08

1.7K 111 2
                                    

...

"Besok aku akan pergi ke Iksan," kata Jihoon dengan suara tenang, sambil duduk di kursi ruang keluarga yang terlihat nyaman, mencuri perhatian kakaknya yang sedang duduk di dekat meja makan, tampak sedikit cemas.

"Untuk apa, Jihoon?" tanya sang kakak, Rose, dengan raut wajah khawatir. Dia menatap Jihoon dengan tatapan penuh perhatian, khawatir karena belum lama ini Jihoon sering sibuk dengan pekerjaannya.

"Ada pekerjaan yang harus aku tangani di sana, jadi mau tak mau aku harus pergi," jawab Jihoon sambil melemparkan senyuman kecil, berusaha menenangkan kakaknya. Ia tahu betul bahwa Rose selalu merasa khawatir jika dia harus bepergian jauh.

"Berapa lama kamu di sana?" tanya Rose lagi, semakin merasa gelisah. Ia sudah terbiasa dengan kepergian Jihoon yang sering kali tiba-tiba, tetapi entah kenapa, kali ini rasanya lebih berat.

"Mungkin dua minggu, atau bahkan bisa lebih," jawab Jihoon, sesekali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, melanjutkan dengan senyum lemah yang ia berikan kepada kakaknya. Ia tahu betul betapa khawatirnya Rose terhadap dirinya, bahkan jika ia sudah dewasa dan mandiri. Kepergiannya kali ini benar-benar terasa berbeda bagi Rose.

Rose terdiam sejenak, menatap Jihoon dengan mata yang penuh kekhawatiran. Meskipun Jihoon sudah dewasa dan mandiri, masih ada perasaan seperti seorang adik kecil di mata Rose. Kepergian Jihoon jauh, terutama tanpa pendampingan, membuatnya merasa cemas dan tidak tenang. Ia takut masalah yang lalu terulang kembali, ia tak mau kehilangan Jihoon untuk kedua kalinya.

"Tidak perlu khawatir, aku akan menjaga diriku dengan baik," ucap Jihoon, seolah bisa membaca pikiran kakaknya yang mulai khawatir. "Aku janji akan hati-hati."

"Baiklah, tapi kamu harus terus mengabari kakak!" kata Rose dengan tegas, meskipun masih terlihat cemas. Ia tidak bisa menutupi rasa khawatir yang memenuhi hatinya.

"Iya, kak. Akan aku kabari setiap saat," jawab Jihoon, berusaha meyakinkan Rose bahwa dia baik-baik saja dan akan selalu memberi kabar.

Setelah percakapan singkat itu, Jihoon melangkah ke kamarnya untuk merapikan barang-barangnya yang akan dibawa. Rose pun ikut membantu meskipun ia tetap merasa khawatir tentang kepergian Jihoon yang mendadak. Saat tengah berbenah, tiba-tiba suara anak kecil terdengar dari arah pintu kamar.

"Bunda, aku mau ice cream!" teriak suara Rami, keponakan Jihoon yang sedang berdiri di balik pintu dengan wajah yang menggemaskan, tampak menggebu-gebu ingin meminta sesuatu.

Keduanya menoleh ke arah pintu, dan melihat Rami yang tengah menggeliat di balik pintu, wajahnya dipenuhi ekspresi lucu.

"Sebentar ya, sayang. Bunda lagi bantu beresin barangnya Om Jihoon dulu," jawab Rose dengan sabar, meskipun hatinya masih terperangah dengan perasaan cemas yang menghantui.

Rami melangkah masuk ke dalam kamar dan bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, "Om Jihoon mau ke mana? Kenapa bawa koper itu?"

Jihoon menunduk, tersenyum sambil berjalan menghampiri Rami yang tampak penasaran. Dengan lembut, ia menggendong Rami, memastikan agar anak kecil itu merasa nyaman di tangannya. "Om mau kerja, sayang," jawab Jihoon lembut, mencoba menjelaskan alasan kepergiannya dengan cara yang bisa dimengerti oleh Rami.

"Kerja di mana? Terus kerja lama nggak? Nanti nggak bisa main sama Rami lagi dong?" tanya Rami dengan mata penuh keingintahuan, menatap Jihoon dengan tatapan polos yang penuh keraguan.

Jihoon mengangkat Rami lebih tinggi ke dalam gendongannya dan menciumnya dengan lembut di keningnya. "Jangan cemberut dong, nanti cantiknya hilang," ujarnya sambil tersenyum dengan penuh kasih sayang. "Rami mau apa? Nanti om beliin deh."

[2] Papa - hoonsuk✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang