Once upon a time, I loved Kadewa. Hanya berani memendamnya tanpa sedikit pun mengungkapkannya. Tersenyum saat melihatnya tertawa. Khawatir saat melihatnya terjatuh.
Once upon a time, pusat gravitasiku adalah Kadewa. Selalu mencari-cari kesempatan un...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HIDUP kalau nggak nyesek, ya tragedi. Sesering apa pun aku meminta genre komedi pada Yang Maha Kuasa, jatah yang aku dapat lebih banyak tragedi.
VIRAL: KLARIFIKASI PACAR HARI RABU, KAMI PUTUS
Fathan: Yaya, pemilik akun udah takedown video viral yang bawa-bawa nama Classica. Dia juga bikin klarifikasi. Tapi, muncul narasi kalau Classica berpihak ke si cowok makanya desak si cewek bikin klarifikasi.
Jiva: Ibu, tagar #ClassicaDukungPerselingkuhan trending. Tim PR kewalahan. Mohoninstruksi.
Aku membaca satu per satu pesan yang masuk. Rapat berlangsung dari pukul tujuh pagi hingga satu siang. Disambung mengecek laporan, energiku terkuras habis-habisan.
Gue bakal bilangin cewek gue supaya nggak bawa-bawa nama Classica lagi.
Pukul empat sore, aku tergeletak lemas di sofa. Kata-kata Kadewa tempo hari menamparku kembali ke dunia nyata.
Bagaimana bisa aku sepolos ini? Mengira tawaran tersebut merupakan wujud solusi baik hati. Nggak tahunya malah kepusingan dosis tinggi.
"Kayaknya gue kena kutukan. Apa pun yang Kadewa lakuin ujungnya nyusahin gue," erangku.
Seingatku, aku hanya minta Kadewa menasihati pacarnya supaya berhenti menyangkut-pautkan Classica dalam pusaran hubungan mereka. Tebak apa yang Kadewa lakukan? Si tuyul memutuskan hubungan dengan pacarnya!
Biarpun itu hak Kadewa, tapi jangan begini juga momennya! Demi Tuhan, sekarang pihak Classica dituding sebagai represor. Menyala ubun-ubunku.
+6282311877XXX: Zaviya, bukapintu.
"Panjang umur banget lo. Gue lagi pengin nyekik, target langsung muncul."
Aku melempar bantal sofa ketika hasrat menempeleng seseorang meroket. Mari berharap Kadewa punya nyawa sepuluh. Beraninya dia menampakkan diri usai membanting ekspektasiku ke dasar bumi.
"Punya roti, Zaviya?"
Sosok laki-laki dengan rambut basah efek peluh, muncul begitu pintu apartemen terbuka. Kadewa bersedekap. Ekspresinya lempeng tanpa dosa.
"Nggak punya." Aku menahan umpatan. "Gue punyanya tinju, Kadewa. Mending sekarang lo pilih, pengin lindungin muka atau masa depan?"
"Hm, sekarang Sabtu loh, Ya. Sabtu." Mata laki-laki itu mengedip. Tampaknya dia baru saja dari luar. Terlihat dari jaket hitam dan celana bahan yang belum diganti. "Gue laper. Temenin cari makan, yuk. Juteknya disimpen buat Senin aja."
Andai mengamuk semudah mengirim emot pisau, pasti laki-laki ini sudah terbujur kaku di hadapanku. Garis bawahi dengan organ tak utuh.
Aku menarik napas dalam. Agak menyesal rasanya membukakan pintu. Keputusan gencatan senjata yang kami sepakati berbalik menjadi bumerang untukku.