Kamu terlihat anggun dengan gaun pengantin itu.
Tentunya, kamu tak ingin seorang bermulut kotor merusak jahitannya kan?
Tentunya seorang berlumut dosa tak bisa menghampiri kainnya yang suci kan? Setidaknya saat itu.
Jangan menangis. Engkau bahagia. Hari-harimu, hari-hariku juga.
Lalu di hari itu, kamu mengucapkan salam lewat matamu. Riasanmu manis juga, ya.
Jemarimu erat menggenggamnya. Aku masih ingat, saat itu ayunannya lemah. Seperti tak ingin. Namun, barangkali hanya anganku saja. Ah.
Caramu berjalan sangat berbeda. Engkau sudah tumbuh dewasa. Aku tersenyum.
Semoga kamu tak acuh lagi; angin sangat mencintaimu.
Tentunya seorang yang saat ini hanya berangan, tak bisa memilikimu. Sungguh. Itu pasti.
Sekali lagi, aku melihat dirimu melambaikan tangan. Tanda berpisah. Kemudian akan bertemu lagi di perjamuan terakhir. Sepertinya.
Tentunya dirimu sudah tak ingat lagi sosok itu kan?
Sosok yang sangat cengeng mendambakanmu. Sosok yang selalu gelisah sehingga membuatmu berjarak. Sosok yang ringkih. Pecundang. Kamu harus melupakannya. Sosok itu, lemah. Ia bukan laki-laki.
Ini memalukan. Aku harap, aku bisa. Menyentuhmu. Lagi.
Tentunya rasanya akan beda bukan?
Aku berterimakasih lagi dan meminta maaf lagi. Setiap kita berada, kita tak bisa menyatu. Minyak dan air.
Aku tak bisa bicara; begitu juga engkau. Kita semakin tak paham. Apa yang ada di lubuk terdalam. Siapa yang membuat kita seperti ini? Entah.
Sudahi ini segera. Sehingga aku tak berangan. Mungkin.
YOU ARE READING
Abstraksi Remaja 5
PoetryAku berharap suatu lembaran baru dalam cercah-cercah puisi ku.