Setelah sekian tahun tidak bisa menangis, karena hantu tidak memiliki cairan dalam tubuh, aku pun meraung seperti gadis kembang desa yang dicampakkan pemuda pujaan hatinya. Menurutku suara tangisku amat merdu sekaligus menyayat hati. Ibarat bintang film, sudah pasti aku memenangkan Oscar. Bravo! Namun, tampaknya Danu memiliki pendapat tersendiri mengenai ratapanku.
“Mbak Kun, udah dong nangisnya.”
Tasya menawariku sekotak tisu. Semoga itu bukan tisu yang digunakan untuk cebok. Kan tidak indah. Benda yang berfungsi untuk menyeka pantat, tapi dipakai untuk menyapu lelehan air mata cantik jelitaku.
“Nggak bisa,” kataku sembari membersit di tisu. Oh hidungku akhirnya menghasilkan ingus. “Jadi manusia nggak ada enaknya.”
“Mau minum susu hangat?” Danu menawariku gelas kosong. Lama-lama kujitak juga pria ganteng, tapi dungu yang satu ini. “Nanti aku buatkan.”
“Kalian nggak paham!” tuduhku secara membabi buta. “Sekarang aku benar-benar dalam masalah besar. Besar. Pakai huruf kapital. B. E. S. A. R. Huuuuu ke mana aku harus melayangkan aduan? Dewan Setan Semesta? Ratu Demit? Ke mana?”
“DPR?” Danu sekali lagi melontarkan saran yang tidak berguna.
Ternyata dunia memang adil. Danu tampan, tapi EQ yang ia miliki mungkin perlu dipertanyakan. Intinya, pejabat manusia mana yang mau repot mengurusi masalahku? Menyelesaikan urusan kemiskinan, kesediaan transportasi, pendidikan terjangkau, kesehatan, dan keamanan bagi perempuan saja tidak beres begitu. Apalagi masalahku?
“Aku nggak mau jadi manusia,” ratapku sembari membenamkan wajah di kumpulan tisu. Rasanya ingin menyanyi: “Saat aku menangis, aku menghabiskan empat lembar tisu.” Sial.
Saat aku mendongak, menatap Tasya yang kini sedang menarik-narik celana Danu. Semoga saja tidak melorot karena aku tidak mau melihat kolor Danu.
“Om, Om Danu. Kasihan Mbak Kun. Om, tanggung jawab dong.”
Orang bisa salah sangka, mengira Danu berbuat tidak senonoh dan lari dari tanggung jawab!
Danu menggaruk kepalanya. “Apa kamu mau tinggal di sini? Ada beberapa kamar kosong kok. Kamu bisa menempati salah satunya.”
“Pakaian?” aku menuntut. Peduli setan dengan reputasi. Dalam keadaan serbasusah tidak ada salahnya memanfaatkan apa pun. “Bajuku rusak,” kataku sembari memamerkan kain gosong bolong-bolong. As know as rombeng. “Aku nggak mungkin pakai baju begini.”
“Ada kausku,” Danu memberi penyelesaian masalah. “Ukurannya mungkin nggak sesuai dengan badanmu, tapi okelah.”
“Pakaian dalam?” Tidak lucu kalau ada sensasi semriwing.
“Oke, aku pesankan di toko online.” Danu mulai merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel, dan menekan layar. “Sekalian baju tidur.”
“Om Danu kaya kok,” Tasya menambahkan. “Nggak sekaya Papa, tapi lumayan.”
“...” Apa pula maksud ucapan Tasya?
Sudahlah! Keluarga ini memang aneh!
“Besok akan kubelikan beberapa baju darurat,” kata Danu setelah memasukkan ponsel ke saku. “Sementara ini kamu mandi, ganti baju dengan pakaianku, lalu tidur di kamar mana pun.”
Terlalu aneh. Manusia satu ini cepat sekali beradaptasi. “Kamu nggak ada rencana melaporkan kejadian ini ke paranormal maupun profesor mana pun, ‘kan? Aku nggak mau jadi subjek penelititan!”
“Om, jadi subjek penelitian itu apa?”
Danu memberiku senyum manis. “Aneh, sih. Baru kali ini ada kuntilanak bisa jadi manusia gara-gara geledek. Tapi, tenang saja. Aku nggak ada niat dan nggak akan melaporkanmu ke siapa pun. Kecuali, kalau kamu berniat buruk kepada Tasya.”
“Heh gini, ya,” ucapku dengan nada sok penting. “Nggak semua kuntilanak hobi menculik anak. Justru kamu harusnya takut dengan manusia. Kalau ketemu setan, pingsan atau kabur, beres. Namun, manusia beda. Kamu nggak tahu saja suatu saat akan ditusuk dari belakang. Seperti lagu Peterpan, Kau peluk aku, sebelum membunuhku.”
“Jadul banget,” sahut Danu sembari tertawa. “Udah lama sekali nggak ada yang ngomongin lagu itu.” Dia beralih ke lemari, menarik sebuah kaus hitam dan celana longgar. “Kamu mandi dulu, ya.”
“Kok mendadak kamu berubah, sih? Nggak takut?”
Tasya menguap. Dia mulai mengucek mata. Perlahan dia bergelung di kasur dan sepertinya tidak tertarik menjadi penonton.
“Nggak terlalu,” kata Danu sembari mengedikkan bahu. “Barangkali karena melihat Tasya percaya sama kamu, sih.”
Ha! Segampang itu?
Kacang!
***
Mandi. Salah satu aktivitas yang telah lama kutinggalkan. Menjadi hantu tidak semerepotkan saat masih hidup. Aku tidak perlu menggosok gigi, keramas, dan sebagainya. Kulitku tidak mengeluarkan keringat. Kecuali siluman. Mereka berbau dan eksistensinya berbeda dari kaum lelembut.
Air membasuh kulit, terasa dingin! Ke mana perginya sensasi sejuk yang dituliskan dalam novel?! Dusta! Dingin begini! Lagi pula, sialan si Danu. Bagaimana cara mendapatkan air hangat? Aku harus tekan tombol yang mana? Putar keran yang mana?
Lupakan itu! Kepalaku sakit. Setelah jadi manusia begini berarti aku harus memikirkan rencana ke depan. Aku tidak punya identitas! Apa aku masuk warga ilegal? Apa negara mengakuiku? Oh dan manusia butuh uang!
Aih tidak menyenangkan segala perkara dunia. Makan, minum, mandi, buang air besar dan kecil, gosok gigi, bahkan bernapas. Setan jauh lebih sederhana. Tidak ada acara mengurusi standar kesetanan hantu lain. Pocong tidak perlu merasa sungkan muncul tiba-tiba di hadapan kuntilanak. Paling kena tabok, sih. Sesama lelembut tidak saling ganggu. Kami patuh pada hukum baik yang tertulis maupun tidak. Sama-sama mengerti. Sama-sama mencoba menghormati perbedaan bentuk, asal, logat, dan eksistensi.
Aku? Jadi manusia? Hahahahaha!
Manusia makhluk sosial yang kadang tidak sosialistis. Bicara demi kepentingan bersama, tapi cuma segelintir oknum yang mendapat keuntungan. Kalau tidak sepaham, langsung dicap egois. Beda pilihan, dianggap aneh.
Hatiku sakit.
Usai mandi, mengeringkan tubuh, dan ganti baju; aku pun berjalan terseok. Sudahlah, anggap saja diriku zombie.
Tasya masih ada di ranjang. Dia tidur pulas seperti anak beruang di musim dingin. Danu duduk di sofa. Saat melihatku dia melambaikan tangan, memamerkan ponsel, dan bertanya, “Kamu ada tipe pakaian tertentu yang pengin kamu pakai?”
Lalu, pandangan mata Danu jatuh ke rambutku. “Apa nggak sebaiknya dipotong saja?”
Inilah yang menyebalkan! Jadi manusia repot! Rambut sepanjang ini tidak akan menggangguku sebagai setan, tapi beda cerita untuk manusia.
Tanpa menunggu izin dari Danu, aku meraih gunting yang ada di nakas. Kupangkas rambutku secara asal-asalan. Dalam komik cewek pasti hasilnya cantik sekali. Tapi, aku tidak hidup di dunia itu. Hasil guntinganku jelek. Bulu di tubuh Om Wo jauh lebih keren daripada rambutku yang sekarang.
“Nanti aku antar ke salon,” Danu mencoba membesarkan hatiku.
“Aku masih menganggapmu aneh.”
“Ya, boleh. Kita berdua aneh.”
“Kamu!” seruku sembari mengentakkan kaki. “Ah sial!”
“Sekarang, kan, kamu hanya bisa bergantung kepadaku dan Tasya. Tanpa identitas dan uang, kamu nggak bisa hidup di sini.”
Segala sumpah serapah langsung kabur.
Danu mengulurkan tangan kanannya. “Ayo kita coba jadi teman.”
Heh? Dia gila, ya? Gila!
***
Selesai ditulis pada 5 Juni 2024.***
Huhuhuhuhu saya menulis cerita ini untuk kepentingan refresing. Hiburan. Huhuhuhuhu.Salam cinta dan kasih sayang.
Love untuk kalian semua teman-teman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tasya dan Miss Kunti (Selesai)
FantasíaSebagai hantu merdeka yang tidak terbebani perbudakan oligarpus, menikmati waktu sepuasnya merupakan sebuah kesenangan tidak tertahankan. Namun, itu semua berubah begitu aku bertemu dengan bocah sok tahu yang hobi merecoki waktu santaiku. Dia, si bo...