AIR MATA DARAH

1.9K 13 8
                                    

***

DUGH!!!

DUGH!!!

DUGH!!!

Satu, dua, tiga bola basket di ranjang besi sebelah kanan, Rio lemparkan sekuat tenaga mengunci kepala Trio Biji Ketumbar. Satu persatu limbung ke segala arah. Mereka masih nge-freeze. Rasa sakit, juga terkejut. Ditambah lagi yang melempar bola tersebut adalah teman mereka sendiri: Rio.

Jikalau konteksnya bercanda, waktu dan tempat kurang pas. Terlebih, mereka sedang berpesta menikmati tubuh mulus tanpa cacat seorang wanita yang sudah mengering air matanya. Dari rambutnya yang lepek acak-acakan, wajahnya penuh bekas tamparan cap telapak tangan, bibir bengkak dengan sudutnya berdarah, dua gunung kembar yang berhiaskan cupangan-cupangan dari mulut sampah, perut mulusnya banyak tercecar sisa sperma bau amis, dan terakhir ... lubang vagina yang menjadi suguhan utama menjepit bergantian tiga batang penis berukuran standar nasional. Betapa menyedihkannya wanita itu sampai harus mengalami nasib buruk di tangan para maba begundal. Terlebih, mereka melakukannya di wilayah kampus. Apa-apaan semua ini? Bajingan!

"APA MAKSUDMU INI, YO?!" Iqbal yang lebih dulu pulih, segera berdiri. Berteriak keras menuntut jawaban. Dirinya yang telanjang hanya bagian bawah nampak jelas pusaka sakti yang perlahan mengecil. Imut.

"Mbokne ancok! Gendeng a kon ngantem aku nggawe bal, su?!" (Mbokne ancok! Gilakah kamu menghantam aku pakai bola, su?) Robi menyambar geram. Matanya nyalang menusuk Rio yang tengah berdiri sambil melipat kemeja. Mengerikan.

"Lek ngejak gelud ngomongo ae, Yo. Ayo, nang njobo entek-entekan." (Kalau ngajak baku hantam ngomong saja, Yo. Ayo, di luar habis-habisan.) Hanif ikut menimpali, menantang. Dia yang paling apes di antara Trio Biji Ketumbar. Cara jatuhnya yang kurang mulus terjengkang dengan kepala mencium lantai berdebu. Agak merah kening dan hidungnya. Lawak.

Walaupun dalam pengaruh emosi, Rio mencoba mengontrol debaran jantungnya yang berdetak lebih kencang dan cepat. "Kon kabeh menengo. Kroco dilarang bersuara sak gurunge raimu kabeh tak sapu siji-siji." (Kamu semua diam. Kroco dilarang bersuara sebelum kamu semua aku bereskan satu-satu.) Ucapan dingin yang terlontar dari mulutnya kontan saja membuat Trio Biji Ketumbar tersinggung. Naik pitam. Emosi tak lagi bisa mereka kontrol. Namun, Rio selaku manusia penuh harga diri yang membuka permusuhan ini nampak santai sekali wajahnya. Tetapi, bukan berarti amarah yang semakin lama kian menggumpal menguap begitu saja. Justru angkara murka dibalut kekecewaan melihat teman barunya memperlakukan wanita tersayangnya seperti binatang menjadi campuran terbaik untuk Rio membunuh mereka.

"Bangsat! Melete koen, Yo. Wes gak usah kakean cangkem. Tarung ayo, cok!" (Bangsat! Congkak kamu, Yo. Sudah tidak usah kebanyakan bicara. Tarung ayo, cok!) Iqbal membentak-bentak. Merah-kehitaman wajahnya penuh luapan emosi.

"Gak usah nandi-nandi. Aku seng rono, cok!" (Tidak perlu ke mana-mana. Aku yang ke sana, cok!) seruan perang diucapkan oleh Rio dengan kesadaran penuh. Jiwa dan raganya siap dia pertaruhan demi wanita terkasih, yang kini beringsut bangun mengambil pakaian yang tercecer di lantai, lalu membawanya ke sudut ruangan. Bersembunyi. Isak tangisan tertahan berdampingan pula air mata meleleh keluar membasahi pipi.

Bajingan, kurang ajar, biadab! Rio paling tidak bisa melihat seorang wanita tersakiti. Apalagi ada butiran kristal yang terjatuh dari matanya. Membiarkan kesedihan hingga meninggalkan trauma mendalam akan aksi bejat yang dilakukan Trio Biji Ketumbar memperkosa seorang wanita lemah. Brengsek!

"ARGHHHH! TAK PATENI RAIMU, BEDHES!" (ARGHHHH! AKU BUNUH KAMU, MONYET!) Rio menggeram bak serigala malam, yang kemudian melesat maju sambil menyiapkan kepalan tangan, dan ...

Anatomi Dosa 21+ [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang