Bab. 1 ± Revisi

147 12 0
                                    

Bab. 1

Disuatu kelas, yang diatas pintu masuk terdapat papan bertuliskan 'Kelas VIII C,' ada seseorang anak laki-laki—masih bocah—dengan rambut panjang hingga menutupi telinga, seperti pekerja lemburan tenaga kuda.

Mukanya serius, dengan tangan kanan memegang bolpain. Dia sedang mencatat apa yang ada dipapan tulis. Bahkan sampai fokusnya, dia tidak sempat untuk menyadari bahwa keempat temannya telah berdiri selama 10 menit disampingnya.

"Ekemm ambis..." batuk salah satu dari keempat teman, mencoba untuk menunjukan keberadaanya kepada anak laki-laki. Namun nampaknya usaha itu gagal, dia tidak bergeming sama sekali dari pekerjaan mencatatnya.

Empat sekawan itu saling tatap mata tidak percaya. Salah satu dari mereka mengusulkan untuk mencoba melalui komunikasi kedipan mata.

"Permisi, paket.."

Tidak ada jawaban. Anak laki-laki itu masih sibuk mencatat.

Gagal, mereka berempat berkata 'yah' serempak dengan menepuk dahi masing-masing. Namun namanya anak muda yang beranjak dewasa, rasa semangat mereka dalam berjuang masih matang. Mereka harus mencoba cara lain.

"Anu... maaf—"

"Gue gak bisa basket, dan kalaupun gua bisa, gua gak akan bakalan main sama kalian." Anak laki-laki membuka suara, memotong kalimat dari salah satu dari mereka

Keempat sekawan itu serempak menganga mendengarnya. Menusuk mulus ke hati mungil mereka.

Salah satu dari mereka menepuk pundak anak laki-laki. "Yaelah, Zee, kita kekurangan orang, nih. Anak kelas lain ngajakin tanding basket. Kita butuh orang lagi." ucapnya dengan penuh harap akan dibalas dengan baik.

"Gua kagak peduli," kata anak laki-laki. Azizi namanya. Biasa dipanggil Zee oleh teman-temannya.

"Ayolah, Zee. Sekali ini aja, please."

Zee meletakan bolpainnya ke meja, menatap empat sekawan didepannya.

"Kenapa gak ngajak yang lain selain gua. Gua kagak bisa main basket."

"Yang lain pada gak bisa. Mereka juga takut sama anak sebelah. Pilihan terakhirnya cuma lo."

"Kenapa gak lo ajak yang lain aja kalo semua pilihan yang lo ambil, kagak bisa main basket? kenapa harus gua?"

"Karena lo tinggi, lo cocok jadi defence. Cuma hadang bola sama body-body lawan doang, kok."

Zee menghela napas. Keempat sekawan terlihat bahagia. Mereka pikir berhasil membujuk manusia paling kulkas diangkatan mereka, nyatanya tidak. Zee kembali menyambar bolpain dan lanjut menulis.

"Gua tinggi karena gua suka voli, bukan basket. Pilihan gua tetep kuat, gua gak mau," final Zee yang langsung membuat empat sekawan menghelan napas. Sia-sia saja.

"Gimana nih, Del?" Mereka sibuk berbisik satu sama lain. Masih disamping bangku Zee.

"Gue juga kagak tahu, Lla. Mau gak mau kita ambil anak yang lain aja."

"Gue setuju sama Adel, Lla. Mending kita ambil anak lain aja," celetuk salah satu dari mereka. "Daripada gak tanding, 'kan bisa malu kita sama mereka."

Mereka bertiga mengangguk-ngangguk. Serentak mereka menoleh ke orang terakhir yang belum menyuarakan persetujuan.

"Flo, gimana? lo setuju, gak?"

Yang ditanya diam, sedari tadi masih asyik memandang Zee yang sedang mencatat.

"Flo?... Flora?"

Flora namanya, alih-alih menjawab, dia mendekat ke arah Zee. "Lo main Voli?" tanyanya. Zee menoleh cepat.

Jenaka - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang