Requested by loecandy
.
.
.
.
Mingi dan San adalah teman sejak kecil.
Mereka tumbuh di lingkungan yang sama, bersekolah di tempat yang sama, dan selalu bermain bersama setiap hari. Persahabatan mereka begitu erat hingga tak terpisahkan.
Namun, segalanya berubah ketika keluarga San harus pindah ke kota lain karena pekerjaan ayahnya. Mereka kehilangan kontak, dan persahabatan yang dulu erat itu perlahan memudar.
Di suatu pagi yang cerah, Mingi dan San duduk di bawah pohon besar di taman, membicarakan mimpi mereka.
"Aku ingin jadi pilot, San. Bagaimana denganmu?"
San tertawa kecil, menatap langit biru. "Aku ingin jadi penjelajah, Mingi. Aku ingin melihat dunia."
Mereka tertawa bersama, menikmati kebersamaan yang terasa abadi. Tapi sayangnya, itu adalah salah satu momen terakhir mereka bersama.
Saat San memberi tahu Mingi bahwa keluarganya akan pindah, Mingi tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Kau benar-benar harus pergi, San?"
San mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Ya, Mingi. Ayahku mendapat pekerjaan baru di kota lain. Aku tidak ingin pergi, tapi aku tidak punya pilihan."
Mingi menatap sahabatnya dengan penuh kesedihan. "Kita akan tetap berhubungan, kan?"
San tersenyum tipis. "Tentu, Mingi. Kita akan tetap berteman, tidak peduli seberapa jauh jaraknya."
Namun, seiring berjalannya waktu, janji itu semakin sulit dipertahankan. Keduanya mulai sibuk dengan kehidupan baru mereka, dan komunikasi pun terputus.
Bertahun-tahun kemudian, Mingi telah menjadi seorang arsitek sukses di kota besar.
Suatu hari, dia diundang ke sebuah acara reuni sekolah.
Mingi memasuki ruangan yang penuh dengan wajah-wajah yang dulu dikenalnya. Dan di sana, di sudut ruangan, dia melihat seseorang yang sangat familiar. San.
"San? Apakah itu benar-benar kamu?"
San yang sedang berbincang dengan teman lama lainnya, menoleh dan terkejut melihat Mingi. "Mingi? Wah, ini luar biasa! Sudah berapa lama ini?"
Mereka saling berpelukan, mengingat kembali masa-masa indah yang pernah mereka bagi.
Namun, tidak lama setelah pertemuan itu, kesenjangan yang pernah ada di antara mereka mulai muncul kembali. San yang bekerja sebagai jurnalis mulai menyelidiki sebuah proyek pembangunan besar di kota yang dikerjakan oleh perusahaan Mingi.
"Mingi, proyek ini merugikan banyak warga. Mereka kehilangan rumah mereka. Apakah kamu tahu tentang ini?"
Mingi yang saat itu sedang sibuk di kantornya, mengerutkan dahi. "San, ini bisnis. Terkadang ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk pembangunan."
San merasa marah dan kecewa. "Ini bukan tentang pengorbanan, Mingi. Ini tentang kehidupan orang-orang. Kamu sudah berubah."
Mingi membalas dengan nada tegas. "Dan kamu terlalu idealis, San. Dunia tidak sesederhana itu."
Mereka mulai sering berdebat, dan persahabatan yang dulu hangat mulai terasa dingin dan penuh kebencian.
Suatu malam, San menerima ancaman serius dari pihak yang tidak senang dengan laporan-laporannya. Dia ketakutan dan tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Tanpa disangka, dia mendapati dirinya menelepon Mingi.
San bicara suara gemetar, "Mingi, aku butuh bantuanmu. Aku... aku diancam."
Mingi yang mendengar nada ketakutan di suara San, segera pergi menjemputnya. "Di mana kamu? Aku akan segera ke sana."
Mereka bertemu di sebuah kafe, dan Mingi segera membawa San ke tempat yang aman. Sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara, tapi kehadiran Mingi memberikan San rasa tenang yang tak terduga.
Dalam beberapa minggu berikutnya, Mingi terus mendampingi San, memastikan dia aman. Mereka mulai berbicara lagi, membuka diri, dan saling memahami.
"Aku tahu kita punya pandangan yang berbeda, Mingi. Tapi aku merindukan persahabatan kita."
Mingi mengangguk, menatap San dengan lembut. "Aku juga, San. Mungkin kita bisa menemukan cara untuk menjembatani perbedaan kita."
Perlahan, hubungan mereka membaik. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama lagi, tidak hanya sebagai teman, tapi dengan perasaan yang lebih dalam.
Suatu malam, ketika mereka berjalan-jalan di taman yang dulu sering mereka kunjungi sebagai anak-anak, Mingi berhenti dan menatap San.
"San, aku tahu kita punya masa lalu yang rumit, tapi aku menyadari satu hal. Aku masih sangat peduli padamu. Lebih dari sekedar teman."
San terdiam, merasakan perasaan yang sama. "Aku juga, Mingi. Aku kira kita ditakdirkan untuk bersama, meski melalui banyak rintangan."
Akhirnya, mereka memutuskan untuk memberi kesempatan pada perasaan mereka. San dan Mingi, yang pernah menjadi teman dekat, kemudian musuh, dan akhirnya pasangan, belajar untuk saling menghargai perbedaan dan memperkuat cinta mereka.
Di hari yang cerah, di bawah pohon besar yang sama di taman, mereka berdua duduk bersama, mengingat kembali masa kecil mereka.
San tersenyum. "Aku masih ingin menjadi penjelajah, kau tahu."
Mingi tertawa. "Dan aku akan selalu ada di sampingmu, San. Mari kita jelajahi dunia bersama."
Mereka saling berpegangan tangan, siap menghadapi masa depan dengan cinta dan kebersamaan yang telah mereka temukan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanzzy Episode • All × San
FanfictionSanzzy: a pun intended from Snazzy bottom!San / San centric Drabble collection; around 500 words/chapter May contains mpreg ©2020, yongoroku456