1

6.7K 24 2
                                    

***

Kembali lagi bersama aku, Kobe Bangun Kusumo. Laki-laki yang masih suka membawa-bawa perasaan kalau sudah berhadapan dengan wanita. Katakanlah aku norak. Aku yang notabene tumbuh besar di lingkungan perkotaan syarat akan kemajuan pola berpikir, justru masih kerap berpikiran "dia milikku". Dibilang naif sih, iya. Dikata posesif, tidak salah. Disebut egois, juga tak mengapa. Toh, aku hidup dengan aturan yang kubuat sendiri.

Apa itu sopan santun?

Apa itu norma?

Apa itu budaya?

Dan apa itu harga diri?

Tidak ada. Semua itu telah lenyap bersamaan dengan timbulnya gejolak jiwaku yang semakin liar tak terkendali.

Jikalau dulu aku tiba di Desa Gentengan pada bulan Mei minggu ketiga, maka bisa dihitung aku telah berada di desa pelosok di kaki gunung selama enam bulan lamanya. Waktu memang secepat itu berlalu. Tahu-tahu sekarang sudah bulan November. Dan tinggal menghitung hari, bulan akan berganti ke Desember. Itu artinya, akhir tahun akan menjadi bulan tersibuk seperti biasa.

Tahu apa? Sudah jelas berkumpulnya keluarga besar Kakek dan Nenek, dong. Masih nanya. Bajingan.

Ngomong-ngomong, banyak hal telah kulalui di desa ini. Desa yang kukira adem ayem nan tentram sentosa, tanpa kusadari memiliki pesona lain daripada yang lain.

Orang Jawa bilang, "ORA UMUM!"

Benar, jancok. Sangat tidak umum, dan sangat tidak cocok dijadikan tempat menenangkan diri untuk mereka-mereka yang lurus prinsip hidupnya. Singkatnya, desa ini lebih cocok disebut desanya umat problematik.

Andai saja aku diberi banyak waktu untuk menjelaskan berbagai hal yang masih terasa aneh di benakku, niscaya ceritaku ini bisa jadi acuan jurnal untuk mbak-mbak yang ingin menggarap skripsi.

Ambil saja sebuah contoh judul "Analisis Tentang Kebiasaan Wanita Desa Gentengan Menjalin Hubungan Tanpa Izin Suami Terhadap Kesehatan Mental Laki-Laki Bau Kencur".

Simpulkan saja sendiri dari judul di atas bagaimana garis besar kehidupan paling bebas di desa yang jauh lebih gila dibanding kehidupan di kota. Jadi, tak mengherankan ada sebuah ungkapan "aku hamil karena kecelakaan" itu tak sepenuhnya salah. Sebab, kecelakaan yang dimaksud, terutama untuk para wanita-wanita Desa Gentengan, itu salah mereka sendiri yang berkeliaran ke sana-ke mari tanpa berusaha menutupi lekuk tubuh bahenol mereka. Survey membuktikan, sembilan dan sepuluh wanita desa ini hampir mustahil memakai celana dalam dibalik kain jarik yang membelit pinggang hingga betis. Mudah saja bagi para pejantan yang birahi memasukkan burungnya ke dalam sangkar. Ya, begitulah. Anggap saja kecelakaan. Karena setelahnya, semua terkesan biasa saja. Selama sama-sama menginginkan, persetubuhan tanpa status bisa dilakukan di mana pun mereka mau.

Tapi, sebelum aku mengajak kalian memasuki panggung drama abal-abal, terlebih dahulu aku ingin memperkenalkan demografi dan seluk beluk desa tempat aku tergabung ke dalam Sekar Cibareng alias Sekte Pendekar Pecinta Bawok Ireng.

Langsung saja ...

"Oi, Kapten Celeng."

Tak ada angin, tak ada air, api dan tanah pun jauh dari tempatku duduk. Tiba-tiba ada seonggok daging berwujud kontol yang bersamayam di antara selangkanganku bersuara dengan nada ceria. Makhluk ini gundal-gandul dibantu dua bijinya yang besar dan berbulu. Kalau ada yang belum kenal, ini namanya Palu Gatot. Ia makhluk paling cerewet yang hampir setiap hari menganggu hari-hariku.

Entah apa lagi yang diinginkan si Palu Gatot kali ini, yang jelas aku tak tahu. Makhluk ini sukar ditebak jalan otaknya. Maunya mandi di dalam gua kenikmatan terus, tapi tak pernah mau memberiku kesempatan bersantai.

Nadisolasi 21+ [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang