Requested by loecandy
.
.
.
.
“Kenapa ngotot banget mau jadi pilot waktu kecil?” San ngomong sambil nyender ke batang pohon besar di taman komplek. Suaranya datar, tapi matanya ngelempar tatapan jahil. “Apa karena lo pengen terbangin cewek-cewek cantik?”
“Ngaco lo. Waktu itu gue masih polos. Otak gue nggak nyampe ke sana!” Mingi protes sambil nyengir, matanya melirik San. “Lagi pula, kalau jadi pilot gue bisa terbang jauh. Siapa tahu gue bisa kabur dari lo.”
San ngakak, tendangannya pelan mendarat di betis Mingi. “Kabur dari gue? Bro, lo nggak bisa. Gue ini kayak stempel; sekali nempel, nggak bakal hilang.”
Mereka ketawa bareng. Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berantakan kayak sandal jepit putus.
Berita kepindahan keluarga San masuk ke telinga Mingi kayak petir nyasar siang bolong. San duduk di ayunan taman sambil ngegeleng pelan. “Gi, gue nggak mau pindah. Tapi bokap udah dapet kerjaan di kota lain. Gue nggak punya pilihan.” Suaranya gemetar kayak anak kecil kehilangan es krim.
Mingi diem. Kalau ada waktu buat bales nasib, rasanya itu momen yang pas. Tapi apa daya, yang bisa dia lakukan cuma natap San dengan muka penuh kesedihan, kayak anak hilang nunggu jemputan. “Lo janji, ya, San. Jangan lupa gue. Kita tetap temenan meski jauh.”
San cuma senyum kecil. “Janji.”
Janji itu? Bullshit. Beberapa tahun kemudian, janji itu hanyalah ilusi. Mingi tumbuh jadi arsitek sukses di kota besar, sedangkan San entah di mana. Sampai suatu hari, semesta yang hobi bikin plot twist membawa mereka ke reuni sekolah.
Mingi nggak nyangka ngeliat San. Cowok itu berdiri dengan gaya santai, tapi tetap ada aura nyebelin yang dulu dia kenal. Tanpa mikir panjang, Mingi melangkah. “San? Gila, beneran lo?”
San nengok, wajahnya bengong beberapa detik sebelum senyumnya muncul. “Mingi? Anjir, ini nggak mimpi, kan?”
Mereka berpelukan, tapi jujur aja, itu lebih kayak “bro hug” kaku yang awkward banget. “Udah lama banget, San. Apa kabar lo?”
“Masih sama, cuma tambah ganteng,” jawab San sambil nyengir. Tapi dari cara ngomongnya, Mingi tahu ada sesuatu yang beda. San sekarang nggak cuma teman kecil yang suka ngelawak receh. Ada sesuatu yang lebih kompleks di balik senyum itu. Tapi Mingi nggak mau mikirin.
Seminggu setelah reuni, drama dimulai. San yang sekarang jadi jurnalis nyolot, kebetulan ngegali proyek pembangunan besar yang dikelola perusahaan Mingi. Dan ketika mereka akhirnya ketemu di kantor Mingi, obrolannya udah kayak film telenovela murahan.
“Jadi, lo tahu nggak kalau proyek lo itu bikin banyak orang kehilangan rumah?” Suara San tajam, matanya tajem kayak pisau dapur baru.
Mingi ngelipetin lengan kemeja, berusaha sabar. “San, ini bisnis. Kadang ada pengorbanan yang harus dilakukan buat kemajuan.”
San ketawa sinis. “Kemajuan? Lo serius? Lo udah berubah. Gue nggak kenal lo lagi.”
“Dan lo masih terlalu idealis,” balas Mingi, suaranya naik setengah oktaf. “Lo pikir dunia ini Disneyland, hah? Dunia itu kejam, San.”
Pertemuan itu berakhir dengan pintu yang ditutup terlalu keras. Kalau ini film, mungkin bakal ada adegan kaca pecah buat dramatisasi.
Beberapa minggu kemudian, San dapet ancaman serius dari orang-orang nggak jelas karena artikelnya. Ketakutan, dia menelepon Mingi.
“Bro… gue… gue diancam,” suara San gemetar. “Gue nggak tahu lagi harus ngapain.”
Mingi nggak banyak nanya. Dalam waktu 15 menit, dia udah nongkrong di depan apartemen San. “Masuk mobil. Lo bakal aman sama gue.”
Di perjalanan, mereka nggak banyak ngomong. San cuma duduk, ngeliatin jalan dengan tatapan kosong, sementara Mingi mencoba tetap fokus nyetir. Tapi dalam hati, dia ngerasa ada sesuatu yang tumbuh lagi—perasaan lama yang dulu dia kira udah mati.
Selama beberapa minggu berikutnya, Mingi nggak ninggalin San. Mereka ngobrol lagi, pelan-pelan membuka luka lama, sampai akhirnya mereka berdua sadar bahwa ada hal-hal yang nggak pernah berubah. Seperti gimana San selalu bisa bikin Mingi kesel, tapi juga bikin dia ketawa. Atau gimana tatapan Mingi selalu berhasil bikin San salah tingkah.
Suatu malam, setelah makan malam bareng di apartemen Mingi, San duduk di sofa, tatapannya menerawang. “Lo sadar nggak sih, kita ini selalu ribet? Dari dulu. Temenan ribet, musuhan ribet, sekarang…”
“Sekarang apa?” Mingi duduk di sebelahnya, mendekat sedikit. Jarak mereka cuma beberapa senti.
“Sekarang ribet juga,” jawab San sambil senyum tipis. “Tapi gue sadar, gue kangen sama semua keribetan ini.”
Mingi diem. Dia tahu ini momen yang dia tunggu-tunggu sejak mereka ketemu lagi di reuni. Dengan hati-hati, dia nyentuh tangan San. “Gue juga, San. Dan kalau ribet ini artinya gue masih bisa deket sama lo, gue nggak peduli.”
San noleh, matanya ketemu sama mata Mingi. Dan di saat itu, mereka berdua tahu apa yang bakal terjadi. Tanpa banyak kata, Mingi menarik San mendekat, dan bibir mereka bertemu.
Ciuman itu nggak terburu-buru. Perlahan, kayak mereka berdua lagi ngejelajahin perasaan yang selama ini mereka sembunyiin. San ngerasa tangannya ditarik ke dada Mingi, dan jantung cowok itu berdetak kencang. Sama kayak jantungnya sendiri.
“Lo serius mau ini?” bisik Mingi, suaranya serak.
San nggak jawab, cuma ngangguk pelan. Dia narik Mingi lebih deket, nyium lagi dengan intensitas yang lebih dalam. Mereka nggak butuh kata-kata lagi, karena semua udah terjawab di malam itu.
Di kamar tidur, dengan lampu temaram, mereka berbagi keintiman yang nggak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Gerakan mereka lambat tapi penuh emosi, seolah setiap sentuhan adalah bahasa yang hanya mereka berdua yang ngerti. Semua luka, pertengkaran, dan keraguan seolah hilang. Yang ada cuma mereka berdua, saling memiliki sepenuhnya.
Keesokan paginya, mereka terbangun dalam keheningan yang nyaman. Mingi menatap San yang masih tertidur di sebelahnya, rambutnya acak-acakan tapi tetap kelihatan memikat. Dia nggak bisa nggak senyum.
![](https://img.wattpad.com/cover/247225736-288-k89193.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictionSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456