Once upon a time, I loved Kadewa. Hanya berani memendamnya tanpa sedikit pun mengungkapkannya. Tersenyum saat melihatnya tertawa. Khawatir saat melihatnya terjatuh.
Once upon a time, pusat gravitasiku adalah Kadewa. Selalu mencari-cari kesempatan un...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SEJAUH aku bisa mengingat, romansa nggak pernah eksis dalam kamus hidupku. Aku percaya cinta itu ada, aku percaya ada orang-orang beruntung yang menemukan belahan jiwanya.
Akan tetapi, aku nggak percaya bahwa aku termasuk salah satu dari orang beruntung itu.
"Mutusin Fathan? Sayang? Emangnya lo punya apa, Kadewa?" Emosiku mendingin.
Aku sudah cukup terpancing setelah Kadewa menyinggung perihal secondchoice. Sekarang dia memintaku memutuskan Fathan?
Orang ini apa sebenarnya? Banteng saja ada berhentinya, kenapa Kadewa terus menyeruduk tanpa jeda?
"Lo nanya gue sayang sama lo atau nggak. Ya, gue sayang." Senyum Kadewa melebar. Jaket hitamnya kini disampirkan ke siku. "Itu nggak cukup, Zaviya?"
"Lo pikir gue bocah lima bulan yang gampang dibohongin?"
"Iya. Zaviya bocah 5 bulan lebih 33 tahun." Ujung sepatu kami bersentuhan. Kadewa berdiri begitu dekat denganku di koridor toilet, terkekeh pelan. "Sekarang gue tanya, lo sayang sama Fathan nggak, Ya?"
Apa ini? Habis membuat bad mood, dia ganti mengorek pertanyaan pribadi?
Segala hubungan di mataku bersifat transaksional. Apa yang bisa aku tawarkan, itulah yang ingin aku dapatkan.
Aku pekerja keras, punya visi yang jelas, mapan secara finansial, nol tanggungan, mandiri, nggak suka ketergantungan, tentu menginginkan berpasangan dengan orang yang bisa menempatkanku di posisi aman. Nggak masuk akal jika aku sampai merendahkan level, apalagi cuma bermodal sayang.
Beruntungnya, Fathan memenuhi semua kriteria itu.
Dia nggak menuntut ketika aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, nggak marah ketika aku terlambat membalas pesan, nggak tantrum ketika aku menolak diajak ketemuan, nggak berdrama ketika aku tiba-tiba menghilang. Kami satu frekuensi dan nyambung dalam pekerjaan.
Ya, kekurangan Fathan memang satu; dia menjadikan aku secondchoice dalam kisah cintanya. Selain itu, nggak ada masalah. Kami kompatibel satu sama lain.
Aku mengangkat dagu. "Sayang atau nggak itu bukan urusan lo, Kadewa."
"Ah, nggak sayang ternyata." Anggukan laki-laki itu terkesan mengejek. "Kalau sayang nggak mungkin jawaban lo gini, apalagi setelah tahu dijadiin secondchoice. Seorang Zaviya yang punya harga diri selangit sampai nembus satelit, mustahil biarin perasaannya diinjek-injek. Lo kan lebih suka nginjek, Ya."
Aku diam. Silakan dia mengejek sepuasnya.
You never really know anyone's true story unless you're standing in their shoes. Bukan kewajibanku untuk menjelaskan tentang diri sendiri pada orang lain.
Berpikir nggak ada gunanya meladeni Kadewa, tungkaiku berayun melewatinya. Namun baru dua langkah, Kadewa mencekal lenganku dan menyeretku masuk ke toilet.