Dunia begitu indah, tapi aku merana. Apa tidak ada hal yang jauh lebih buruk daripada harus melepas kebebasan? Sungguh sesak. Ingin teriak dan memaki, tapi tidak tahu oknum yang harus kusalahkan. Persis borokrasi bobrok yang hobi mengumpankan orang yang butuh pertolongan ke sana dan kemari. Tidak lucu.
“Sudahlah,” Danu berusaha menghibur, “nggak terlalu buruk kok.”
“Kamu bisa ngomong seperti itu karena nggak mengalaminya!” Kucengkeram rantai ayunan, berharap bisa menemukan kekuatan terpendam dalam diriku dan membalik kutukan. Apa pun itu. “Aku nggak suka jadi manusia. Sama sekali!”
Kali ini aku berusaha mengayunkan diri secara pelan. Maju. Mundur. Menikmati desir angin yang membelai kulit. Sudah sekian lama aku lupa sensasi ini. Kulit yang dikecup angin. Aroma tanah yang membaur dengan rumput. Semua hal yang telah kutinggalkan saat menjadi hantu.
“Aku nggak berpikir jelek mengenai kamu lho.”
“Sayangnya aku yang berpikir buruk mengenai dirimu,” balasku tanpa sensor. Tiada guna berbasa-basi. Itu hanya untuk manusia, bukan mantan-manusia-mantan-hantu. “Lagi pula, kenapa kamu bisa sebaik itu kepada orang asing? Apa kamu berharap sesuatu dariku? Kalau begitu kujelaskan sekarang saja, aku nggak bisa ngasih kamu karpet ajaib dan menyulapmu jadi pangeran.”
“Aku nggak pengin jadi pangeran dan buat apa aku butuh karpet ajaib? Terbang?”
“Bisa saja kamu berharap dapat keberuntungan dengan cara memelihara lelembut. Mohon maaf, aku nggak bisa manggil keberuntungan. Buktinya, aku sendiri. Lihatlah diriku saat ini. Sibuk memikirkan perihal masa depan. Besok aku tidak yakin bisa menjalani hidup dengan damai.”
“Kamu bisa bekerja dari rumah. Jadi pengasuh Tasya. Nah, aku yang bayar.”
Mau tidak mau aku pun mendengkus. “Justru pekerjaan sebagai pengasuh anak-anak merupakan yang terberat! Aku nggak sanggup menyamai kelebihan energi dan semangat juang bocah!”
Sekarang aku tidak lagi berayun. Kusenderkan kepala ke rantai, berharap ada ratu kuntilanak atau bos kuntilanak yang sudi memberiku bantuan. Bagaimanapun juga aku ingin kembali bisa menikmati keuntungan sebagai penghuni bumi tanpa perlu bayar pajak.
“Apa aku boleh tanya sesuatu?”
“Hmmm,” sahutku. Artinya, ya.
“Kenapa kamu nggak suka jadi manusia? Jangan jawab karena harus bekerja. Aku yakin kamu memiliki alasan khusus.”
Apakah aku harus berterus terang kepada Danu?
Mungkin tidak ada salahnya mengupas sedikit memori masa lalu milikku dan menyerahkannya kepada Danu. Lagi pula, setahuku dia bukan tipe pria hobi gibah. Selama mengikuti sepak terjang Tasya, aku belum pernah menemukan keburukan Danu yang di luar nalar.
“Sebelum jadi hantu,” ucapku berusaha menjelaskan. “Aku manusia miskin menyedihkan.”
“Semua manusia miskin pasti sedih, Kun.”
“Jangan potong ceritaku atau kamu kugigit!” Kali ini aku memalingkan wajah, menatap langsung kepada Danu, dan memberinya peringatan melalui tatapan mata. “Intinya, aku orang miskin yang sangat sedih.”
Danu berusaha tidak mendebat. Kupikir dia sedang berusaha menjadi manusia berbudi yang baik dan benar sesuai SOP.
“Orangtuaku hobi bertengkar,” lanjutku. “Saat tidak ada uang, pasti satu sama lain saling menyalahkan. Ibuku bekerja sebagai TKI. Namun, nggak semua TKI itu pasti sukses dan punya rumah bagus. Ibuku salah satu contoh TKI yang tidak sukses. Ayahku nggak punya pekerjaan tetap. Dia pernah punya dua ekor kambing, tapi dijual karena butuh. Lalu, dia mencoba bekerja sebagai kusir delman. Sama seperti sebelumnya, gagal juga. Penghasilan sebagai kusir nggak cukup baik.”
Sejenak kuhela napas dan berusaha mengembuskannya secara pelan. Tidak mudah berusaha terbuka dan membagi sedikit racun dari hidupku ke cawan milik orang lain, meskipun yang bersangkutan secara sukarela menerimnya.
“Setelah gagal sebagai kusir delman,” kataku dengan nada suara yang terasa mencekik. “Ayahku mulai bergabung dengan kelompok aneh. Aku nggak ingat nama kelompoknya, yang jelas dia makin nggak bisa diandalkan. Ujung-ujungnya selalu bilang, ‘Kamu balik saja jadi TKI.’ Seperti itu kepada ibuku.”
“Dan ibumu setuju?”
Aku mengangguk. “Nggak ada pilihan. Kami nggak punya sawah. Keluarga dekat yang punya sawah pun nggak sanggup memberi pertolongan di luar kapasitas mereka. Jadi, ibuku setuju. Namun, ayahku nggak bisa disebut sebagai orangtua baik. Dia menitipkanku kepada tanteku. Aku makan di rumah Tante. Hanya sebatas makan saja. Tidurnya tetap di rumah sendiri.”
“Kamu pasti kesepian, ya?”
“Sangat,” aku mengaku kepada Danu, “kesepian. Ayahku nggak mengajariku cara menjadi manusia. Aku bahkan nggak tahu cara mandi yang benar. Bisa dipastikan penampilanku dekil sekali. Tubuhku kurus karena makanku dijatah. Sekalipun Tante memberiku makan, tapi bukan berarti aku bisa makan kenyang. Aku hanya diperkenankan makan nasi sisa dan lauk yang nggak disukai oleh siapa pun. Nggak ada orang dewasa yang peduli terhadapku. Sebagai anak-anak, aku merasa nggak diinginkan oleh siapa pun termasuk ayahku.”
Kuabaikan tatapan Danu, sekuat tenaga aku berusaha tidak menangis karena ingat hal tidak menyenangkan.
“Kupikir bila belajar,” lanjutku. “Dapat nilai bagus, maka orangtua akan bangga kepadaku. Ternyata baik ayahku maupun ibuku, keduanya nggak peduli. Nggak ada pujian. Seringnya mereka bertengkar saat bertemu dan melampiaskan amarah kepadaku. Ayahku suka membentak, sementara ibuku akan memukulku setiap kali merasa stres. Guru pun nggak ada yang mau tahu karena bagi mereka aku nggak pernah ada.”
“Sekarang semua sudah berlalu. Kamu bebas dari mereka.”
“Tapi, rasa sakit yang mereka berikan kepadaku tetap melekat di hati. Meskipun aku nggak mau mengingat semua itu, tapi kadang rekaman nggak menyenangkan terputar secara otomatis di kepala. Mengejarku. Menerorku. Aku pun heran nggak berubah jadi kuntilanak merah dan meneror semua orang yang telah menyakitiku. Justru saat menjadi kuntilanak biasa, aku memilih pergi ke mana pun sesuai dengan keinginan hati.”
Sejenak Danu menyeka ujung matanya. Kulihat kedua mata Danu memerah. “Maaf karena aku nggak berpikir sejauh itu mengenai masa lalumu,” katanya dengan suara serak. “Kamu nggak perlu pusing mikirin pekerjaan. Tinggal saja di sini, bersama kami. Lagi pula, aku sanggup kok kasih makan kamu.”
Mengapa rasanya posisiku sederajat dengan kucing? “Makanku banyak.”
“Iya, kamu makan sebanyak dan sepuasmu saja. Jangan pikirkan orang-orang jahat itu. Sekarang biarkan kami saja yang jadi temanmu.”
“Danu, kamu nggak naksir aku, ‘kan? Soalnya cowok yang rela ngasih segalanya itu cuma untuk pasangan atau keluarga.”
“Mulai hari ini anggap saja kita keluarga,” katanya memutuskan. Dia menjulurkan tangan dan mulai mengacak-acak rambutku. “Kamu jalani kehidupan barumu. Mungkin alasan kamu jadi manusia karena semesta pengin kamu menikmati semua hal yang nggak diberikan oleh orangtua maupun orang-orang yang ada di sekitarmu dulu. Ayo, kamu nggak perlu sungkan. Aku kuat kok. Finansialku stabil. Mau nyoba pakai berlian?”
Dia gila! Gila! Dokter, ada pasien yang lepas!
***
Selesai ditulis pada 10 Juni 2024.***
Hari ini perut saya malah kena kembung. Padahal kemarin baru kelar sakit perut gara-gara makanan, sekarang justru kembung! Begini amat, sih?!(Perut kembung itu nggak enak. Nggak enak!)

KAMU SEDANG MEMBACA
Tasya dan Miss Kunti (Selesai)
FantasySebagai hantu merdeka yang tidak terbebani perbudakan oligarpus, menikmati waktu sepuasnya merupakan sebuah kesenangan tidak tertahankan. Namun, itu semua berubah begitu aku bertemu dengan bocah sok tahu yang hobi merecoki waktu santaiku. Dia, si bo...