Seorang laki-laki paruh baya duduk di kursinya, memandang lurus ke luar jendela.
"Kukira kau telah menyanggupi datang pukul tujuh, Arthur," kata Profesor Walmore
Wajah Arthur merah padam menahan malu.
"M-Maafkan saya Professor. Jam tua itu benar-benar tak memberi saya kesempatan, m-maafkan saya," jawab Arthur tergagap.
"Dimana ayahmu? Tidakkah beliau membangunkanmu?"
"Beliau sedang di Jepang berburu artefak. Pagi ini beliau akan mampir ke New York untuk menengok seorang paman," jelas Arthur nadanya masih merendah memohon.
"Baiklah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?" tanya Profesor Walmore retorik.
"Terima kasih Profesor," balas Arthur, wajahnya kembali cerah dengan senyum menghiasinya. "Oh iya, anda ingin saya bantu apa Profesor?"
"Ah betul, kemarilah!" Profesor berjalan pergi menuju salah satu sudut gelap di dalam ruangan. Ia membuka tirai disusul cahaya matahari menyerbu masuk dan menyorot tepat ke atas sebuah meja. Profesor Walmore mengerjapkan mata. Terdapat banyak sekali tumpukan kertas di atas meja. Profesor Walmore berdiri di depan meja lalu memberi isyarat pada Arthur agar dapat berdiri di sebelahnya. "Bisakah kau periksa semua kertas ujian ini? Aku agak kerepotan," tanya Profesor.
"Dengan senang hati, Profesor. Anda bisa mengandalkan saya," jawab Arthur.
"Ah syukurlah. Aku sibuk sekali hari ini, kejadian di Samudera Pasifik itu membuat tanganku terasa gatal! Menambah pening di kepalaku tentunya," keluh Professor.
"Maafkan kelancangan saya, Professor. Tetapi ada apa di Samudera Pasifik?"
"Entahlah, sejak kemarin pergerakan arusnya aneh. Padahal kecepatan anginnya normal tetapi kekuatan arusnya sampai 7 mil/detik. Itupun bukan terjadi di seluruh samudera pasifik, hanya di satu tempat saja," racaunya. Ia menengok kanan kiri matanya memburu mencari sesuatu. "Nah! Ini, hanya di koordinat ini dan sekitarnya!" serunya.
Profesor menunjukkan sebuah peta pada Arthur. Dalam peta itu, ada satu titik yang tak jauh dari Pulau Hawaii yang diberi tanda merah. Tulisannya N 15°1'16.2264", W 151°54'31.1868" ditulis dengan spidol warna merah. Arthur menganguk pelan sambil menatap peta itu– sebenarnya Arthur tidak bisa baca peta.
"Ya sudah, aku harus cepat cepat memeriksa hal ini." Professor pergi meninggalkan Arthur sendirian dengan setumpukan kertas ujian yang sekarang jadi tanggung jawabnya.
Arthur menarik sebuah kursi, menaruhnya di depan meja. Ia duduk dan mulai memeriksa dengan tekun. Kunci jawaban sudah disediakan Profesor Walmore di atas meja, di sebelah tumpukan kertas yang menggunung itu. Tampaknya fokus padahal sesuatu sedang terjadi di kepalanya. Hatinya gelisah tanpa sebab. Ada sesuatu mengganjal di dadanya, rasanya seperti ada yang meremas paru-parunya perlahan. Arthur mencoba menghiraukannya, kembali memeriksa ujian geografi yang baru seperempat Ia periksa.
Satu jam berlalu dengan gumaman-gumaman menggangu dari Profesor Walmore. Kertas ujian yang menggunung sudah habis diperiksa setengahnya. Diantara mereka berdua tidak ada yang berbicara satu sama lain. Pintu Georgia besar yang ada disana berdecit membuat Arthur terpaksa menengok. Profesor Walmore berdiri di ambang pintu terlihat seperti baru saja masuk. Arthur bahkan tidak tahu kapan Profesor meninggalkan ruangan.
"Bagaimana kabarmu, Arthur? Sudah lelah? tanya Profesor dengan sedikit tawa.
"Yah, setidaknya nilai-nilai ini bukan milik saya, Pak. Jadi saya tidak perlu khawatir" canda Arthur.
"Istirahatlah sebentar, aku akan membaca koran jika kau tidak keberatan. Kau boleh baca setelah aku. Profesor Walmore berjalan ke ujung, mengarah pada kursi baca yang kelihatan nyaman. Oh, aku sudah buatkan teh untukmu. Ambil saja di atas meja, ya, lanjutnya.
Terima kasih, Profesor, jawab Arthur.
Arthur berbalik sejenak, melakukan peregangan. Meregangkan jari-jari tangannya yang kaku memegang pena, meregangkan punggungnya, leher, serta pergelangan tangannya. Iya memandang ke atas, santai. Sejenak terpikir olehnya mengenai kegelisahan yang sempat terasa olehnya. Sesekali Ia melirik pada Profesor Walmore yang duduk di ujung ruangan. Apa kira-kira berita hangat pagi ini? Ia belum baca koran sejak dua hari yang lalu sepertinya.
Arthur membaca tulisan-tulisan yang bisa ditangkap matanya. Penglihatannya memang bagus, jadi tidak sulit baginya membaca dari jarak dua setengah meter. Arthur membaca headline koran, Ia memicingkan matanya, dadanya membusung, Ia bangkit dengan tak yakin.
Friendly reminder, disarankan baca dari awal lagi, sedikit berbeda karena direvisi.
Sincerely,
Itsinhuman
KAMU SEDANG MEMBACA
COORDINATE: The Endless Journey
AdventureSetiap kata yang tertulis di dalam buku ini hanyalah syair mengenai sebuah perjalanan tanpa akhir. Dengan sedikit teka-teki yang mungkin akan menghidupkan kembali syaraf-syaraf mungil pada otakmu. Kisah-kisah malang sebagai penggetar hatimu. Serta t...