Bagian 1

161 9 2
                                    

Tangan besar itu mengacak rambut kusut berwarna hitam. Teriakan keras keluar dari mulut laki-laki itu. Bulan yang menemani seolah menertawakan nasibnya.

Joko Putro Halilintar atau lebih kerap disapa Halilintar. Alasan ia ingin dipanggil seperti itu sepele, biar keren. Ia menatap ponselnya yang sudah retak, kembali pusing.

Saat ini awal bulan, dan dirinya sedang dalam masalah kurang uang. Baru dipecat kerja, disuruh bayar uang UKT, kos, makan, biaya sekolah adiknya di asrama. Mumet.

“Tau gini gue ikut saran si Topan aja!” gerutunya. Ia kembali membuka ponselnya, membuka pesan yang baru dikirim sahabatnya.

Kembali berteriak, menarik rambutnya yang sudah rontok. Pekerjaan yang ditawarin Taufan juga sudah terisi. Apes sekali nasibnya.

Ia mulai menelfon sahabatnya. “Pan, serius pekerjaan yang lo kasih udah ada yang ngisi? Bisa gue aja gak? Gue butuh banget!” ujarnya.

Lah! Lo bilang udah dapet kerja, 'kan? Jangan maruk jadi orang, Li.”

Halilintar mendecak, memang salahnya yang terlalu sombong menolak tawaran kerja Taufan. Penyesalan memang datang diakhir.

“Gue butuh, Pan. Gue baru dipecat!” Halilintar mendesak.

Hah?! Serius? Kok bisa?

“Katanya bos, gue hampir bikin rumah tangganya diujung tanduk. Sangking gentengnya gue.”

Lah! Lo bikin bini orang kepincut?!

Halilintar menggeleng dengan ponsel yang masih ditelinga. “Istrinya bos 'kan buta.”

Terus lo bikin rumah tangga diujung tanduk gimana? Bingung 'nih gue.

Halilintar tak tau harus mengatakan kejadian saat dirinya dipecat atau tidak. Namun, sekarang ia benar-benar harus menceritakannya pada Taufan. Siapa tau dia ingin membatunya, 'kan.

“Si bos demen sama gue.” Detik itu juga suara Taufan menggelegar.

Hah! Serius lo?! Dia 'kan lakik.

Halilintar menghela nafas, “Gue waktu denger juga kaget. Mana gue udah bayangin hal-hal aneh. Gak berani lagi gue kesitu.”

Bukannya menjawab Taufan justru tertawa. Kasihan banget nasib lo, Li. Udah misqueen, didemenin lakik, dipecat lagi!

Tidak membantah ucapan Taufan, lagipula yang dikatannya benar. “Bantuin gue dong.”

Dari balik telefon Taufan menghentikan tawanya. Gimana kalo gue bayarin uang UKT lo? UKT lo nunggak, 'kan? Kalo mau sekalian uang kos sama uang sekolah adik lo.

Tawaran yang tak bisa Halilintar tolak. Namun, ini bukan pertama kalinya Taufan ingin membayarkan uang kosan dan sekolah adiknya. Mau sejauh mana lagi ia menyusahkan Taufan.

“Lo cariin gue kerja, jangan dikit-dikit bayarin gue 'lah. Nggak enak gue!”

Santai aja. Uang kos sama uang sekolah adik lo 'kan udah biasa gue tanggung. Meski yang dibicarakan Taufan benar. Tetap rasanya sakit di hati Halilintar. Taufan jadi seperti ayahnya.

“Cariin gue kerja aja. Ada lowongan lo langsung kasih tau gue.”

Iya, gue tanya Abang gue dulu. Dah, Li.

Percakapan ditutup sepihak oleh Taufan. Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang larut untuk Halilintar.

•••••

Perjanjian Tiga TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang