gadis baru saja menyelesaikan sarapannya pagi ini. Sayuran yang diberikan Bundanya sama sekali tidak tersentuh olehnya. "Kak.. sayurannya dimakan dong, kasian dia dikacangin mulu sama kamu" tegur Bundanya dengan lembut.
"Itu Bun.. Hmm.. Kata sayur dia lagi demam, nah iya lagi demam" ucapnya cengengesan seraya mengangguk yakin diakhir kalimat.
Bunda yang mendengar jawaban nyeleneh itu menoyor kepalanya "Kamu ini ada-ada saja. Mana ada sayur demam" jawabnya kemudian membantu Bi Ira membereskan sisa piring kotor di atas meja tersebut.
"Bun...." Teriak gadis itu ketika wanita kesayangannya mulai menjauh dari meja makan. Ia berlari kecil menghampiri Bundanya yang terlihat sibuk menata kue kering yang akan dibawanya siang nanti.
"Kalo kakak lanjut sekolah ditempat Kanaya aja gimana Bun?" Tanyanya hati-hati agar Bundanya tidak marah. Ia paham sekali ucapan Ayah dan Bundanya saat itu tidak bisa diganggu gugat dan itu membuatnya sedikit kesal.
Bundanya yang tengah memasukan kue ke dalam wadah itu berhenti seketika, ia menatap anak sulungnya ini dengan pandangan heran. "Kamu mau cari gara-gara sama Ayah? Dan kamu tau sendiri kan gimana cara pandang Ayahmu pada Kanaya" lanjut Budanya bertanya.
Ia terdiam. Merenungi kembali alasan mengapa Ayahnya sebegitu tidak suka pada Kanaya, teman SMP sekaligus sepupunya itu selalu membuat ulah disekolah dulu sehingga membuat keluarganya memandang Kanaya sebagai gadis nakal.
Melihat reaksi anaknya yang diam cukup lama membuat tangan Bundanya terulur untuk mengelus rambut gadis itu "Kamu nurut aja ya sama Ayah. Bunda sama Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu Sayang.." ucapnya dengan menatap dalam mata gadis di depannya.
Gadis itu hanya menatap penuh luka ke dalam mata wanita yang sudah tidak lagi muda itu. Ia kecewa.. Tentu saja, bagaimana bisa Ayah dan Bundanya selalu memaksakan keinginan mereka padanya. Padahal ia juga ingin memilih tapi selalu tidak bisa dan kembali menurut. Seolah hidupnya adalah robot yang dikendalikan.
"Oke deh Bun kalo itu emang gak bisa dinegosiasikan lagi" ucap gadis itu melengkungkan senyum yang dipaksakan. Kemudian ia meninggalkan Bundanya yang kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Menatap kepergian anaknya Lea tersenyum miris "Kasian sekali kamu Giselle, andai kamu tau gadis itu tidak menyukaimu. Pasti kau akan terluka" tuturnya dengan nada kecewa pada gadis yang ia maksud.
***
Di sini ia sekarang. Kamar luas bernuansa putih tulang yang selalu menemani hari-harinya, ia menatap langit-langit kamar yang terdapat gantungan bintang-bintang itu. Membayangkan betapa menyenangkannya masa kecilnya di kamar ini bersama Kanaya.
Dulu ia dan Kanaya sering bermain di kamar ini. Kanaya adalah teman baiknya tapi sekarang entah apa yang membuat gadis itu berubah sampai bisa seliar itu. Ia tidak paham, sebab Kanaya tidak pernah menceritakan masalah yang dihadapinya.
"Nay.. gue kangen sama lo" ucapnya sedikit berbisik. Mengusir sedikit sesak dalam hatinya.
Teriakan diluar mengagetkan dirinya yang tengah bersedih. Ia tau betul siapa pemilik suara itu. "Giselle.. keluar lo" panggilan itu membuatnya mendelik malas, mengapa harus sekarang disaat moodnya sangat buruk.
Ia melangkah gontai ke arah pintu, membukanya dan melihat di sana telah berdiri seorang laki-laki dengan senyum manis khasnya. "Apalagi?" Tanyanya cuek.
"Giselle yang cantik, sahabat baik gue.. Bunda nyuruh kita buat ke rumah Tante Lia siang ini... Jadi lo harus cepat siap-siap karna Revan yang ganteng ini tidak mau menunggu terlalu lama. Oke?" Tutur Revan panjang lebar dengan senyum khasnya.
"Ck.. gue tau, sono lo ah ganggu gue aja" ucapnya kemudian menutup pintu dengan sangat tidak sopannya membuat Revan terheran-heran.
Meskipun tengah kesal dengan hidupnya hari ini. Gadis si pemilik nama Giselle itu tetap bersiap untuk itu, ya meskipun harus penuh keterpaksaan.
Setelah berpamitan Giselle dan Revan segera menaiki mobil Revan. Revan menancap gas setelah memastikan barang bawaan mereka aman.
Di mobil mereka diam-diaman dan itu membuat Revan bingung. "Lo kenapa dah" ucapnya mengusir kesepian ini.
Giselle menatap Revan "Gue cape Van harus ngikutin kemauan Ayah Bunda mulu" jawabnya berharap Revan akan membelanya.
"Tante sama Om udah bener, lo aja yang masih ga terima. Bayangin kalo lo tetap maksa buat satu sekolah dengan dia, belum tentu hidup lo bakal beres" tutur Revan serius tanpa mengurangi fokusnya menyetir.
"Kanaya ga seburuk itu Van, lo kenapa dah malah ikutan bilang Kanaya ga bener. Gue yakin dia ada masalah makanya dia berubah" jawab Giselle tak habis pikir dengan orang-orang terdekatnya yang membenci sepupunya itu.
Revan heran kenapa Giselle gigih membela Kanaya "Gis lo tau kan, circle dia sekarang itu siapa? Geng Motor!" Ucap Revan menekankan dua kata terakhir. "Dan lebih parahnya, dia sering ngeclub. Lo mau ikut-ikutan begitu?" Tanya Revan sedikit kesal.
Giselle kaget mendengar penuturan sahabatnya ini. Apa iya perubahan Kanaya sejauh itu. Terhitung sudah satu tahun lamanya ia tidak pernah bertemu lagi dengan Kanaya, dan kabar yang dia dapat sungguh sulit dipercaya.
"Gue ga yakin Kanaya gitu" ucapnya pelan dengan mata berkaca-kaca.
Revan hanya diam. Dia paham sekecewa apa Giselle mendengar ucapannya dan dia tidak mau melanjutkan pembicaraan ini. Itu hanya akan melukai hati Giselle.
"Turun" perintahnya saat mereka telah sampai di depan rumah Tante Lia.
Melihat Giselle memasuki rumah dengan senyum ia sedikit lega "Gue akan cari tau semua Gis" ucapnya dalam hati.
***
Giselle merebahkan tubuh kecilnya di kasur. Mengusir semua penat yang bersarang ditubuhnya hari ini. Sebelum memejamkan mata ia kembali menatap langit-langit kamar dan berharap besok bisa lebih baik dari hari ini.
"Naya.. Naya hati-hati nanti jatuh.." Teriak Giselle yang khawatir saat Naya memanjat pohon Mangga di depannya.
"Iya Cel.. ini Naya hampir selesai" jawab Kanaya yang sudah mendapatkan dua buah Mangga ditangannya. Ia melempar buah itu kemudian turun dari pohon yang tidak terlalu tinggi itu.
Mereka memakan buah itu "Wah Naya ini enak banget" ucap Giselle yang sangat menyukai buah bercita rasa dominan manis itu.
"Naya mau jadi Dokter?" Tanya Giselle tiba-tiba saja. Sesekali ia menggigit Mangga ditangannya.
"Icel mau jadi dokter?" Kanaya bertanya balik. Dan dijawab anggukan semangat dari Giselle.
Obrolan itu berakhir, mereka lanjut makan Mangga yang tersisa. Melihat pipi masing-masing yang belepotan membuat tawa mereka berdua pecah. Dunia terasa begitu indah rasanya. Semenjak kepindahan Kanaya ke kota ini Giselle selalu punya teman bermain.
Giselle memejamkan matanya mengingat itu semua membuat dadanya kembali sesak. Terlebih mendengar ucapan Revan siang tadi.
***
Hallo...
Aku butuh support dari kalian semua, jangan lupa vote ya.
Mungkin beberapa typo ada di cerita ini, dan aku mohon maaf banget.
Sampai jumpa di part selanjutnya..

KAMU SEDANG MEMBACA
Best Choice
Teen FictionApakah hidup ini adalah sebuah aturan? Diatur oleh waktu atau manusia? Sama saja, tidak ada kebebasan. Terperangkap dalam sebuah jeruji keinginan orang lain itu tidak menyenangkan. Kapan 'dia' bisa menikmati indahnya angkasa.