BAGIAN 3

67 15 14
                                    

BAB 3

PERGI DIAM-DIAM

"Bergerak memang membuatmu lelah, tapi bergerak bisa membuatmu jauh lebih hidup."

Sejak mengerti banyak hal tentang hidup, Karsa pada akhirnya tahu bahwa sang kakek melarang semua anggota keluar melewati Jembatan Mati. Bapak dan Ibu Karsa menurut. Dasep, adik mamanya Karsa, awalnya juga menuruti larangan itu. Namun entah kenapa, pada suatu hari, Dasep nekat melewati jembatan bekas rel kereta api itu setelah pulang bekerja. Tepat kali pertama Mang Dasep ke sana, pada saat itu juga hal buruk terjadi hingga membuat nyawa Dasep melayang.

Sejak kejadian itu, Zainudin semakin keras melarang. Bahkan memberikan kalung yang katanya sudah dijampi-jampi. Karsa menurut saja. Pada saat itu, dia tidak begitu paham dengan jimat atau jampi-jampi. Yang jelas, dia menerima benda itu supaya kakeknya tidak lagi khawatir. Tinggal nurut, beres.

Pada saat usianya 13 tahun, Karsa pernah satu kali datang ke Jembatan Mati secara diam-diam bersama teman-temannya. Dia duduk di pinggir rel dan menikmati pemandangan Gunung Cikuray dari jauh. Tidak ada apa-apa. Karsa juga tidak menemukan suatu keanehan. Mungkin kalungnya berfungsi dengan baik, pikirnya pada saat itu. Sayangnya, Zainudin tahu kelakuan Karsa karena ada tetangga yang mengadu. Karsa dimarahi bahkan membuat kakeknya marah berkepanjangan. Sejak saat itulah, Karsa tidak pernah lagi datang ke jembatan.

Detik ini, tepat di usianya yang ke-16 tahun, Karsa justru kembali didatangi rasa penasaran yang amat besar. Terutama karena dia juga mulai sadar bahwa citra buruk jembatan itu sudah membaik. Menurut informasi, banyak orang yang bolak-balik lewat sana. Bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak SMP sampai SMA. Sejauh ini, tidak ada informasi mencengangkan soal jembatan. Hal itu membuat Karsa kembali bertanya-tanya, emangnya jembatan itu sebahaya yang dikatakan Kakek?

Coba aja datang lagi ke sana. Buktikan sendiri! Hati kecil Karsa berbisik pelan.

Karsa menelan ludah. Dulu, dia berjanji untuk tidak datang ke Jembatan Mati. Namun saat ini, dia meminta maaf di dalam hati kepada sang kakek. Sebab untuk kedua kali, dirinya akan melanggar janji tersebut.

***

"Karsa seneng pisan, Ma. Temen-temen juga pada baik. Karsa bersyukur bisa sekolah di salah satu SMA favorit." Karsa menjelaskan panjang lebar. Meski dia sedang berbicara lewat sambungan telepon, kakinya tetap melangkah, menyusuri jalan setapak yang pinggir-pinggirnya ditumbuhi rumput tinggi. "Doakan terus ya, Ma?"

"Iya, Mama dan Bapak selalu mendoakan yang terbaik. Oh iya, Kar. Untuk uang, Mama baru bisa kirim besok. Nggak apa-apa kan? Nanti tolong ambil, kemudian belikan beras dan lauk setelah pulang sekolah biar kamu sama Kakek bisa makan. Sisanya simpan untuk bekal sekolah."

"Siap, Ma!" Karsa menjawab antusias. "Kebetulan, beras di rumah juga sudah mau habis."

Obrolan ringan antara anak dan ibu terus mengalir sepanjang jalan. Obrolan itu baru diakhiri setelah Karsa sadar dia sudah sampai di depan jembatan yang membentang. Jembatan yang meski jaraknya hanya sekitar 500 meter dari kampungnya, tetapi baru sekali dia injak. Akan menjadi dua kali kalau Karsa benar-benar maju sekarang.

Lelaki itu menarik napas panjang. Ucapan-ucapan kakek seolah hidup kembali di pikiran Karsa. Larangannya. Omelannya. Kekhawatirannya. Semua terbayang nyata. Namun Karsa sudah terlampau datang. Baginya, tidak ada alasan untuk mundur.

Di mata Karsa, jembatan ini tidak berubah jauh sejak terakhir Karsa datang. Lebar jembatannya masih satu meter. Tidak ada pagar di pinggir jembatan. Selain karena mitos yang beredar, Zainudin melarang Karsa karena jembatannya mungkin memang berbahaya. Jika saja ada orang yang takut ketinggian, bisa saja orang tersebut pingsan di tengah jembatan dan mungkin ... jatuh.

Karsa jadi ingat Dasep. Apa mungkin Dasep jatuh gara-gara tidak terbiasa dengan situasi jembatan yang memang cukup menguji adrenalin? Hingga sekarang, Karsa masih ragu dengan kematian Dasep yang katanya diganggu makhluk astral.

Kini, Karsa melangkah. Kakinya bahkan sedikit bergetar. Sambil berjalan pelan, sesekali Karsa menyebar pandang. Menyaksikan pepohonan di kanan kirinya.

Beberapa menit selanjutnya, lelaki itu sudah duduk di tengah jembatan. Dia menghadap ke arah kiri, tepat berada di depan Gunung Cikuray yang menjulang tinggi.

"Indah sekali ciptaan-Mu ya Rabb," ucap Karsa. "Aku nggak nyangka ada tempat seindah ini di kampungku sendiri."

Perpaduan antara Gunung Cikuray yang berwarna biru tua dan lahan pertanian berwarna kehijauan itu terasa unik. Apalagi dipadu dengan semilir angin yang menggerakkan dedaunan, menghasilkan kesiur dari kejauhan. Perpaduan alam itu seolah melambai ke arah Karsa.

Saat Karsa sedang menikmati indahnya pemandangan, tiba-tiba muncul sekelebat wajah gadis cilik. Kelebatan itu kontan membuat Karsa menegakkan badan. Senyumnya hilang. Cuplikan kejadian demi kejadian yang ada di dalam mimpi kembali berputar. Bahkan lebih jelas.

Sebenarnya, Karsa pernah bermimpi didatangi anak kecil sehari setelah dia datang dari jembatan mati saat usianya 13 tahun. Pada saat itu, Karsa hanya menganggap mimpi tersebut sebagai bunga tidur. Namun ternyata, mimpi itu datang lagi sebulan terakhir ini. Itulah salah satu alasan kenapa Karsa juga penasaran dengan Jembatan Mati. Bagaimana mungkin, suatu mimpi bisa terulang begitu? Dan isi mimpi itu tetap sama. Tentang seorang anak kecil yang tenggelam di sungai bawah jembatan dan meminta tolong.

Kejadian demi kejadian yang tiba-tiba berputar itu membuat dada Karsa berdebar. Dia merasakan suatu energi besar yang seolah-olah menembus badannya. Kesejukan itu mendadak hilang, terganti dengan suhu panas yang langsung membuat dahinya basah keringat.

"Enggak." Karsa mengenggam erat kalung pemberian kakeknya yang sudah kembali dipakai. "Aku baik-baik aja!"

Ctar!

Suara petir membuat Karsa terperanjat. Saat mendongak ke atas langit, karsa melihat gumpalan awan hitam. Seketika, terbayang kembali keadaan alam yang menyeramkan di dalam mimpi.

"Ini cuma kebetulan!"

Karena sudah merasa tidak nyaman, Karsa berdiri buru-buru. Dia kemudian berlari dari tengah jembatan sambil berkomat-kamit, membaca surat-surat pendek yang dia pelajari di pengajian.

Seolah langit tahu jika Karsa sedang dirundung kecemasan, turunlah hujan. Badan penuh keringat itu basah kuyup oleh air hujan. Untungnya, hujan itu tetap berakhir seperti hujan pada umumnya. Tidak ada kejadian Karsa terjun ke dasar jembatan. Tidak ada kejadian tenggelam di sungai. Tidak ada pula suara anak perempuan yang berusaha meminta tolong.

***

Kira-kira, apa sih yang ada di jembatan mati itu? Apakah memang semenyeramkan itu? Menurut kalian gimana guys? Ada yang bisa menebak?

JEMBATAN MATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang