Ini Chapter 48

47 3 2
                                    

Bayi perempuan yang diberi nama Latisyah Amira itu dimakamkan di salah satu tempat pemakaman umum di kampung tempat tinggal nenek dan kakeknya.

Kesedihan mencekam saat pemakamannya. Ibu-ibu yang hadir dan menyaksikan prosesi pemakaman itu bersedih hati dan beberapa di antaranya sampai menitikkan air mata, tahu bahwa kehilangan seorang anak yang sangat dikasihi akan menimbulkan duka yang mendalam terutama bagi sang ibu, mereka mengasihani Ajeng. Dan begitu melihat Ajeng yang tidak menangis atau menunjukkan ekspresi sedih lainnya, mereka kian iba pada Ajeng, lagi-lagi tahu dan paham bahwa semakin diam seseorang saat dia yang dicintainya meninggal maka semakin perih luka yang ia rasakan dan biasanya akan butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkannya.

Namun sesedih apapun dan seingin apapun mereka untuk menenangkan atau memberi semangat pada Ajeng, ujung-ujungnya mereka semua harus pergi dari pemakaman dan menyisakan Ajeng bersama kedua orangtuanya di samping kuburan baru itu.

"Ajeng, kita pulang yuk, nak," kata Retno ketika matahari kian condong ke barat.

"Sebentar lagi bu, kalau ibu sama bapak mau pulang duluan, gak papa kok." Tidak mungkin Retno melakukan hal itu, hatinya tak akan tega membayangkan putri semata wayangnya sendirian di kuburan ini. "Ajeng janji gak bakal ngelakuin hal yang aneh."

Retno paham arti ucapan Ajeng, namun tetap saja dia tidak bisa meninggalkannya sendiri. Maka dia pun memutuskan untuk duduk di sebuah batu besar berdampingan dengan suaminya, sambil memperhatikan Ajeng.

"Ibu yakin gak mau pulang saja? Ibu capek toh dari Jakarta terus sibuk ngurus ini itu?" tanya Rama khawatir.

"Nggak ah, pak, istirahat bisa nanti, sekarang ibu mau nemenin Ajeng terus, bapak tahu sendiri kan gimana Ajeng hadapin banyak masalah di Jakarta sendirian? Ibu ngerasa bersalah pak dan gak mau Ajeng sendirian lagi."

"Jangan menyalahkan diri sendiri bu, Ajeng pasti tidak suka dengar ibu ngomong seperti itu," kata Rama yang lantas merangkul bahu istrinya. "Semua sudah berlalu bu, itu sudah jadi takdir Ajeng. Yang terpenting sekarang Ajeng ada di sini sama kita. Kita bisa merawat Ajeng seperti dulu sebelum dia menikah dan di saat yang sama membantunya untuk perlahan-lahan sembuh dari traumanya. Ya toh?"

"Bapak benar, tapi walaupun begitu, ibu tetap kasihan pak sama anak kita itu. Dia masih muda, tapi hidupnya sudah dipenuhi banyak kesulitan."

Rama pun merasakan hal yang sama. Terlebih karena dia adalah ayah Ajeng yang demi apapun, sangat ingin menghancurkan dunia dan seisinya melihat putrinya terluka dengan teramat sangat. Namun Rama masih sadar bahwa walaupun dirinya melampiaskan kemarahannya dengan cara terburuk sekalipun, luka Ajeng akan sulit terobati. Apa yang paling mungkin Rama dapat lakukan sekarang adalah menghiburnya dengan harapan, Ajeng akan bisa melupakan kesedihannya sedikit demi sedikit, walaupun hal itu adalah mustahil adanya.

Dan apa yang Retno juga Rama tidak ketahui adalah, Ajeng tidak hanya banyak mengalami hal buruk, tapi juga telah kehilangan impian-impiannya. Menjadi pelukis handal, menjadi seorang istri, dan menjadi ibu. Adakah yang tersisa untuk Ajeng saat ini? Menurutnya tidak ada. Dan hal itu membuat tekadnya untuk menyusul putrinya ke surga, semakin kuat.

Beberapa hari kemudian, Retno menemukan Ajeng tergeletak di kamarnya dengan pergelangan tangan yang berlumuran darah, tak jauh darinya terdapat sebuah pisau cutter yang pastilah dijadikan Ajeng sebagai alat untuk mengiris nadinya sendiri. Beruntung, Retno dan Rama bergerak cepat dan segera membawa Ajeng ke puskesmas sehingga ia pun dapat diselamatkan.

Namun bukan itu yang Ajeng harapkan, dia ingin mati dan merasa tidak seharusnya dia diselamatkan. Saat itu, dia menyalahkan dokter dan orang tuanya karena menganggap mereka telah menghalanginya untuk bertemu dengan putrinya sendiri, setelah itu Ajeng mulai meraung-raung, memberontak dan ingin menghancurkan segala hal yang mau tak mau membuat dokter akhirnya menyuntikkan obat penenang untuknya. Lagi.

Percobaan bunuh diri itu tidak terjadi hanya sekali, setiap kali Ajeng mendapatkan kesempatan maka dia tidak menyia-nyiakannya dan langsung memanfaatkannya untuk bisa mengakhiri hidupnya sendiri. Itulah mengapa, pisau, benda-benda tajam, kain panjang, tali, dan tempat yang tinggi, Ajeng dijauhkan dari hal-hal tersebut. Dan yang paling penting, adalah Ajeng dilarang untuk berada di dalam sebuah ruangan sendirian ataupun berpergian. Seseorang harus membersamainya, agar ketika dia hendak melakukan sesuatu yang dapat melukai dirinya sendiri, maka orang itu dapat mencegahnya. Dan siapakah orang itu, ialah Rama dan Retno. Sebagai orang tua, mereka bergantian menjaga Ajeng, tak peduli siang atau malam, mereka terus memastikan bahwa Ajeng berada di sisi mereka dan baik-baik saja.

Hal itu berlangsung sampai tiga minggu lamanya. Dan di minggu keempat, saat itu, Rama sedang ke sawah untuk mengurusi padinya. Tinggallah Retno dan Ajeng di rumah. Retno mengajak Ajeng untuk keluar dari kamarnya setelah berhari-hari anak gadisnya itu hanya mengurung diri di dalam sana. Ajeng, Retno suruh untuk duduk di sofa yang berada di ruang keluarga sembari menonton televisi. Tapi alih-alih menonton televisi, Ajeng malah merebahkan tubuhnya di sofa itu dan memejamkan matanya. Retno tidak protes, dia membiarkan Ajeng seperti itu, sementara dirinya menjahit beberapa pakaian yang bolong, sedangkan di hadapan mereka, televisi menyala tanpa sesiapapun di antara mereka menaruh perhatian terhadapnya, setidaknya sampai sebuah berita muncul.

"Kepolisian telah berhasil menangkap komplotan pengedar narkoba di daerah Jakarta Barat yang ternyata masih berstatus mahasiswa. Tiga orang pelaku yang berinisial G, B, dan A diamankan setelah salah satu di antara pelaku melakukan pengantaran paket kepada seorang tersangka yang telah lebih dulu di amankan polisi sehari sebelumnya. Dalam penangkapan ini, polisi menyita barang bukti berupa sabu-sabu sebanyak 10 Gram.

Kasus ini mendapat perhatian lebih dikarenakan ketiga pelakunya tengah mengemban pendidikan di universitas yang sama. Menurut pernyataan salah satu pelaku, A, dia tengah terlilit hutang yang banyak sehingga membutuhkan uang, istrinya juga sedang mengandung saat itu sehingga dia membutuhkan banyak uang untuk biaya melahirkan dan kebutuhan anak mereka ketika lahir dan kemudian B menawarinya pekerjaan sebagai pengantar paket sabu-sabu. Ketika dimintai keterangan, para pelaku, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada orang-orang yang telah mereka rugikan. Terutama kepada keluarga masing-masing.

Penangkapan ini berhasil dilakukan ketika...."

Layar televisi mati namun berita itu belum selesai gara-gara Ajeng melempari layar televisi dengan remot hingga retak dan tidak bisa beroperasi lagi. Retno terkejut bukan main, tapi tidak bisa mengatakan apapun. Wanita itu hanya menatap Ajeng sesaat lalu menatap televisi sekali lagi untuk memastikan sesuatu namun karena televisi sudah tidak lagi berfungsi, Retno tahu hal itu sia-sia. Jika ingin memastikan apakah prasangkanya benar atau setelah menonton berita itu maka dia harus bertanya pada Ajeng.

Namun, Ajeng, dia sudah lebih menangis keras dan yang Retno tahu, jika Ajeng sudah seperti itu, maka tidak akan ada lagi yang bisa menghentikannya selain obat penenang atau sampai dia kelelahan sendiri. Hal lain yang Retno ketahui adalah bahwa kini jawaban dari pertanyaannya sudah jelas. Benar, bahwa berita tentang lelaki berinisial A yang ditangkap karena mengedarkan narkoba di televisi itu adalah Alan, menantunya.

Retno langsung menghampiri Ajeng dan memeluknya, tapi Retno tak menenangkannya. Retno malah ikut menangis bersama Ajeng, Retno menangis mengasihani nasib sial yang putrinya harus miliki.

>>>>
Semoga apa yang dialami Ajeng, tidak akan dialami oleh perempuan lain di dunia nyata😭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu bilang, kamu cinta sama akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang