Cakra Mahendra Putra duduk menatap layar komputer di kamarnya yang berantakan dengan buku-buku dan catatan tersebar di mana-mana, termenung sambil menatapi buku-buku tebal tentang hukum yang belum sempat ia baca. Sebagai mahasiswa ilmu hukum semester empat di salah satu universitas ternama di Yogyakarta, ia tahu bahwa jalan yang dipilihnya tidak mudah. Namun, ia juga tahu bahwa setiap lembar hukum yang dipelajarinya adalah langkah menuju impian yang lebih besar.
Telepon genggamnya berdering tanpa henti, pesan dari pacarnya terus berdatangan, menuntut perhatian yang tidak bisa ia berikan. "Kita perlu bicara," tulis pacarnya dalam pesan terakhir yang dingin. Cakra tahu apa artinya. Mereka telah mencapai titik di mana jalan mereka harus berpisah. Masa depan menunggu, dan ia tidak bisa membiarkan hubungan yang menuntut ini menghalangi jalannya.
Dengan hati yang berat tapi tekad yang kuat, Cakra mengetik balasan singkat, "Aku setuju. Kita harus fokus pada apa yang penting bagi kita masing-masing." Tidak ada air mata, tidak ada drama, hanya penerimaan bahwa ini adalah akhir dari satu bab dan awal dari bab lain, dengan kata lain kisah cinta nya dengan pacarnya putus disini.
Kini, Cakra berdiri di ambang pintu masa depannya, sendirian tapi bebas. Ia mengambil pena dan buku catatannya, menulis kata-kata pertama dari esai yang menjadi syarat agar dapat tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) pengkajian ilmu dan penelitian (PIP). Di sela-sela kuliah dan pekerjaan paruh waktu, ia akan menciptakan karya yang berarti. Cakra tidak akan berleha-leha; ia akan mengusahakan yang terbaik di masa mudanya, untuk masa tua yang nanti akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mon Avenir
RomanceSemester empat, kampus yang sepi selama pandemi kembali ramai dengan suara mahasiswa. Di antara mereka, ada seorang pemuda yang selama ini terkenal sebagai sosok yang jarang bergaul dengan teman-teman perempuan di kelasnya. Namun, sejak perkuliahan...