Sembilan

77 59 3
                                    





Rinjani sudah mandi dan berganti pakaian. Rinjani berdiri didepan cermin, memperhatikan penampilannya saat ini. tubuhnya terbalut oleh dress ber motif bunga bunga se lutut berwarna putih tulang. sungguh cantik dan anggun. dress yang Rinjani kenakan, merupakan pemberian dari sang Bunda raden. katanya, ini dress Bunda saat dirinya masih gadis. rambutnya ia biarkan tergerai, memberikan kesan anggun.

"Jan?" Panggil seseorang dibalik pintu, membuat Rinjani mengalihkan pandanganya ke sumber suara.

"Gue boleh masuk ngga?"

"Buka aja den, ngga gue kunci."

Ceklek...

Pintu terbuka, menampilkan Raden yang terbalut oleh kaos hitam dan celana pendek berwarna serupa. Raden nampak diam ditempatnya, melihat penampilan Rinjani yang berada didepannya.

"Cantik sekali," Ujar Raden disertai dengan senyum tulusnya.

Rinjani tersipu, kemudian terkekeh. pipinya berwarna merah, seperti tomat.

"Iya, dress Bunda cantik. gue juga suka."

"Yang make juga cantik."

"Apasih?" Rinjani menahan senyumnya, merasa salah tingkah.

Raden mendekat, kemudian mengacak rambut Rinjani. "Pulangnya besok aja ya?"

"Loh?"

"Main sama Saka, jalan jalan gitu,"

"Pengennya sih gitu, cuman hari ini gue ada something.  lagian, gaenak juga disini lama lama..."

"Gapapa loh padahal. emang ada urusan apa?"

Rinjani terdiam, nampak berfikir sejenak. "Mama..."

"Mau ketemu Mama?" Tanya Raden memastikan.

Rinjani mengangguk, ekspresi wajahnya nampak sedikit murung. Raden mendekat, kemudian mengacak rambut Rinjani pelan. "Kok sedih si mau ketemu Mama?"

Rinjani menghela nafasnya panjang. "Mama kalo ketemu gue tu, selalu nyuruh gue ikut sama dia. padahal baru tahun ini gue pindah ke Jakarta."

"Khawatir dia sama lo, takut anaknya kenapa napa, maklum orang tua." Ujar Raden tersenyum tipis.

Rinjani mendudukkan dirinya ditepi kasur, lalu kembali menghela nafasnya panjang. "Harusnya, gue ga boleh benci sama Mama, orang yang harus gue benci adalah Papa. tapi, gatau kenapa, setelah mereka pisah rasanya gue gamau pilih kasih mau ikut Mama atau Papa. makannya gue lebih milih ikut beasiswa di US, terus gue pindah kesini karena pengen cari suasana baru."

Raden memperhatikan ekspresi murung Rinjani, Raden berjongkok dihadapan Rinjani. memegang pergelangan tangannya, memberikan kehangatan. "Mau gimana pun, mereka orang tua lo Jan. yang udah ngelahirin lo, gue gatau juga seberapa kecewa nya lo sama semua ini. tapi, gue harap lo jangan sampe naroh kebencian sama orang yang berjasa sama hidup lo."

Rinjani tersenyum kecut, air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. "Gue itu capek, gue capek hidup sendiri kaya gini Den... gue pengen punya orang tua yang selalu ngasih suport sama anaknya, selalu ada pas anaknya butuh, selalu meluk gue kalo gue lagi capek. gue iri, liat temen-temen gue hidup seneng, harmonis sama keluarganya. kadang, gue bener bener gada tujuan hidup. biasanya, anak bakal mengusahakan yang terbaik buat orang tuanya, sedangkan gue mau ngusahain buat siapa? orang tua gue udah pisah, hidup masing-masing. dari dulu gue berusaha jadi anak pinter, biar diapresiasi, sampe segede ini pun apapun hasil yang gue dapet, gaperna sekalipun mereka apresiasi. jadi, buat apa gue hidup sejauh ini kalo gue gapunya tujuan?" Air mata Rinjani satu persatu terjatuh, semakin lama semakin deras. punggung Rinjani pun nampak bergetar.

About usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang