BAB II

4 0 0
                                    

Semalam hujan turun lumayan deras. Pagi ini, kabut tipis masih menyelimuti kota, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Harusnya, matahari sudah bersinar cerah. Saat yang tepat bagi mereka yang suka berjemur untuk mendapatkan khasiat vitamin D, katanya.

Namun saat ini, Artemis baru saja menyeruput kopi karamel instan yang diseduhnya. Ia sarapan tergesa-gesa, berusaha menghabiskan roti lapis keju dan smoke beef sembari memeriksa ponselnya. Mungkin ada pemberitahuan terbaru dari konsumen, pikir Artemis. Namun yang ia dapati hanyalah pesan WhatsApp dari Miranda. Satu jam lagi sudah masuk kantor, dan Artemis segera keluar dari kamar kosnya, lalu menuju pinggir jalan untuk menunggu angkot.

Fatahilah... ah! Terlintas seraut wajah dengan mata sipit dan kacamata kotak di benak Artemis. Jelas sekali, seakan sosok itu tengah berada di hadapannya. Artemis menghela napas. Menyadari ketidakjelasan perasaan yang kini menerpa dirinya. Namun ia pun paham, berdiam diri tanpa melakukan apapun, tak akan membuahkan hasil.

"Harus tau, Fatahilah itu siapa," batin Artemis.

-o0o-

"Fat... Fatah? Fatahilah?"

Sayup-sayup Fatahilah mendengar suara dengan diiringi ketokan pintu depan. Ia sendiri masih belum sepenuhnya bersedia untuk menyadarkan diri dari tidurnya. Namun suara orang itu, makin jelas saja.

"Fatahilah? Ada nggak?"

Duh, harus bangun! Bangun begitu saja dari tempat tidur, meninggalkan selimut usang yang tadi membalut dirinya asal-asalan. Lalu berjalan gontai ke ruang tamu, hanya pakai celana pendek dan kaos oblong yang robek di ujungnya. Dengan sedikit usaha, maka terbukalah pintu rumah sederhana itu.

"Kenapa Lik?"

Ternyata yang datang adalah Lik Dono, tetangga depan rumah. Rumah Fatahilah terletak di perkampungan, dengan rumah yang berjejer dalam satu halaman luas.

"Masuk jam berapa hari ini?" tanya Lik Dono.

Fatahilah masih menguap, lalu duduk di kursi plastik yang sudah hilang sandarannya. Lik Dono sendiri juga duduk di kursi sebelahnya.

"Nanti siang, jam satu. Kenapa?" Fatahilah balik bertanya.

"Anu, bisa nggak ambilkan kelapa di tegal? Butuh nih, buat apem kuah besok pagi." jelas Lik Dono.

Selain bekerja sebagai mandor penggilingan padi, istri Lik Dono berjualan apem kuah setiap pagi di pasar. Namun sepertinya, istri Lik Dono akan mendapatkan pesanan apem kuah lumayan banyak besok. Karena itulah, Lik Dono memutuskan untuk mengambil beberapa buah kelapa tua di tegal miliknya. Hanya saja, ia tak berani untuk memanjat sendiri. Lik Dono sangat bergantung pada Fatahilah untuk urusan tegalnya. Fatahilah pun dengan senang hati membantu, karena Lik Dono pasti memberinya uang jajan setelah menyelesaikan pekerjaan.

Lik Dono paham betul kondisi Fatahilah. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani di sawah salah satu warga kampung yang bekerja sebagai pegawai kantor pemerintah. Ibu Fatahilah juga buruh tani, namun di sawah yang berbeda. Fatahilah punya seorang adik perempuan, bernama Adinda. Sudah SMP kelas dua. Fatahilah bekerja di minimarket adalah suatu pencapaian yang luar biasa di keluarganya. Dengan gajinya sebagai pramuniaga, Fatahilah bisa memenuhi kebutuhan sekolah Adinda. Lik Dono sendiri, kerap memberi pekerjaan kepada Fatahilah, lalu memberinya upah.

"Sekarang?" tanya Fatahilah lagi.

"Iya, dong. Nanti sore udah diolah soalnya," timpal Lik Dono

Fatahilah kembali masuk ke rumahnya, meninggalkan Lik Dono yang kini asyik menghabiskan sebatang rokok. Setelah meneguk segelas air, Fatahilah segera menuju tegal tempat pohon kelapa berada. Ada beberapa pohon kelapa, namun sepertinya satu pohon saja sudah cukup. Fatahilah memanjat pohon dengan hati-hati dan menjatuhkan kelapa satu per satu. Semuanya ada lima buah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 16, 2024 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TerbalikWhere stories live. Discover now