01. Lebih Baik Aku yang Pergi

100 22 2
                                    

Sebuah keluarga tajir menyewa Yaya, yang merupakan seorang detektif swasta lokal untuk menyelidiki kasus pembunuhan berantai pada keluarganya.

Dari bukti-bukti yang dikumpulkan, ada satu yang paling mengganggu Yaya. Untuk menanyakan beberapa hal yang menganggu tersebut, hari ini ia mengunjungi rumah Taufan, seorang rekan kerja sekaligus kekasihnya sendiri.

Yaya telah sampai di depan pintu rumah Taufan. Ia sudah berdiri selama menit. Berulangkali menarik-nafas-buang. Berusaha menenangkan hati. Ia tepis semua keraguan dan kecemasan yang memenuhi hatinya, lantas ia memencet bel.

"Oh Yaya! Sudah sampai rupanya! Ayo masuk."

Yaya disambut ekspresi antusias dari Taufan yang langsung membukakan pintu lebar-lebar. Taufan segera menariknya ke dalam dan memeluknya erat. "Kangen.."

Biasanya Yaya akan menikmati pelukan Taufan seperti biasa, namun karena ia datang dengan maksud tertentu, ia jadi tegang dan tidak bisa santai.

"Hmm?" Taufan melepaskan pelukannya dan memperhatikan wajah Yaya. "Ada apa?"

Yaya tersenyum canggung. Ia melihat kemana saja selain wajah Taufan. "Cuma masalah pekerjaan saja kok."

"Ooh begitu. Sekarang nagaimana perkembangannya? Lihatlah cantikku ini sampai kelelahan seperti inii." Taufan memperlihatkan ekspresi wajah cemas sambil menangkupkan wajah Yaya dengan kedua tangannya.

"Gapapa.. Kan sudah pekerjaanku." Yaya melepaskan tangan Taufan dengan perasaan tidak nyaman.

Taufan memimpin jalan masuk. "Ngobrolnya sambil di dalam aja yuk. Kamu mau minum apa? Aku lagi nyetok banyak nih."

"Apa saja boleh." Yaya menyusul di belakang Taufan.

"Baiklah. Kamu duduk aja dulu, Ya."

"Oke.." Yaya ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu. "Mm.. Taufan, aku boleh liat-liat rumahmu?"

"Boleh dong! Kok ragu-ragu gitu. Kayak sama siapa aja." Taufan tersenyum. "Ohiya, jangan mampir ke area dekat gudang ya. Kotor banget soalnya."

Yaya mengangguk dan segera meninggalkan Taufan. Sambil melihat-lihat, Yaya harap ia tidak menemukan sesuatu yang menganggu pikirannya itu. Tapi kakinya tak sengaja menyenggol sebuah benda.

Yaya mengambil benda itu yang ternyata adalah parfum. Matanya melotot saat mencium aromanya. Itu adalah parfum yang beraroma sama dengan yang ia cium di tempat lokasi kejadian.

Dengan hati-hati, ia berjalan ke arah lain dan menemukan sepasang sarung tangan latex yang berbercak darah di dalam tempat sampah dekat kamar mandi. Pikiran Yaya semakin kalut. Ia lekas mengirimkan bukti pada ahli digital forensik.

Beberapa saat kemudian, data telah selesai diselidiki dan hati Yaya terasa jatuh sejatuh-jatuhnya saat melihat hasilnya.

"Ta..Taufan." Yaya menghampiri Taufan. Ia mencoba menstabilkan suaranya setenang mungkin.

"Yya?" Taufan menjawab tanpa menoleh.

"Sejak kapan kamu pakai parfum ini?"

Taufan menoleh sejenak, lalu ia menjawab santai sambil melanjutkan memotong daging. "Oh itu parfum khusus pas aku kerja. Aku sengaja bedain pas lagi sama kamu. Kalau lagi sama kamu, aku pakenya yang lebih soft biar kamu nyaman."

"Oh.." Yaya tidak bisa menahan keterkejutannya saat melihat cara Taufan memotong daging. Pola dari goresan pisau yang Taufan lakukan itu.. sama dengan baretan pisau yang ada di tubuh korban.

"T-taufan dagingnya."

"Hm? Kenapa?" Taufan menoleh.

Wajah Yaya tegang. Ia gemetar ingin menangis dan ketakutan. Otak rasionalnya sedang bertengkar dengan hatinya mengetahui semua bukti yang ia temukan mengarah orang yang ia sayang.

"Taufan, aku mencium aroma parfum yang sama dari baju korban." Sambil menguatkan hati, Yaya tetap mengedepankan profesionalitasnya. "Aku yakin banyak yang memberikan kesaksian yang sama pada orang-orang yang berada di lokasi."

Taufan menghentikan pekerjaannya, sementara Yaya bergegas melanjutkan. "Bukti sidik jarimu ditemukan pada sarung tangan latex di tempat sampah di dekat kamar mandi." Yaya menunjukkan data yang telah ia unduh dari ponselnya.

Pada titik ini, Yaya benar-benar ingin menangis. Ia diliputi kebingungan dan ketakutan yang luar biasa. "Taufan.. Kenapa?"

"Maaf mengecewakanmu, Sayang."

Yaya tercengang saat melihat aura wajah Taufan berubah. Ia secara otomatis melangkah mundur ketika Taufan berjalan mendekat.

"Mereka pantas mati." Yaya dapat merasakan tekanan amarah dari intonasi suara yang senada dengan ekspresi wajah Taufan. "Mereka adalah orang-orang yang tidak sopan mencari-cari informasi latar belakang seseorang tanpa izin."

"Sama halnya dengan detektif sepertimu." Taufan berjalan semakin dekat. "Bukankah itu sama saja dengan mencuri?"

Yaya gemetar semakin keras ketika ia tersudutkan ke tembok sementara Taufan hanya beberapa lagi darinya.

"Taufan, itu tidak benar." Yaya mencicit.

"Menurutmu, kenapa kamu masih aman di rumahku?"

Yaya tercekat. Taufan menghentakkan tangan kanannya ke tembok dengan keras, persis di sebelah Yaya sampai bahunya meloncat karena kaget.

"Tentu saja aku mengetahui maksud kedatanganmu, Sayang. Aku membiarkanmu melihat-lihat, membiarkan parfum itu terletak begitu saja, membiarkan sarung tanganku terlihat di tempat sampah. Menyenangkan sekali melihatmu bersusah payah, ketakutan."

"Taufan, kamu gila."

Taufan menampilkan seringai di wajahnya. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak menangkapku, detektif kecilku yang cantik?"

Yaya memandang Taufan tanpa ekspresi. Orang yang ia cintai adalah seorang pembunuh. Ia seharusnya mengaktifkan alat perekam, dan lekas melaporkan ke pihak berwenang, tapi tubuhnya mendadak kaku dan ia kehilangan kata-kata.

"Lagipula." Taufan membuyarkan pikiran Yaya. "Kamu selalu bisa untuk kabur. Sebelah kirimu kosong, dan pintu tidak terkunci. Tapi kamu malah memilih untuk tinggal. Kamu seharusnya takut, Yaya. Aku ini pembunuh."

Yaya masih membeku di tempat.

Taufan menghela nafasnya gusar. Ia memundurkan badannya. "Pergilah sebelum aku berubah pikiran."
_

Di luar hujan turun deras dan Yaya terguyur di bawahnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Kenapa ia harus mengetahui fakta sepahit ini? Taufan gila, tapi ia lebih gila karena masih menaruh rasa sayang pada kriminal.

Di sisi lain ia juga tak akan sanggup menanggung dosa akibat melanggar kode etik profesinya. Ia sangat menyukai dua-duanya dan tak ingin kehilangan mereka.

Yaya kembali pulang dalam kondisi berantakan. Ia tak bisa berpikir jernih. Sekeras apapun ia mencari jalan keluar, tak punya opsi lain yang lebih baik selain dirinya-lah yang menghilang. Benar, dengan menghilang, mungkin.. itu adalah satu-satunya jalan untuk tidak menghadapi sakitnya kehilangan.

Yaya membulatkan keputusannya. Ia mengirimkan pesan singkat pada Taufan malam ini.

Taufan, aku mencintaimu.

Ping! Pesan terkirim dan beberapa detik kemudian, pesan itu terbaca.

Butuh beberapa menit sebelum balasan lainnya masuk.

Yaya, aku sudah memesankan bunga kesukaanmu dan besok akan diantar ke rumahmu. Tolong diterima ya? Jaga diri baik-baik. Aku juga mencintaimu.

Sayangnya, pesan dan bunga itu tak akan pernah sampai kepada Yaya.

__

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Last Stop - Taufan x YayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang