1. Its' Life?

98 3 0
                                    

Aku berjalan memasuki bangunan yang orang banyak bilang lebih mirip istana dibanding rumah. Ya, istana yang dalamnya berisi neraka. Mana ada istana yang hanya ditinggal oleh pembantu saja? sekalinya ada orang yang tinggal malah buat keributan yang memekak telinga.


Perlu diperjelas? Baiklah, let me introduce myselft and my life..


Namaku Keyzia Claudyvia Haling, kelas 11 di SMA HIS, hanya punya satu sahabat, gak punya akun sosial selain wattpad dan aku anak satu-satunya keluarga Haling, dan tak ada yang tau soal itu. Ya, Haling, siapa yang tak mengenal Lorenzo Tomo Haling? Satu-satunya pengusaha indonesia yang masuk ke tahap internasional bisnis  tambangnya. Dan kalian benar jika berpikir dia papa ku, sementara mama ku seorang ibu rumah tangga yang tak pernah ada di rumah. Aku juga tak pernah tau dia kemana, setiap kali berencana untuk membuntutinya, aku selalu gagal. Aku ingin bertanya, tapi selalu tatapan sinis yang aku dapat.


Biar ku jelaskan, aku bukan anak broken home, keluargaku utuh dengan papa dan mama yang kuceritakan tadi. Tapi ya hanya sekedar status, papa yang sibuk dan mama yang tak pernah menganggapku ada. Harusnya aku sekarang berada di posisi seperti tokoh wattpad yang antagonis karna kurang kasih sayang, contohnya Vera, dia teman sekelas ku yang menjadi ketua cheerleaders , dia suka menindas banyak orang yang menurutnya menganggu, tapi aku tak begitu tahu latar belakang yang membuatnya seperti itu.


kembali ke hidupku, papa tak pernah pulang ke rumah, mungkin hanya setahun sekali atau tiga tahun sekali. Jadilah aku mengobati rinduku dengan hanya melihat papa di stasiun televisi, karna papa sering disorot untuk seminar pengusaha sukses, namun ada yang mengganjal, setiap sang MC menanyakan masalah status papa, dia hanya tersenyum kecut, dia menutupi mama dan aku dari public, aku tak tau maksud papa tapi aku terus berpikir positif.


Papa lebih menganggap ku ada dibanding mama, selama ini yang memberikan ku uang di atm hanya papa. Dia selalu memberikan ku segalanya hingga aku berkecukupan, yang tak pernah papa beri hanya waktunya. Lain lagi dengan mama, jika kalian memiliki masa kecil yang indah, bersyukurlah. Dari kecil, mama tak pernah menemaniku, bahkan aku tak yakin minum asi darinya atau tidak saat kecil. Namun, yang aku ingat saat umurku 2 tahun aku papa titipkan di rumah oma. Aku menghabiskan 14 tahun hidupku tanpa kasih sayang seorang mama, tapi aku bersyukur oma selalu ada buatku, mungkin karna kasih sayang oma, aku tak tumbuh jadi gadis yang egois dan pembangkang, oma juga selalu menanamkan fikiran yang positif mengenai mama yang tak pernah menemuiku.


Aku ingat, dulu saat umurku 15 tahun papa membawaku pulang ke rumah istana ini, awalnya ada rasa membuncah di dadaku saat akan bertemu dengan sosok yang sudah melahirkanku kedunia ini. Aku sudah membayangkan tangis harunya saat melihatku, pelukkan yang akan kudapat, kecupan pipi dengan sayang, elusan rambut, dan senyum yang mungkin sama denganku. Tapi bayangan tinggal bayangan, saat aku dan papa sedang makan siang, suara mobil dan perkataan papa yang mengatakan bahwa itu mobil mama membuat debaran jantungku makin cepat dan makin cepat saat pintu depan berdecit, dengan cepat aku berlari ke ruang keluarga dan aku melihatnya... melihat mamaku, wajahnya tak terlalu mirip dengan ku tapi mata kami benar-benar sama. Percis.


Pandangan ku mengabur melihatnya berdiri di depan ku dengan jarak sekitar 2 meter, karna tak bisa ku tahan aku berlari memeluknya bersamaan dengan air mata yang terus berlomba turun di pipiku. Awalnya aku merasa tubuhnya menegang dan dia tak membalas pelukkanku, tapi aku tetap mengeratkan pelukkanku, semua terasa benar, tubuhku menghangat. Hingga tersadar  dan mendorongku ke lantai. Kelopak mataku membesar, aku meringis merasakan sakit di bagian dadaku, padahal bokongku yang menghantam lantai. Makin sesak saat melihatnya menatapku datar dan berlalu begitu saja, dan semenjak itu aku tau,


Aku tak pernah diharapkannya.


Mama yang selama ini diceritakan oma berbeda dari yang kulihat. Semakin hari tinggal di istana ini, semakin itu pula aku merasa sepi tak berujung. Mama tak pernah menganggapku, pergi pagi pulang pagi, begitu seterusnya. Aku tau, seharusnya aku menjadi anak pembangkang yang bergaul dengan club malam atu menjadi seorang playgirl, bukan malah memantapkan hatiku untuk tetap dirumah yang mirip neraka. Jika keduanya bertemu -mama dan papaku- saat itu juga aku merasa keadaan itu semakin salah. Bantingan kaca, teriakkan, semua salah. Tak ada kata keluarga disini, tak ada kasih sayang. Dan semua semakin salah saat Oma meninggalkanku, papa makin workaholic, tak ada waktu sedikit pun untukku, hanya atm-ku yang tiap hari bertambah.


Tapi yang membuatku bertahan adalah dia, si cowo penyelamatku. Cowo yang berhasil membuatku merasakan pertama kalinya diperhatikan dan disayang. Aku bertemunya di pemakaman oma, aku menangis seharian disana dan ia tiba-tiba mendatangiku, berbicara kata yang masih kuingat sampai saat ini,


"Jangan nangis, cewe yang terlalu lemah itu menyedihkan sekali walaupun cewe lo harus strong, tau. Ambil sisi positifnya aja lah, gue tau lo sayang oma lo, tapi waktu dia udah abis untuk ngelengkapin hari lo. Berarti lo harus inget semua ajaran dia, jangan terlalu berkabung dia gak akan seneng lo begini"


Selesai mengatakan itu dia memberiku sapu tangan dengan ukira N di sudut bawahnya-yang selalu kubawa kemanapun- dan berlalu begitu saja tanpa mau melihat wajahku yang tengah menunduk. Ya, jadi wajar jika dia tidak mengenalku sampai sekarang. Semenjak kejadian itu aku jadi kebal dengan semua teriakan saat mereka bertemu, aku sudah kebal diabaikan, aku juga kebal walau pas MOS aku dibully, tapi maksudku dengan kata kebal adalah aku tak pernah lagi menangis. Tempat pemkaman oma menjadi tempat, last cry-ku.


"non jangan bengong dong, mau makan apa?"


"ah, maaf bi. Aku mau langsung tidur aja, capek. Oh iya mbok, mama udah pulang?"


Bibi menunduk, dan aku langsung mengerti maksudnya. Aku tersenyum kecut, harusnya aku tau semua akan tetap sama.


"Oh ya, tapi non tadi tuan telpon ke rumah, dia nanyain non udah pulang atau belum, ya mbok jawab belum non"


Tanpa pikir panjang aku berlari ke arah meja telpon rumah dan melakukan panggilan pada panggilan terakhir, nada pertama mulai terdengar, kedua, ketiga, bergitu terus sampai suara perempuan terdengar,


"maaf, nomer yang anda tuju tidak menja-" Aku menghela nafas lelah, sudahlah nanti malam akan kucoba lagi. Dengan lesu, aku menaikki anak tangga satu persatu, mengabaikan tatapan iba dari Mbok Tika.


****

Aku memasuki kamar bernuansa biru putih dan langsung menghempaskan diri di kasur big size. Kamarku tergolong besar dan semakin bagus dengan balkon dan pemandangan yang memamerkan pepohonan hijau. Tapi yang paling kusuka adalah bagian kanan dinding kamarku yang memamerkan foto tiga orang yang amat serasi, papa mama dan aku, tentu saja saat ku masih kecil. Bahkan aku tak pernah ingat bagian photoshoot itu, aku tampak tenang dalam gendongan mama, sementara mama tak ada senyum sama sekali, papa tersenyum kecil. Begitu saja.


Sesederhana itu.


Tapi mampu membuat mood-ku naik, aku tersenyum sambil terus mengerjapkan mataku, agar tak ada yang mengalir di pipiku. Dan berhasil, aku tak menangis. Aku sudah membiasakan diri dengan bingkai besar beserta fotonya itu, yang membuatku menahan tangis adalah saatku menemukan bingkai itu di gudang belakang, penuh debu. Mengapa harus gudang? padahal banyak dinding kosong di ruang tamu dan ruang keluarga. Aku tersenyum kecut-lagi. Berusaha menanamkan pikiran positif atas semua kejadian ini. Walaupun kuakui lebih masuk akal jika semua deretan kejadian di rumah ini dikaitkan dengan pikiran negatifku.


Tapi akhirnya aku memilih untuk tetap berpikir positif, karna aku percaya akan ada masanya dimana semua tangisku selama ini terbayar. Aku percaya.


****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Last CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang