2

735 157 5
                                        

Pertama kali aku berjumpa Tasya itu karena kebetulan belaka. Persis peringatan yang ditulis pada awal film, sinetron, maupun buku fiksi. “Bila ada kesamaan nama tokoh, tempat, atau peristiwa maka itu murni kebetulan belaka.” Semudah itu. Tidak ada yang istimewa.

Hahaha gombal.

Oke, aku iseng. Padahal bisa saja aku jalan-jalan di rumah sakit, bioskop, atau perpustaan. Tempat mana pun! Bebas. Namun, pada hari cerah tidak bermendung dan banyak menyumbangkan vitamin D, aku memilih jalan-jalan ke rumah orang kaya.

Siapa tahu, ‘kan, aku bisa bertemu artis? Sekalian mengorek skandal yang bisa kubagikan ke kuntilanak. Setan juga tidak keberatan melakukan aktivitas rumpi. Selain menyehatkan jiwa secara sepihak (karena oknum yang menjadi bahan gibahan jelas rugi), kami bisa mengenang betapa tidak enak jadi manusia.

Maksudku, sih, begitu. Namun, apa daya. Huh! Tidak ada artis. Justru aku bertemu dengan sesosok bocah cilik supermenyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan, ya? Orang waras pasti teriak dan lari atau menonjok hantunya. Namun, Tasya tidak begitu!

“Gyaaaaaa!”

“Mbak Kun, mau main sama Tasya?”

Aku sudah menirukan jurus menakuti manusia. Lebarkan tangan, pamer gigi, dan berteriak dengan suara melengking. Jurus itu tidak berlaku bagi Tasya. Alih-alih kabur, dia justru mengajakku main.

Tahu begitu tidak perlu mampir. Lebih baik aku ikut perkumpulan kunti jomlo. Setidaknya di sana kami bisa saling bertukar pengalaman menarik terkait ke-jomlo-an.

Sebenarnya ada masalah hidup seberat apa, sih?

Mengapa Tasya bisa melihatku, tapi tidak bisa melihat lelembut lainnya?

Apa eksistensiku sebagai kunti gaul perlu dipertanyakan?

Ahahaha ... ha.

Yang benar saja dong!

***

Di luar turun hujan deras. Serpihan air menampar dedaunan dan menciptakan suara aneh di jendela. Kulihat ranting pohon bergoyang tertiup angin. Suasana yang amat pantas menggambarkan film horor. Kalau tidak keberatan pakai setan sungguhan. Barangkali aku bisa mengajukan diri, eh?

“Mbak Kun, kapan mampir ke sini lagi?”

Berhubung Tasya kerdil dan tidak mungkin bisa menyalakan lampu, aku pun membantu memberi penerangan. Tentu saja aku tidak menyala, menyala, menyala seperti kunang-kunang. Ada teknologi bernama lampu. Oke, aku sedang ngibul. Tidak perlu dimasukkan ke dalam hati, ya.

Kini Tasya duduk bersila di atas karpet bulu berbentuk bundar. Ada boneka kelinci putih dan beberapa boneka hewan lucu tergeletak di sekitar Tasya. Saat dia tidak bersikap aneh, harus kuakui wajahnya manis sekali.

“Nggak janji,” sahutku sembari duduk di atas lemari. Posisi terenak dan ternyaman.

Di atas lemari aku bisa mengamati apa pun. Inilah salah satu alasan setan hobi duduk di atas lemari, bukan ranjang. Untung Tasya tidak menempatkan koper maupun kardus di atas lemari. Bisa-bisa aku kehilangan tempat nongkrong.

“Kenapa Mbak Kun nggak mau bantu?”

“Ya kali kamu nyuruh aku gentayangan.”

“Mbak Kun, kan, setan!”

“Aku setan mageran. Aslinya nggak suka ngintilin orang. Kamu pikir semua kuntilanak hobi nempelin orang, huh? Nggak deh. Kami cuma suka mengamati.”

Dulu aku pernah menangkap basah maling yang hendak mencuri burung kesayangan Pak RT. Berhubung aku setan baik dan bijaksana, kuhantui saja si maling sampai terkencing-kencing. Alhasil si maling batal melaksanakan aksinya. Dia kabur dan berteriak, “Tolooooooooong!” Tidak sadar celana sudah basah dan bau pesing. Aku memang keren, sih. Tidak tertolong kerennya. Luar biasa.

“Aku nggak suka Tante Genit,” rengek Tasya sembari meremas telinga boneka kelinci. “Dia nggak baik.”

“Tasya, masa aku yang harus turun tangan? Bisa-bisa nanti kuntilanak lain melabeliku sebagai si genit.”

“Papaku gimana? Apa Mbak Kun nggak naksir? Papaku, kan, ganteng.”

“Beda dunia, Sayang,” sekali lagi kuperingatkan Tasya. “Dalam cinta maunya aku yang dikejar cowok keren, bukan mengejar. Soalnya capek.”

Tasya bangkit. Kupikir dia hendak melaksanakan jurus tantrum seperti biasa. Ternyata dia kabur.

“Dih bocah. Sensitif sekali Anda.”

Karena merasa tidak enak hati, kuikuti saja dia. Melayang meninggalkan lemari, menembus dinding, dan cukup mudah bagiku menemukan Tasya yang masuk ke salah satu kamar.

“Hihihi anak kecil kalau ngamuk nggak ada serunya.”

Soalnya kalau ada anak kecil kurang ajar, pasti akan kuhantui mereka. Aku, kan, tidak terikat hukum milik manusia.

Aku pun menembus dinding. Tepatnya, setengah tubuhku ada di luar ruangan. Terlalu malas masuk ke kamar cowok. Maksudku, kamar si Danu. Omnya Tasya.

Kuberi tahu, ya. Danu wajahnya saja yang seperti orang benar. Dia mirip dengan pemeran utama di film AADC. Cuma sebatas mirip saja. Sisanya, barangkali masuk cicilan. Belum lunas.

“Om Danu, mau bantuin Tasya, enggak?”

Tasya memeluk kaki Danu. Pria itu mengenakan celana jins dan kaus hitam. Saat melihat Tasya, dia selalu tersenyum. Jelas bagi siapa pun Tasya itu menarik dan manis. Minus kreativitasnya. Serius. Aku tidak bercanda.

Danu berjongkok, membelai kepala Tasya. “Bantuin apa, Sayang?”

“Bantu cari paku emas.”

Sejenak Danu seolah kehilangan kata-kata. Detik berikutnya dia berdeham. “Memangnya kamu butuh paku emas buat apa?”

“Mau aku tanam ke kepala Mbak Kun biar jadi manusia,” celoteh Tasya dengan suara menggemaskan.

“...”

Danu diam.

Aku diam.

Kami berdua kehilangan kemampuan berbahasa dengan baik dan benar.

“Siapa yang ngajarin, Tasya?”

“Kata Mbok depan rumah,” jelas Tasya sembari berkedip genit, “hantu bisa jadi manusia kalau kepalanya ditanam paku emas.”

Hell no! Itu hanya berlaku dalam film saja! Lalu, yang bisa jadi manusia bila kepala ditanami paku emas itu sepertinya sundel bolong deh. Sejak kapan kuntilanak bisa berubah jadi manusia dengan cara serupa?

Sembarangan! Aku tidak akan tinggal diam! Disuntik saja aku ogah, apalagi kepalaku yang indah jelita bagai peri ini mau ditusuk pakai paku.

Tuh, ‘kan! Apa kubilang? Kreativitas milik Tasya di luar nalar. Bisa-bisanya dia merencakan tindakan kriminal. Kepadaku? Aku sahabatnya. Best friend! Sungguh durjana menginginkanku kena paku. Hantu tidak punya BPJS ataupun asuransi kesehatan. Kalau sakit aku harus minta rujukan kepada siapa?

“Tasya, aku nggak bisa jadi manusia dengan cara semacam itu!” erangku dengan nada pilu. “Mana bisa?!”

Berbeda denganku yang ingin menangis pilu, Danu justru memperlihatkan ekspresi tidak menyenangkan. Dahi berkerut, bibir bergetar, dan sejenak dia tengok kanan lalu kiri. Awas saja tengok kiri jalan terus.

“Tasya, kamu habis nonton film seram, ya? Om Danu nggak suka nonton horor.”

“Mbak Kun nggak seram kok.”

Sumpah. Bila mataku tidak salah lihat, sepertinya Danu gemetar. “Ha ... ha. Tasya, kamu punya sahabat khayalan? Kenapa namanya Mbak Kun, sih? Eh, bagaimana kalau Om temani nonton kartun?”

Tasya untungnya tidak menolak. Dia langsung menyambut ide Danu nonton kartun sepuasnya. Nah untuk yang satu itu aku harus ikut dooooong.

Nonton kartun.

Aku mau nonton kartun!

***
Selesai ditulis pada 1 Juni 2024.

***
Tralalalalalalala senang sekali bisa update episode terbaru.

Terima kasih telah mampir menengok Tasya.

Love.

Tasya dan Miss Kunti (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang